Yuliet Kim (1784-1839) adalah seorang martir Katolik Korea. Ia lahir di wilayah pedesaan. Kedua orang tuanya sangat dipuji oleh Uskup Ferreol sebagai pasangan yang luar biasa. Kemudian, seluruh keluarganya pindah ke Seoul. Kedua orang tuanya ingin supaya dia menikah, namun Yuliet ingin hidup sebagai seorang perawan dan menolak untuk menikah. Untuk membuktikan bahwa keteguhannya, dia memotong rambutnya. Akhirnya, kedua orang tuanya berkata bahwa mereka akan memberikan keputusan ketika rambut dia tumbuh.

Ketika penganiayaan tahun 1801 terjadi, keluarganya kembali ke rumahnya yang berada di pedesaan. Yuliet diam-diam melarikan diri dan menjadi seorang hamba di istana. Karena merasa kesulitan untuk menjalankan agamanya di dalam istana, dia keluar dari sana dan pergi ke rumah seorang Katolik dan tinggal di sana.Dia mencari nafkah dengan membuat tenunan dan kemudian dia membeli sebuah rumah kecil untuk dirinya sendiri. Dia memiliki keinginan yang kuat, dan orang-orang menghormati ketegasannya baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dia melakukan yang terbaik dalam berdoa dan merenung. Orang-orang pernah berkata bahwa Yuliet mungkin tidak pernah berbuat dosa. Dia juga selalu siap untuk ditangkap.

Kepala polisi membuat permintaan seperti biasanya yaitu supaya dia menyangkal Allah dan memberitahukan keberadaan umat Katolik dan di mana buku-buku Katolik disembunyikan. Tentu saja, Yuliet menolak permintaan kepala polisi, dan dia dipukuli dengan kejam. Di pengadilan yang lebih tinggi, dia dipukuli dengan kejam lagi dalam tiga penyiksaan yang berbeda. Dia dikagumi karena menahan seluruh siksaan dan rasa sakit.

Akhirnya Yuliet dipenggal bersama dengan delapan umat Katolik lainnya di luar Pintu Gerbang Kecil Barat pada 26 September 1839. Dia berusia 56 tahun ketika dia menjadi martir.[1]

Referensi

sunting