Allang Asaude, Huamual Belakang, Seram Bagian Barat

desa di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku

Allang Asaude adalah negeri di Kecamatan Huamual Belakang, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.

Allang Asaude
Hena Allane
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
KabupatenSeram Bagian Barat
KecamatanHuamual Belakang
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Sejarah

sunting

Awal berdirinya negeri Allang Asaude tidak terlepas dari perkembangan negeri Allang di Jazirah Leihitu, sebelah barat Pulau Ambon, serta dusun Hato Allang di sebelah barat negeri Waesala. Ketiga negeri ini awalnya merupakan satu kesatuan masyarakat di negeri Allang yang kemudian terbagi menjadi tiga negeri setelah dilakukannya migrasi lokal dari negeri Allang ke bagian barat Pulau Seram. Faktor-faktor yang mengakibatkan perpindahan penduduk di negeri Allang tersebut diantaranya perekonomian, kepadatan penduduk, dan lain-lain. Penyebab utama terjadinya perpindahan penduduk dari negeri Allang ke negeri Allang Asaude dan dusun Hato Allang di Pulau Seram adalah masalah kepadatan penduduk.[1]

Pada tahun 1931 (?), penduduk di negeri Allang berjumlah 1.112 jiwa, menjadi negeri dengan jumlah penduduk terpadat kedua di pulau Ambon setelah negeri Liang yang jumlahnya 1.119 jiwa. Hal ini terjadi pada masa kekuasaan raja Patty Agustinyo. Kondisi penduduk yang padat ini membuat sebagian masyarakat Allang harus merantau ke tempat lain demi menghidupi anak-anaknya di masa depan. Sementara itu, sebagian besar masyarakat masih menetap di negeri Allang. Hingga akhirnya masyarakat negeri Allang mencapai puncak keresahannya pada tahun 1935, sejumlah masyarakat mulai mengeluhkan kondisi kepadatan penduduk yang terjadi di negeri Allang. Hal ini terutama berujung pada permasalahan kepemilikan tanah sehingga membuat mereka bingung harus mengadu kepada siapa selain pemerintah negeri. Maka mereka berulang kali menemui staf pemerintah negeri untuk meminta tanah guna membangun rumah bagi mereka dan anak-anak mereka yang sudah menikah. Namun, permintaan mereka tidak membuahkan hasil sehingga menimbulkan kemarahan dan kecaman dari sejumlah masyarakat Allang. Hingga akhirnya permintaan mereka didengar juga oleh seorang tokoh masyarakat yang bernama Esau Manuhua. Ia sangat prihatin dan peduli terhadap kondisi masyarakat saat itu. Ia memotivasi masyarakat untuk tidak sekedar berpangku tangan, namun segera bertindak mencari solusi bagi masa depan anak cucunya sebagai generasi penerus negeri. Hingga akhirnya dengan persetujuan pemerintah negeri Allang dan residen Amboina, ia mengusulkan agar sebagian dari mereka dipindahkan ke tempat lain.[1]

Esau menyarankan kepada masyarakat untuk bermigrasi ke Hato Allang di bagian barat Pulau Seram dengan meninjau terlebih dahulu daerah tujuan sebelum berangkat. Usulan ini diterima dengan baik oleh masyarakat dengan dukungan akan hal tersebut. Akhirnya ia dan rekan-rekannya berangkat ke Hato Allang untuk meninjau lokasi dengan dipimpinnya sendiri. Setelah tiba di Hato Allang, mereka memasang patok sebagai batas tanah dari Ulatu sampai Ulaeng yang termasuk dalam petuanan negeri Waesala. Namun menurut tinjauan kesehatan, di daerah tersebut banyak terdapat rawa-rawa besar yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk sumber penyakit malaria. Sehingga pemerintah negeri Allang pada akhirnya tidak menyetujui rencana migrasi tersebut. Hingga kemudian pada masa Perang Dunia II tahun 1942–1945, dan saat itu Esau Manuhua telah meninggal dunia.[1]

Hingga seiring berjalannya waktu, pada tahun 1945, jumlah penduduk di negeri Allang sudah lebih dari 3.500 jiwa. Jumlah tersebut semakin meningkat setiap tahunnya, sehingga mengakibatkan kebutuhan setiap keluarga menjadi sulit di berbagai bidang, khususnya bidang perekonomian. Menyikapi hal tersebut, seorang tokoh masyarakat yang bernama Yermias Sipahelut dengan penuh semangat bertekad untuk memuluskan kembali rencana migrasi ke Pulau Seram sebagai solusinya. Ia kemudian mengajak rekan-rekannya, Pieter Sohilait, Otis Sabandar, Lambert Patty, Dodunias Patty (tuagama), dan Yohanis Huwae. Mereka berusaha keras untuk menyukseskan hal ini dan juga ingin memenuhi tugas Imamat Umum sesuai dengan pesan Alkitab dalam Injil Matius 28:18–20; "Pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Allah, Bapa, Anak, dan Roh Kudus". Hingga kemudian pada tahun 1946 setelah perang Jepang dengan Sekutu, para pionir migrasi ini terus bekerja dan berhubungan dengan instansi terkait tanpa sepengetahuan pemerintah negeri Allang, serta mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk melakukan pemungutan suara mengenai minat masyarakat untuk ikut serta dalam perpindahan tersebut. Jika sudah disetujui oleh 100 orang, Yermias akan melaporkan kegiatan dan keinginannya ke kepada kepala residen, yaitu Pieter, orang Belanda yang saat itu memerintah wilayah Kepulauan Maluku di Amboina.[1]

Hingga tak lama kemudian, Yermias dan kawan-kawan pergi melaporkan niatnya kepada Pieter setelah mereka selesai mengadakan rapat dan pemungutan suara. Andreas Pelasula pun turut serta memperkenalkan diri kepada sebagai perwakilan pemerintah negeri Allang, karena perintis yang bekerja tanpa sepengetahuan Pemerintah negeri Allang akan dipenjara. Akhirnya Pieter menyambut baik niat Yermias dan rekan-rekannya. Pieter kemudian mengutus Godman (pegawai sosial) dan Deweles (pegawai pertanian) untuk berangkat ke sana. Yermias kemudian diangkat oleh Pieter sebagai pionir atau pemimpin. Mereka diberi biaya sebesar 61 gulden untuk keberangkatan ke Pulau Seram. Pemerintah membeli sebidang tanah di Erefak milik perusahaan asing. Sedangkan makanan sementara para perintis migrasi adalah sagu lempeng (sagu kering) dan dendeng (daging olahan). Mereka juga diberikan peralatan pertanian dan sapi yang berasal dari Benggala, serta kebutuhan lainnya. Setelah semua urusan selesai di Ambon, para perintis mengadakan pertemuan di baileo negeri Allang untuk merencanakan survei lokasi yang cocok. Lokasi yang dipilih untuk ditinjau adalah di wilayah Huamual Belakang di Pulau Seram. Setelah para perintis sampai di Pulau Seram, tepatnya di wilayah Piru, mereka langsung menuju lokasi survei di Huamual Belakang dengan berjalan melalui Kotania menuju Masika dan Asaude. Kedua wilayah ini kemudian dikaji, namun wilayah Masika kurang layak dibangun negeri baru karena lokasinya yang tidak luas, dan juga banyak rawa sehingga air mudah menggenang. Kemudian mereka menuju ke kawasan Asaude dan ternyata kawasan tersebut cocok. Menurut cerita rakyat, wilayah ini pernah dihuni oleh sembilan datuk atau nenek moyang masyarakat Allang yang bermigrasi dari Maluku Utara sekitar tahun 1462, yang diberi nama "Assauri", dalam bahasa Wemale assa berarti 'satu' dan uri berarti 'kumpulan' atau 'kesatuan', yang secara harafiah diartikan sebagai 'satu kesatuan'.[1]

Sekembalinya dari Pulau Seram, selanjutnya pada hari Selasa tanggal 11 November 1947 pukul 06.00 WIT, kapal KM Elbuler bersandar di pelabuhan negeri Allang untuk mengangkut sekitar 23 orang anggota migran laki-laki di bawah pimpinan Lilipaly (pegawai pertanian) dan seorang kadaster Saimun. Turut bergabung juga Sadrak Sasabone (tenaga kesehatan), Eliasar Sapakolly, Welhelmus Huwae, dan Yulius Sabandar berangkat ke sana. Akhirnya KM Elbuler tiba di Asaude pada hari Rabu tanggal 12 November 1947. Mereka juga bersama-sama membangun barak (befsak) berukuran 30x60 m sebagai tempat penampungan sementara para kepala keluarga di bawah pimpinan Lilipaly. Mereka juga membagikan petak lahan berukuran 40x60 m2 untuk setiap keluarga. Dari hasil pembagian tanah tersebut dibangun rumah berukuran 4x6 m secara gotong royong (masohi) dalam jangka waktu 3 bulan untuk ditinggali nantinya. Kepemimpinan Lilipaly digantikan oleh Tomasoa, kemudian digantikan lagi oleh Pelapelapon, hingga anggota keluarga dari Allang datang. Sementara itu, sejumlah keluarga di negeri Allang ingin segera pindah dan menetap di Asaude. Akhirnya pada tanggal 1 Desember 1947 diadakan acara perpisahan di baileo negeri Allang antara yang ingin berangkat dan yang tetap tinggal. Pada saat itu juga banyak terdapat kata-kata perpisahan dan nasehat dari para tetua adat negeri Allang, diiringi dengan upacara pelepasan sekaligus kebaktian pertama Jemaat GPM Allang Asaude yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Jemaat GPM Allang Asaude. Selanjutnya kapal KM Taliwang tiba di pelabuhan negeri Allang untuk mengangkut para migran gelombang kedua yang berjumlah 60 kepala keluarga ke Asaude. Dari 100 kepala keluarga di Asaude, 40 diantaranya masih lajang, dan komunikasi antara mereka yang telah berpindah ke Asaude dan negeri Allang berjalan lancar. Sebelum kedatangan anggota keluarga migran, Buur, salah satu controleur Piru, telah mengadakan pertemuan dengan para anggota migrasi untuk menjelaskan program ini dan persyaratannya serta mencari nama untuk negeri baru ini. Oleh karena lokasi yang ditempati bernama Asaude dan para migrannya berasal dari negeri Allang, maka diputuskan negeri baru ini diberi nama "Allang Asaude" yang dalam bahasa Wemale Allang berasal dari kata allana yang artinya 'Tuhan yang melindungi'.[1]

Hingga rombongan migrasi terakhir pada tanggal 6 Maret 1948 pukul 06.00 WIT, KM Taliwang mengangkut anggota keluarga migran yang masih tinggal di negeri Allang beserta harta bendanya ke Allang Asaude yang dipimpin oleh Godman Deweles. Mereka adalah perempuan dan laki-laki, serta anak-anak dan istri-istri dari para kepala keluarga yang sudah berada di negeri Allang Asaude. Keberangkatan mereka dilakukan dengan upacara adat. Mereka baru tiba di Allang Asaude keesokan harinya, yakni pada tanggal 7 Maret 1948. Kedatangan mereka merupakan simbol persatuan dan keutuhan sebuah keluarga. Karena pemberangkatan mereka dilakukan dengan upacara adat, maka tanggal 7 Maret 1948 ditetapkan sebagai hari jadi negeri Allang Asaude, Sedangkan tanggal 1 Desember merupakan hari pelepasan kepala keluarga migran sekaligus hari jadi Jemaat GPM Allang Asaude.[1]

Konflik sektarian yang melanda sebagian besar Kepulauan Maluku nyatanya juga merambah hingga ke Allang Asaude, Konflik yang terjadi pada bulan Desember 1999 hingga Agustus 2001 ini meluluhlantahkan seluruh wilayah negeri Allang Asaude. Hampir tidak ada yang tersisa dari rumah warga, fasilitas pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemerintahan, dan keagamaan. Termasuk juga gedung Gereja Elim Klasis GPM Seram Bagian Barat (Piru) yang hancur akibat penyerangan ke negeri ini. Hal ini juga diperburuk oleh hubungan antara negeri Allang Asaude dengan negeri-negeri di sekitarnya, khususnya negeri Waesala, yang secara tradisional selalu berkonflik mengenai batas wilayahnya. Karena letaknya yang dikelilingi negeri-negeri Islam (Salam), membuat masyarakat negeri Allang Asaude harus mengungsi jauh ke pedalaman Seram, bahkan hingga ke negeri Allang yang berhubungan gandong di Pulau Ambon.[2]

Masyarakat

sunting

Berikut ini beberapa fam-fam (matarumah) yang secara turun-temurun mendiami negeri Allang Asaude.[1][3]

  • Hahua
  • Hentamoing
  • Huwae
  • Latuputty
  • Lilipaly
  • Manitu
  • Mattitaputty
  • Muskitta
  • Patty
  • Pelapelapon
  • Sabandar
  • Sapakolly
  • Sasabone
  • Sipahelut
  • Sohilait
  • Tomasoa

Hubungan sosial

sunting

Negeri ini terikat hubungan gandong dengan negeri Allang di Pulau Ambon dan dusun Hato Allang yang secara administratif berada di bawah pemerintahan negeri Waesala. Dalam hubungan ini, negeri Allang berkedudukan sebagai negeri gandong paling tua.[1]

Allang Asaude juga mempunyai hubungan yang cukup panas dengan negeri Waesala. Masyarakat Waesala menganggap negeri Allang Asaude berdiri di atas tanah petuanan mereka. Hal ini juga terkait dengan peningkatan status Allang Asaude dari sebuah dusun di bawah negeri induk Waesala, menjadi negeri dengan status definitif pada tahun 1999. Pemerintah negeri dan masyarakat Waesala dikejutkan dengan kenyataan bahwa dusun Allang Asaude telah berubah menjadi negeri yang berstatus definitif tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa persetujuan langsung dari pemerintah negeri Waesala. Permasalahan utamanya adalah telah terbentuknya sebuah negeri yang berstatus definitif di tengah-tengah wilayah administratif pemerintahan negeri Waesala yang terjepit di antara dusun Hanunu dan dusun Tanjung Karang. Kedua dusun milik Waesala inilah yang hingga saat ini masyarakatnya sering bentrok dengan masyarakat Allang Asaude karena persoalan perkebunan bahkan persoalan maritim akibat masalah tapal batas tersebut.[4]

Pariwisata

sunting

Negeri Allang Asaude terkenal dengan keindahan alamnya, terutama pulau-pulau kecil di lepas pantainya. Ada beberapa tempat wisata populer di sini, antara lain Pulau Air, Pulau Latunai, Pasir Timbul, Pulau Hokman, Pulau Kasumba, Pulau Maleo, Pulau Batu (Pombo), dan Pulau Tatinang.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i "Sejarah Negeri Allang Asaude". negeriallangasaude.blogspot.com. Diakses tanggal 21 Juli 2024. 
  2. ^ Syauta, Max. "Peresmian dan Penahbisan Gedung Gereja "Elim" Jemaat GPM Allang Asaude". m.facebook.com. Sinode Gereja Protestan Maluku. Diakses tanggal 21 Juli 2024. 
  3. ^ "Masyarakat Desa Allang Asaude "Curhat" dan Minta Perhatian di OJK Maluku". fokusmaluku.com. Fokus Maluku. 12 November 2023. Diakses tanggal 17 Juli 2024. 
  4. ^ Gofanda, Albid Nurahman; Khairunnisa, Atikah; de Ftetes, Judy; Kotaromalos, Amin F. (2022) [Diterima untuk dipublikasikan pada 28 Oktober 2022]. "Konflik Wilayah Administrasi di Negeri Waesala Kecamatan Huamual Belakang Kabupaten Seram Bagain Barat". Journal of Government Science Studies. Ambon, Indonesia: Universitas Pattimura. 1 (2): 57–68. ISSN 2827-8461. Diakses tanggal 21 Juli 2024. 
  5. ^ Ely, Rafsanjani (11 November 2023). Sekewael, Philip, ed. "Pesona Allang Asaude Pikat Hati OJK Bangun EKI". www.rri.co.id. Radio Republik Indonesia. Diakses tanggal 21 Juli 2024. 

Pranala luar

sunting