Wewene Minahasa
Wewene Minahasa dalam bahasa Minahasa berarti perempuan Minahasa.[1] Dalam kebudayaan Minahasa, perempuan memiliki status yang unik. Mitologi Minahasa menceritakan bahwa manusia atau leluhur pertama yang ada di tanah Minahasa adalah Lumimuut. Lumimuut adalah seorang perempuan. Pria pertama lahir dari Lumimuut bernama Toar. Mitologi tersebut juga menjelaskan bahwa yang menciptakan Lumimuut adalah seorang dewi yang bernama Karema. Begitu pula dengan sejarah Minahasa dalam perspektif mitologis sangatlah feminis. Nama Pingkan untuk seorang perempuan Minahasa adalah simbol kekuatan, keberanian, dan kesetiaan. dalam mitologi disebutkan bahwa Pingkan berani melawan keinginan seorang raja yang ingin memperistrinya dan tetap setia pada suaminya Matindas.[2] Cerita tentang Pingkan dan Matindas dulunya menjadi semacam cerita yang wajib diceritakan di acara-acara pernikahan sebagai teladan bagaimana menjadi sepasang suami istri yang ideal. Dalam hal kerja produktif pun wanita dan pria bekerja sama menggarap ladang dan hal ini ada dalam tradisi mapalus.
Posisi perempuan dalam adat
suntingBudaya patriarki telah menciptakan ruang dalam rumah tangga di mana dapur adalah ruang bagi perempuan.[3][4] Tetapi budaya Minahasa sebenarnya tidak ada pembagian seperti itu. Karena perempuan dan laki-laki umumnya bisa memasak di Minahasa. Dalam acara-acara pesta pernikahan yang selalu bertanggung jawab pada urusan dapur adalah seorang pria. Kepala koki biasanya adalah seorang pria yang melakukan manajemen pada urusan makanan dan tentunya dia pun tahu soal masak memasak. Rata-rata pria Minahasa tahu soal bagaimana memasak makanan tradisional. Dari segi kausalitas posisi perempuan mendahului laki-laki dan perkembangan kebudayaan Minahasa memandang perempuan memiliki derajat yang sama dengan para lelaki. Perempuan adalah pencipta dan yang melahirkan manusia baru. Mereka adalah kreator sekaligus memiliki peran yang sangat signifikan dalam fungsi reproduksi demi regenerasi bangsa. Mereka harus dihormati sebagai pencipta dan pemelihara kehidupan.[5] Dalam hal ini, posisi perempuan Minahasa menempati posisi yang cukup unik dalam berbagai bidang karena tidak pernah tersubordinasi secara sosial dan kultural dari kaum pria. Kondisi ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, Minahasa telah mampu menyelesaikan permasalahan gender.
Kekerabatan
suntingKarena menganut prisip keturunan bilateral, maka hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui pihak pria dan perempuan. Ayah dan ibu memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap anak-anak. Anak-anak akan menggunakan nama fam (famili atau nama keluarga) ayahnya di belakang nama kecilnya.[6] Misalnya keluarga ayah adalah Mandagie, maka semua anak-anaknya akan menggunakan nama keluarga Mandagie di belakang nama kecilnya. Tapi tak jarang, nama marga ibu juga digunakan sebagai marga anak, atau menyelipkannya sebagai nama tengah anak.[7]
Kehidupan pribadi
suntingDalam budaya Minahasa, posisi perempuan cukup setara dengan laki-laki. Bahkan dalam hal pernikahan, perempuan memiliki status yang lebih terhormat.
Kelahiran
suntingApabila seorang perempuan Minahasa akan melahirkan, maka tidak menjadi masalah apakah anak yang akan lahir itu perempuan atau pria.[8] Karena masyarakat menganggap bahwa anak laki-laki dan perempuan sama saja. Maksudnya, anak laki-laki tidak dianggap terlampau istimewa sehingga melupakan keberadaan anak perempuan. Anggapan tersebut dipengaruhi oleh pemikiran keagamaan bahwa anak yang dilahirkan adalah anugerah Tuhan. Ditinjau dari aspek ekonomi, anak laki-laki dapat membantu orang tua meng-olah kebun atau sawah. Sedangkan anak perempuan, melalui perkawinan dapat membawa harta (maskawin dari suaminya) berupa: petak tanah; kebun atau sawah; rumah; uang; ternak dan sebagainya.
Pernikahan
suntingDalam masyarakat Minahasa, perempuan mempunyai kedudukan yang terhormat dan berpengaruh dalam kehidupan perkawinan.[5][9] Hal ini dapat dilihat dari nama-nama yang diberikan kepada perempuan, seperti: (1) Tetenden, istilah dalam bahasa Tombulu dan Tountemboan, artinya tempat bersandar; (2) Kasende, istilah dalam bahasa Tombulu dan Tountemboan, artinya teman makan, secara implisit tersirat makna kedudukan yang sama dengan kaum pria; (3) Si Esa, dalam bahasa Tombulu dan Tountemboan, artinya satu belahan, teman hidup.
Seorang perempuan sejak masa remaja sudah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk hidup berumah tangga. Proses pemilihan jodoh diserahkan kepada anak yang bersangkutan. Tetapi orang tua senantiasa menyarankan untuk memilih calon suami yang sudah bekerja. Bahkan orang tua akan mendorong anaknya untuk bersekolah setinggi mungkin. Dalam hal ini, terlihat juga makna bahwa perempuan turut membantu ekonomi rumah tangga dan tidak bergantung pada penghasilan suami.
Seorang laki-laki yang akan kawin harus mengambil calon isteri di luar kelompok famili ibu maupun ayah. Akan tetapi, dalam menghitung hubungan kekerabatan hanya berdasarkan satu jumlah angkatan terbatas (prinsip konsentris).[6] Oleh karena itu, sebelum diadakan peminangan (maso minta), orang tua menyelidiki hubungan darah dengan orang tua calon suaminya atau tidak. Apabila ketahuan memiliki hubungan keluarga dekat, maka pemilihan jodoh akan dibatalkan.
Orang-orang yang dianggap masih mempunyai hubungan darah dekat dengan mereka yaitu termasuk keturunan pada angkatan ke-3 ke bawah, yakni cucu basudara. Demikian pula halnya angkatan ke atas sampai pada nenek ayah maupun ibu yang biasa disebut Opu (pria) dan Omu (perempuan). Apabila calon isteri atau suami melanggar aturan yang sudah berlaku tersebut, maka dianggap melaksanakan perkawinan sumbang (incest). Sanksi tegas lembaga adat tidak ada, tetapi sanksi sosial tetap berlaku. Masyarakat percaya anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan terlahir cacat secara fisik.
Pada zaman dahulu masyarakat Minahasa belum mengenal lembaga nikah formal-administratif seperti saat ini. Oleh karena itu, jika seorang laki-laki bermaksud untuk menikah, ia harus melaksanakan meneroho (memberi harta atau antar harta) kepada orang tua calon pengantin perempuan sebagai ganti rugi karena salah satuanggota keluarganya akan diambil. Pemberian harta dihitung berdasarkan kecantikan, kepandaian, keterampilan serta status sosial keturunan dari keluarga yang bersangkutan. Biasanya jenis dan jumlah harta yang dituntut oleh orang tua calon pengantin perempuan sebagai berikut: tanah; telaga; kuda; pohon sagu; ternak babi; kain patola atau di Minahasa dikenal dengan kain Bentenan; kain hitam; kain putih; kain merah; katun Cina; cangkir; piring dan lain-lain. Antar harta tersebut menjadi simbol sahnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan dimaksud. Apabila jumlah yang diminta oleh pihak perempuan terlalu tinggi, maka calon pengantin pria akan melaksanakan bride service, yakni menjual tenaga dengan bekerja di rumah calon isterinya sampai jumlah harta yang diminta terpenuhi.[10]
Setelah kedatangan bangsa Belanda dengan penyebaran agama Kristen, meneroho dilihat sama dengan menjual anak gadis atau membeli isteri. Hal tersebut dianggap merendahkan harkat dan martabat perempuan dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Karena itu, adat tersebut harus dihapus. Sebagai gantinya, harta tersebut diberikan kepada calon isterinya dan biaya pesta perkawinan menjadi tanggung jawab laki-laki.
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di daerah Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di daerah Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan zaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Saat ini mandi adat yang dilakukan adalah "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" yang dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin.[11][12]
Perceraian
suntingPada masyarakat Minahasa dahulu, seorang laki-laki boleh berpoligami. Hal tersebut dikarenakan laki-laki zaman dahulu harus merantau, berperang ke wilayah lain dalam jangka waktu lama. Setelah masuknya ajaran agama Kristen, maka kegiatan tersebut dihapuskan karena bertentangan dengan ajaran. Gantinya, penduduk menganut paham monogami. Tetapi perceraian tetap terjadi. Permintaan cerai bisa dilakukan oleh suami dan bisa juga dilakukan oleh isteri. Penyebab perceraian bermacam-macam. Apabila penyebab perceraian karena isteri berzinah atau kawin lagi (bagila), maka harta yang diberikan oleh suami dapat diambil kembali. Sedangkan jika suami yang lebih dahulu berzinah atau kawin lagi, maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan diselesaikan secara musyawarah dan umumnya dibagi sama rata.Jika setelah terjadi perceraian seorang mantan suami ingin rujuk dengan mantan isterinya, maka yang bersangkutan harus melamar lagi, disertai maskawin antar harta dan melaksanakan pesta perkawinan.[1]
Dari segi harta, anak tersebut mempunyai status yang sama dengan anak kandung dan konsekuensinya anak tersebut berhak atas harta warisan orang tua angkatnya. Dengan kata lain, anak angkat dan anak kandung memiliki hak yang sama dengan anak kandung dalam hak atas harta orang tuanya. Dia juga berkewajiban menjamin orang tua angkatnya pada hari tua.
Dinamika kehidupan sosial
suntingIdentitas perempuan Minahasa dapat kita telusuri lewat catatan-catatan masa kolonial. Misalnya, Berdasarkan amatan N. Graaafland, ia mengatakan perempuan Minahasa merupakan pribadi yang memiliki daya tarik karena kegigihan dan kemauan yang keras. Sifat-sifat perempuan Minahasa seperti digambarkan adalah perasa, pencinta anak yang besar dan mendalam, penggembira, lincah, rajin serta ringan tangan atau mempunyai sifat penolong. Selain itu, penurut dan berkemauan keras bahkan sering dapat memaksakan kehendaknya. Karena sifat-sifat ini, perempuan Minahasa mempunyai kemauan kerja yang keras dan lebih cepat dan terbuka bergaul dengan siapa saja tanpa merasa asing. Ketika bertugas di Minahasa pada 1850-an, Graafland juga melihat:
Memang, kaum perempuan […..] betul-betul sangat peka terhadap perkembangan intelektual. Mereka memiliki otak yang encer, daya tangkap yang bagus, perasaan yang hidup dan kemauan yang keras. Oleh karena itu […..] sebagaimana banyak tempat di daerah Minahasa, jarang ditemukan anak gadis yang kalah pintar dari anak-anak lelaki.[13]
Pendidikan
suntingDalam arsip negara kolonial berangka tahun 1871, bahkan pada tahun 1869 lebih dari 30 tahun sebelum kebijakan politik etis dijalankan di Hindia Belanda, murid perempuan telah sebanyak 34,5 % dari keseluruhan murid di Minahasa yang tersebar di: sekolah negara (staatschool) 28 %; sekolah sekolah misi (zending/mission schools) 34%; sekolah distrik (negoriij schools).[14] Kondisi pendidikan yang cukup maju pada masa itu membuat para perempuan minahasa berani merantau untuk mencari pekerjaan ke luar wilayah Minahasa.[15]
Dalam tingkat pendidikan lebih tinggi, perempuan pribumi pertama dan kedua yang lulus dari sekolah dokter zaman Belanda, STOVIA dan merengkuh gelar dokter berasal dari Minahasa yaitu:
- Marie Thomas lulus tahun 1912, dan
- Ann Warouw lulus tahun 1914.
Bahkan Marie Thomas juga menjadi perempuan pribumi pertama yang menjadi Dokter Spesialis dalam bidang Obstetri dan Ginekologi.[16][17]
Dalam bidang pendidikan, perempuan Minahasa memiliki seorang tokoh yang memperjuangkan pendidikan di Minahasa yaitu Maria Walanda Maramis. Beliau dikenal sebagai sosok yang mendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.[18] Maria merupakan salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki nalar kritis untuk menyetarakan kehidupan perempuan atas kaum lelaki. Atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dan setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis.
Perpolitikan
suntingPerempuan Minahasa juga memegang peranan dalam panggung politik berbagai tingkat. Beberapa perempuan menjadi pucuk pimpinan suatu organisasi atau satuan administratif. Misalnya dalam bidang pemerintahan, perempuan Minahasa menjadi Kepala Desa, Lurah, Kepala Dinas, bahkan, Wali kota dan Bupati serta Ketua DPRD. Beberapa kabupaten di Sulawesi Utara dipimpin oleh perempuan. Salah satu wali kota perempuan pertama di Indonesia adalah Tine Wawaruntu yang memerintah Manado sejak tahun 1949. Pada tahun yang sama, Makassar juga dipimpin oleh wali kota perempuan bernama Salawati Daud atau Charlotte Salawati.[19][20] Begitu juga halnya dengan Jenderal perempuan pertama di Indonesia yaitu seorang polisi Jeanne Mandagi, ia bahkan menjadi jenderal ketika masih di masa Akademi Kepolisian (Akpol) masih belum menerima siswa perempuan.[21]
Referensi
sunting- ^ a b Bemmelen, Sita van. 1987. “The Marriage of Minahasa Women in the period 1861-1933, Views and Changes”. di dalam Elsbeth Locher-Scholten dan Anke Niehoff (eds.). Indonesian Women and Focus (Dordrecht: Foris Publication) hlm. 181-204
- ^ W., Wolters, O. (1999). History, culture, and region in Southeast Asian perspectives (edisi ke-Rev. ed). Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University. ISBN 9812300287. OCLC 41357331.
- ^ "Perempuan : Budaya Patriarki dan Kesetaraan Gender | UNJKita.com". UNJKita.com (dalam bahasa Inggris). 2016-04-11. Diakses tanggal 2017-11-30.
- ^ "Perempuan Dan Belenggu Peran Kultural". Jurnal Perempuan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-01. Diakses tanggal 2017-11-30.
- ^ a b Manoppo-Watupongoh, G. Y. J. 1989. “Perempuan Minahasa”. di dalam Journal Research and Development Sam Ratulangi University. Edisi Introductory Januari (Manado: Puslit Unsrat, 1989) hlm. 34-45
- ^ a b Melalatoa, M. Junus (1995-01-01). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- ^ "Sistem Kekerabatan Orang Minahasa - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-30.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Graafland, 1983 [1888]. “Kaum Perempuan di Minahasa” [Terjadi dalam Maria Ulfah Subadio dan T. O. Ihromi (Eds.). Peranan dan Kedudukan Perempuan Indonesia (Yogyakarta: UGM Press) hlm. 36-46
- ^ K. H. E. “Perkawinan di Minahasa”. di dalam Maria Ulfah Subadio dan T. O. Ihromi (Eds.). Peranan dan Kedudukan Perempuan Indonesia (Yogyakarta: UGM Press. 1983 [1894]) hlm. 170-178
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-01. Diakses tanggal 2017-11-30.
- ^ Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978, Adat dan upacara perkawinan daerah Sulawesi Utara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- ^ Direktorat Jenderal Kebudayaan,1999. Pandangan generasi muda terhadap upacara perkawinan adat di kota Manado, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- ^ Graafland, N. 1868. “De Manadorezen”. di dalam BKI. 15 de Deel. 1ste/2de Afl.. [3e Volgreeks. 3e Deel] (Leiden: KITLV) hlm. 382-393
- ^ Schouten, Maria J. C. 1998. Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society Minahasa in 1677-1983 (Leiden: KITLV)
- ^ Ratulangie, G. S. S. J. 1914. “Het Minahassisch Ideaal”. di dalam Indische Vereeniging. 3e Bundel. No. 1.. diterjemahkan Alva Supit dan penambahan catatan kaki oleh W. J. Waworoentoe (‘s Gravenhage)
- ^ Blackburn, Susan (2007). Kongres perempuan pertama. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794616109.
- ^ Layuck, Jean Rizal. Suprihadi, Marcus, ed. "Inilah Pesona Wanita Minahasa..." Kompas.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-02.
- ^ JJ.Rizal. 2007. Maria Walanda Maramis (1872-1924) Perempuan Minahasa, Pendobrak Adat dan Pemberotak Nasionalisme, dalam "Merayakan Keberagaman", Jurnal Perempuan Vol.54 tahun 2007. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, hal.87-98.
- ^ Putra, Ridwan. "Wali Kota Perempuan Pertama RI Ternyata di Makassar". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2017-12-02.
- ^ Wenri. "Ternyata, Walikota Perempuan Pertama di Indonesia Seorang Jurnalis". JPNN.com. Diakses tanggal 2017-12-02.
- ^ R, Mei Amelia. "Jeanne Mandagi, Polwan Perintis Pemberantasan Narkoba Tutup Usia". detikcom. Diakses tanggal 2017-11-30.