Kekosongan kekuasaan

(Dialihkan dari Vakum kekuasaan)

kekosongan kekuasaan atau vakum kekuasaan (Inggris: Vacum of Power) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika suatu pemegang kekuasaan telah kehilangan kendali atas sesuatu dan tidak ada yang menggantikan mereka.[1] Hal ini biasanya merupakan situasi politik yang dapat terjadi jika pemerintah tidak memiliki suatu otoritas sentral yang dapat diidentifikasi. Dalam sebuah kekosongan kekuasaan, seperti kondisi vakum secara fisika, kekuatan lain akan cenderung dengan "buru-buru" mengisi kekosongan tersebut segera setelah terjadi, mungkin dalam bentuk milisi bersenjata atau pemberontak, kudeta militer, panglima perang atau diktator.

Sejarawan Fernand Braudel membandingkan situasi Italia pada masa Renaissans sebagai sebuah "zona siklon, kekosongan besar", yang akan menarik tentara asing:

"Kekuatan pembatas di sisi timur dan barat daya Eropa bervariasi dari abad ke abad. Dunia para nomaden berputar di antara kelalaian, kelemahan dan kewaspadaan yang kadang-kadang tidak efektif. Sebuah hukum fisika sekarang menarik mereka ke arah barat, sekarang ke arah timur, berdasarkan apakah kehidupan eksplosif mereka akan terpicu dengan lebih mudah di Eropa, Islam, India, atau China. Karya klasik Eduard Fueter menarik perhatian ke zona siklon, sebuah kekosongan besar pada tahun 1494 atas Italia yang terfragmentasi di antara wilayah republik pangeran dan republik perkotaan. Seluruh Eropa tertarik ke dalam badai ini - menciptakan daerah tekanan rendah. Dalam cara yang sama badai terus-menerus meniup orang-orang dari stepa arah timur atau ke barat sesuai dengan garis dimana perlawanan paling sedikit.[2]

Selama atau setelah perang saudara, sering terjadi beberapa macam kekosongan kekuasaan. Sebagai contoh, negara Somalia yang kala itu dilanda perang kemudian terperosok dalam kekosongan kekuasaan, tanpa pemerintah pusat atau presiden yang memegang kontrol atas apa yang seharusnya adalah "Republik Somalia " .

Awal perang saudara di Bosnia pada tahun 1992 ditandai dengan kekosongan kekuasaan yang mengikuti disintegrasi Yugoslavia.

Sebuah kekosongan kekuasaan juga dapat terjadi setelah krisis konstitusi di mana sebagian besar dari pemerintah mengundurkan diri atau dikeluarkan, menciptakan isu-isu yang tidak jelas mengenai suksesi posisi kekuasaan .

Setelah Perang Dunia II, terjadi kekosongan kekuasaan di Eropa. Seiring dengan pembagian Jerman menjadi Republik Demokrasi Jerman dan Jerman Barat, diplomasi luar negeri Stalin dan tata kelolanya, pengembangan senjata nuklir, kebijakan luar negeri pengurungan komunisme, ekspansionisme Uni Soviet dan Amerika Serikat dan tumbuhnya ketida-kepercayaan (ketakutan terhadap hegemoni) terlihat menjadi faktor munculnya Perang Dingin. Kekosongan kekuasaan ini juga terjadi di Asia Tenggara di mana Indonesia menyatakan kemerdekaannya setelah penyerahan Jepang terhadap Tentara Sekutu.

Kontrol ketat yang diterapkan Partai Baath Saddam Hussein diberlakukan di Irak dapat dieksploitasi selama periode transisi setelah Invasi Irak 2003. Namun, kebijakan Pemerintah AS membersihkan anggota partai Baath dari pemerintah Irak setelah invasi tersebut malah menciptakan kekosongan kekuasaan yang cepat diisi oleh pemberontak Irak, yang kemudian mulai menyerang personel Tentara Amerika menggunakan alat peledak improvisasi dan penembak runduk.[3]

Konsep umum dari "kekosongan kekuasaan" juga relevan dengan banyak situasi pribadi dan organisasi . Dalam dunia kriminal banyak gembong narkoba yang mampu menjadi tidak-tersentuh karena ketakutan terhadap reaksi balasan yang terjadi dalam situasi kekosongan kekuasaan .

Referensi

sunting