Abu Hanifah (menteri)
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Prof. Dr. (H.C.) dr. Abu Hanifah Datuak Maharajo Ameh[1] atau yang lebih dikenal dengan Abu Hanifah (6 Januari 1906 – 4 Januari 1980) adalah seorang pejuang kemerdekaan, ahli kesehatan, seniman, dan politisi Indonesia. Abu Hanifah pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1949 hingga 1950 dalam Kabinet RIS. Selain itu, ia juga pernah ditugaskan sebagai Duta Besar RI untuk Brasil.
Abu Hanifah | |
---|---|
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-7 | |
Masa jabatan 20 Desember 1949 – 6 September 1950 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat, Hindia Belanda | 6 Januari 1906
Meninggal | 4 Januari 1980 Jakarta | (umur 73)
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Partai Masyumi |
Suami/istri | Hafni Zahra |
Anak | 3 |
Orang tua |
|
Almamater |
|
Profesi | Menteri Indonesia, pejuang kemerdekaan |
Sunting kotak info • L • B |
Abu Hanifah juga dikenal sebagai seniman. Ia menulis naskah lakon atau drama dan novel.[2] Dalam naskah lakon atau dramanya, Abu Hanifah memakai nama El Hakim. Ia ikut meramaikan dunia teater pada masa-masa pendudukan Jepang bersama adik kandungnya, Usmar Ismail serta temannya Armijn Pane. Beberapa karya sastranya pernah dipentaskan oleh perkumpulan drama Maya, seperti Taufan di Atas Asia pada tahun 1943. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai pelukis.
Pendidikan
suntingPada tahun 1932, Abu Hanifah menamatkan pendidikannya di STOVIA. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran dan menamatkannya pada tahun 1940. Abu Hanifah menerima gelar doktor Honoris Causa dari Akademi Belle Arte di Brasil.[3] Abu Hanifah juga membentuk himpunan sandiwara penggemar Maya yang merupakan satu-satunya himpunan sandiwara pada masa penjajahan Jepang yang secara tegas merumuskan tujuan aktivitasnya yakni tegaknya kejayaan budaya Indonesia. Selain itu, Abu Hanifah juga berpengalaman dalam mengelola media massa cetak, antara lain ia pernah menjadi redaktur majalah Jong Sumatra, Pemuda Indonesia, dan Indonesia Raja.[butuh rujukan]
Politik
suntingSambil berpraktik sebagai dokter, Abu Hanifah juga giat dikancah politik praktis dalam kerangka perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beberapa kegiatan politiknya, di antaranya menjadi redaktur berbagai majalah perhimpunan pemuda, seperti Jong Sumatranen Bond periode 1923-1926 serta Indonesia Moeda pada tahun 1931. Abu Hanifah juga merupakan salah seorang tokoh dalam peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Pada saat Jepang masuk menduduki Hindia Belanda (Indonesia), Abu Hanifah aktif sebagai anggota Barisan Pemuda Asia Raya. Semua kegiatan politik serta perjuangan kemerdekaannnya, telah menempatkan Abu Hanifah sebagai salah seorang tokoh perintis kemerdekaan Indonesia.
Meninggal dunia
suntingAbu Hanifah meninggal dunia pada 4 Januari 1980 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, karena penyakit imbuli (kelumpuhan pada masa tua) yang dideritanya. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta, ditempat yang sama dengan adik kandungnya, Usmar Ismail. Abu Hanifah meninggalkan seorang istri, 3 orang anak serta 4 orang cucu.
Karier dan perjuangan
sunting- Pada masa awal pernah bekerja pada berbagai rumah sakit pemerintah
- Redaktur majalah perhimpunan pemuda Jong Sumatranen Bond (1923-1926)
- Redaktur majalah perhimpunan pemuda Pemoeda Indonesia
- Redaktur majalah perhimpunan pemuda Indonesia Raya dari PPPI (1926-1930)
- Tokoh Sumpah Pemuda 1928
- Redaktur majalah perhimpunan pemuda Indonesia Moeda (1931)
- Sastrawan dan pelukis
- Anggota Barisan Pemuda Asia Raya (masa pendudukan Jepang)
- Anggota BKR (1945-1950)
- Ketua Fraksi Masyumi dalam KNIP
- Ketua Delegasi Indonesia ke Inter-Asian Relation Conference di New Delhi, India (1947)
- Menteri Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia (1949-1950)
- Ketua Delegasi Indonesia ke UNESCO, Firenze, Italia (1950)
- Anggota Eksekutif Kantor Pusat UNICEF di New York, Amerika Serikat (1951)
- Duta Besar RI untuk Brazil
Karya Tulis
sunting- Dewi Rani (1943)
- Dokter Rimbu (1955)
- Rokaya
- Pelaut
- tjita tjita perdjoangan
Tanda Kehormatan
suntingNegara | Tanggal | Tanda Kehormatan | Pita Harian | Referensi |
---|---|---|---|---|
Indonesia | 7 Agustus 1995 | Bintang Mahaputera Utama | [4] | |
1961 | Satyalancana Peringatan Kemerdekaan | [5] | ||
Satyalancana Perintis Kemerdekaan | [5] | |||
1967 | Satyalancana Karya Satya Kelas II | [5] | ||
Brazil | Grand Cross of the Order of the Southern Cross | [6] | ||
Liberia | Grand Cross of the Order of the Star of Africa | [5] |
Rujukan
sunting- ^ https://books.google.co.id/books?id=DxklAAAAMAAJ&pg=PA16
- ^ Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003). Ensiklopedia Sasatra Indonesia Modern. Bandung: Rosdakarya.
- ^ Sugono, D., dkk., ed. (2003). Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 7. ISBN 979-685-308-6.
- ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 3 September 2021.
- ^ a b c d Prof. Dr. Abu Hanifah Dt. M.E. karya dan pengabdiannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1985. hlm. 3.
- ^ G. A. Manilet-Ohorella, Indonesia (1985). Umar Wirahadikusumah, pengabdian seorang prajurit. Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. 61.
Pranala luar
sunting- Profil Abu Hanifah Diarsipkan 2008-08-02 di Wayback Machine. Situs Taman Ismail Marzuki. Diakses 14 Mei 2013.
Jabatan pemerintahan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Sarmidi Mangunsarkoro |
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 1949 - 1950 |
Diteruskan oleh: Sarmidi Mangunsarkoro |
Jabatan diplomatik | ||
Didahului oleh: Sutan Mohammad Rasjid |
Duta Besar Indonesia untuk Italia 1958–1961 |
Diteruskan oleh: Teuku Mohammad Hadi Thayeb |
Didahului oleh: Soenardjo Abu Ngusman |
Duta Besar Indonesia untuk Brasil 1961–1964 |
Diteruskan oleh: Bambang Soegeng |