Wayang timplong

(Dialihkan dari Wayang Timplong)

Wayang Timplong adalah sejenis kesenian wayang dari daerah Nganjuk, Jawa Timur. Wayang timpllong adalah revolusi dari wayang krucil.

Kesenian tradisional ini konon mulai ada sejak tahun 1910 dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace, provinsi Jawa Timur. Wayang ini terbuat dari kayu, baik kayu waru, mentaos, maupun pinus. Instrumen gamelan yang digunakan sebagai musik pengiring juga sangat sederhana. Hanya terdiri dari Gambang yang terbuat dari kayu atau bambu, ketuk kenong, kempul dan kendang.[1] Jumlah wayang timplong yang biasanya dipertunjukan tidak sebanyak wayang kulit. Pertunjukan wayang timplong sangat sederhana dan biasanya dilakukan pada siang hari, hal ini berbeda dengan pertunjukan wayang kulit yang biasanya dilakukan pada malam hari.

Sejarah

sunting

Berdasarkan Prasasti Anjuk Ladang di Situs Candi Lor, disebutkan bahwa pada tahun 937 M, Raja Mataram-Hindu bernama Mpu Sindok memberikan ucapan terima kasih kepada rakyat Desa Anjuk Ladang. Ucapan itu diberikan karena rakyat Desa Anjuk telah membantu berperang menghadapi serangan dari pasukan Kerajaan Sriwijaya. Atas jasa tersebut, Mpu Sindok memberi hadiah berupa tugu kemenangan dan sima atau status desa bebas pajak atau disebut juga sebagai daerah perdikan. Dalam kalender Masehi, hadiah itu diberikan pada 10 April 937. Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Nganjuk. Melalui kacamata sejarah, tergambar pula bahwa wilayah Kabupaten Nganjuk bukanlah wilayah Negara Agung atau berdekatan dengan pusat pemerintahan, baik era Hindu-Budha maupun era Kesultanan Islam. Maka, kehidupan sosial dan budaya masyarakat ini cenderung bersifat egaliter atau tidak terlalu hirarkis. Dalam hal seni budaya, kesenian rakyat seperti Jaranan Pogog, Tayub, dan Wayang Timplong, pernah tumbuh subur dan digandrungi warga Nganjuk. Selain seni budaya tersebut, masyarakat Nganjuk juga sangat menghargai tradisi ritual berbau animisme-dinamisme seperti Nyadran (tolak bala atau bersih desa) dan Syu’roan (perayaan tahun baru Islam-Jawa).[2]

Isi cerita

sunting

Cerita pertunjukan wayang timplong umumnya berhubungan dengan kondisi atau peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan, namun sering juga pertunjukan yang ditampilkan berhubungan dengan kehidupan kerajaan pada masa lampau. Wayang timplong ditampilkan pada saat acara nyadran, bersih desa, dan acara resmi Kabupaten Nganjuk. Terakhir kali wayang timplong ditampilkan pada acara HUT Kabupaten Nganjuk bulan April tahun 2016.[3]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Legenda Nganjuk". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-26. Diakses tanggal 2009-03-22. 
  2. ^ "Ternyata di Dunia Hanya Ada Lima Dalang Wayang Timplong". Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. 2018-09-10. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-22. Diakses tanggal 2019-02-22. 
  3. ^ Hutama, Fajar Surya; Cahyorini, Bellanida Wahyu (2016-12-19). "ANALISIS KEBUDAYAAN WAYANG TIMPLONG DAN TARI MUNGDHE SEBAGAI POTENSI DAN IDENTITAS BUDAYA MASYARAKAT KABUPATEN NGANJUK". FKIP e-PROCEEDING (dalam bahasa Inggris): 13–18. ISSN 2527-5917. 

Pranala luar

sunting