Wikipedia:Wikipos/001/Esai
Bacaan bulanan Wikipediawan | ||
Bagaimana Wikimedia Commons Mengawetkan Foto-Foto Kita?
anyak sekali yang khawatir menshare gambarnya di Wikimedia Commons. Salah satu alasannya adalah karena takut dibajak atau masih ingin menyimpannya untuk kepentingan sendiri. Mungkin benar kalau pola pikir bahwa foto zaman sekarang masih pakai film. Kalau kita sumbangkan untuk ilmu pengetahuan, maka fisiknya harus kita berikan kepada Wikimedia. Sayang ya?Tapi ini era digital gitu lho…
Saya ingat salah satu foto pertama yang saya sumbangkan di Wikimedia Commons adalah foto jengkol. Waktu itu tahun 2007. Fotonya sangat bagus (untuk ukuran skill motret saya waktu itu), sampai terbersit rasa sayang untuk membagikannya kepada orang lain.
Tapi saya berpikir, menyimpan file digital di harddisk atau flashdisk suatu saat akan rusak. Sementara kalau dijual sebagai karya profesional pun rasanya tidak akan laku, siapa juga yang mau beli foto jengkol? Jadi kenapa tidak diupload saja ke layanan yang memungkinkan foto itu disimpan dengan resolusi asli, selama mungkin?
Maka saya menguploadnya dengan lisensi GFDL+Creative Commons, Share alike, with attribution. Dan akhirnya foto itu dipakai di beberapa versi wikipedia dan kemudian dipakai banyak blog. Pamer nih? Ga.. bukan itu inti ceritanya..
Kekhawatiran bahwa foto itu dibajak, saking banyaknya dipakai di berbagai artikel, memang terjadi. Tapi rasanya lebih worth it melihat bahwa kebanyakan pengguna foto di blog memberi credit kepada saya sebagai pemotretnya (lihat kembali syarat lisensi yang harus memberikan credit kepada pemotret untuk bisa memakai foto ini dengan gratis).
Kebanyakan penulis blog dan pengisi content website di luar negeri tidak keberatan memberi penghargaan kepada pencipta foto. Pola pikirnya begini: “Toh si fotografer ngasih gue kesempatan nyomot dan pake foto gratis, daripada gue harus bayar resmi foto di Stockphoto atau Getty Images, kalau dirupiahin bisa sampe ratusan ribu lho!”. Ini mungkin sulit terjadi di dalam negeri yang kesadaran hak ciptanya masih kurang, tapi kita juga sedang bicara Wikimedia Commons, yang lingkupnya mendunia, bukan Indonesia saja.
Tahun 2010, foto itu menghilang dari harddisk saya karena rusak, harus diformat. Tapi saya tidak perlu takut, karena hingga kini, 5 tahun kemudian, foto jengkol itu masih disimpan dengan resolusi asli di Wikimedia Commons, dan masih tercatat sebagai milik Hariadhi!
Hampir seluruh foto bisa masuk ke Wikimedia Commons. Berbeda dengan Wikipedia Bahasa Indonesia, foto yang tidak digunakan di dalam artikel mungkin bisa dihapus oleh pengurus, sementara di Commons foto kita boleh ikut menempati server penyimpanan, untuk waktu yang tidak terbatas, sebanyak yang kita suka, dan terserah sebesar apa pun resolusinya (mungkin sedikit terbatasi ukuran file, tapi itu pun batasnya cukup longgar). Bonus lagi, kadang-kadang ada saja user lain yang menyukai foto kita, lalu diperbaiki cacatnya, diretouch, dibalance lagi warnanya. Dan saya tidak mengeluarkan tenaga sama sekali untuk itu.
Ada tidak media penyimpan foto yang semurah hati ini?
Nah, enaknya lagi, kapan pun saya butuh memperlihatkan portfolio foto saya untuk keperluan pekerjaan, saya tinggal menuliskan halaman pengguna Wikimedia Commons saya. Di sana sudah terkumpul seluruh foto yang terseleksi dengan tag <gallery>
. Memang butuh sedikit effort memasukkan fotonya satu per satu, tapi jauh lebih praktis daripada saya harus menyiapkan portfolio dalam bentuk PDF. Semua sudah rapi dan terlihat profesional!
Jadi kenapa harus ragu memakai Wikimedia Commons untuk mengawetkan foto-foto kita dalam resolusi tinggi sambil berbagi pengetahuan? Gratis Lagi!
Note: tentu saja Wikimedia Commons tidak dikondisikan untuk foto-foto yang akan dijual secara profesional. Karena penciptanya harus membebaskan untuk digunakan oleh orang lain. Kalau untuk seperti itu, mending pakai Getty atau Stockphoto.Utama | Tentang | Arsip | Indeks | Ruang berita | Berlangganan | Usulan |
Silakan diwikifikasi. ‑Bennylin 「bincang」 18.08, 17 Januari 2013 (WIB)