Umbul Sindangkasih
Umbul Sindangkasih adalah wilayah bersejarah pada masa pemerintahan Dipati Ukur (Adipati Wangsanata). Umbul Sindangkasih dipimpin oleh Ki Somahita (Tumenggung Tanubaya), sebuah gelar bangsawan yang diberikan Sultan Agung di Mataram atas jasanya menangkap Dipati Ukur pada tahun 1632 yang dianggap sebagai pemberontak oleh Mataram. Wilayah ini sekarang merupakan bagian dari Kabupaten Majalengka.
Umbul Sindangkasih | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
20 April 1641 | |||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Sunda Klasik | ||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||
Tumenggung | |||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Piagam Sultan Agung Mataram, dekrit yang berisi pengangkatan Ki Somahita sebagai pemimpin Umbul Sindangkasih dan memberikan gelar Tumenggung Tanubaya. | 20 April 1641 | ||||||||||
Mata uang | Uang emas dan perak | ||||||||||
| |||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Asal-usul Istilah Umbul
suntingUmbul diperkisarakan berasal dari Bahasa Jawa, yang berarti muncul atau mata air.[2][3] Sebagai bagian suatu kewilayahn negara di tanah pasundan atau Parahyangan, Tatar Ukur meliputi Jawa Bagian barat yak dikenal sekarang sebagai Jawa Barat dan tatar Ukur bagian dari Kerajaan Pajajaran. Pembagian wilayah disebut Ukur yaitu setingkat Kabupaten pada zaman modern. Setiap Ukur beribu kota yang disebut Umbul.
Tatar Ukur dibagi dalam sembilan Ukur yang disebut "Ukur Sasanga". Tatar Ukur ini dipimpin oleh Dipati Ukur. Gelar dipati (adipati) adalah gelar bupati sebelum zaman kemerdekaan.[4]
Kata Umbul dapat ditemui dalam Naskah Sunda Kuno Warugan Lemah yang disimpan di Perpustakaan nasional epublik Indonesia dengan nomor inventaris Kropak L-622.[5]
Tata Kota atau pemukiman Sunda kuno dalam Naskah Warugan lemah disebutkan Umbul dan rembul (Lembur). Umbul artinya kota dan Rembul artinya desa. Pengkategorian pemukiman sederhana dengan menyebut 2 kategori saya, kota dan desa. Perkembangan bahasa Umbul menjadi Dayeuh (Portugis menyebutnya Dayo) dan Ibu kota disebut "Puseur Dayeuh".
Dalam pemerintahan Mataram Umul setara dengan Ajeg yang berubah lagi zaman Kolonialisme Belanda dengan sebutan Regentschapen atau Kabupaten.
Umbul Sindangkasih di bawah Dipati Ukur
suntingTanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Penyerangan ke Batavia ini gagal.
Dalam Negara Kerta Bumi digambarkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimanapun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dianggap sebagai penghianat dan akan memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun memerintahkan Sultan Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita (Tumenggung Tanubaya) dari Umbul Sindangkasih, Ki Astamanggala (Tumenggung Wiraangunangun) dari Umbul Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa (Tumenggung Wiradadaha) dari Umbul Sukakerta.
Atas jasa 3 pemimpin Umbul tersebut diberikan piagam penghargaan sekaligus jabatan. Piagam Sultan Agung Mataram pada tanggal 20 April 1641, yang mengangkat Tumenggung Wiraangunangun sebagai Bupati Bandung. Ki Wirawangsa dari Umbul Cihaurbeuti Resmi diangkat bupati menjadi bupati Sukapura bergelar Wiradadaha I, yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya) Raden Tumenggung Wiradadaha diberi gelar oleh Sultan Agung (Mataram), yaitu Raden Ngabehi Wirawangsa, bupati Sukapura pertama. Tumenggung Tanubaya adalah gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada Ki Somahita Umbul Sindangkasih sebagai Bupati Parakanmuncang pertama.
Sultan Agung Mataram membagi-bagi wilayah bekas tatar Ukur dalam beberapa "Ajeg" untuk memudahkan mengontrol wilayah "Mataram Barat". Akibat pemberontakan Dipati Ukur, dalam Piagam Sultan Agung bertanggal 9 Muharam tahun Alip (menurut F. de Haan, tahun Alip sama dengan tahun 1641 Masehi, tetapi ada beberapa keterangan lain yang menyebutkan bahwa tahun Alip identik dengan tahun 1633), daerah Priangan di luar Galuh dibagi lagi menjadi empat kabupaten:
- Sumedang (Rangga Gempol II, sekaligus Wedana Bupati Priangan),
- Sukapura (Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, bergelar Tumenggung Wiradadaha),
- Bandung (Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, bergelar Tumenggung Wiraangunangun),
- Parakan Muncang (Ki Somahita Umbul Sindangkasih, bergelar Tumenggung Tanubaya).
Wilayah Priangan kemudian dimekarkan dengan diubahnya Karawang menjadi kabupaten mandiri, sedangkan wilayah Galuh (Priangan Timur) dibagi empat kabupaten: Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.
Sepeninggal Sultan Agung (1645), Mataram dipimpin oleh anaknya, Sunan Amangkurat I (Sunan Tegalwangi, 1645-1677). Antara tahun 1656-1657, wilayah Mataram Barat (Mancanegara Kilen) dibagi menjadi dua belas ajeg sekaligus menghapus wedana bupati di Priangan: Sumedang, Parakan Muncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), Sekacé (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), dan Banjar (Panjer).
Umbul Sindangkasih diserahkan ke Cirebon
suntingUmbul Sindangkasih berada di muara Sungai Cideres dan Cijurey di sebelah timur Cimanuk. Wilayah ini bagian dari kabupaten Sumedang dibawah Pemerintahan Prabu Geusan Ulun. Atas kemelut "hati" berkaitan dengan Putri Harisbaya (istri Panembahan Cirebon) akhirnya wilayah Sindangkasih diserahkan kepada pihak Kerajaan Cirebon sebagai gantinya.[6]
Referensi
sunting- ^ Henry, Spiller (2008). Focus: Gamelan Music of Indonesia (Focus on World Music Series) 2nd Edition (edisi ke-2). Routledge. ISBN 978-0415960687. Diakses tanggal 13 Maret 2024.
- ^ "Arti Kata Umbul" cariarti.com Diarsipkan 2018-03-27 di Wayback Machine. Diakses 27 Maret 2018
- ^ "Arti kata umbul (umbul) dalam kamus Jawa-Indonesia. Terjemahan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia - Kamus lengkap online semua bahasa". kamuslengkap.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-03-27.
- ^ Nasional., Indonesia. Departemen Pendidikan; (Indonesia), Pusat Bahasa (2008). Kamus besar bahasa Indonesia Pusat Bahasa (edisi ke-Ed. 4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792238419. OCLC 320895480.
- ^ Gunawan, Aditia. "Warugan Lemah: Pola Pemukiman Sunda Kuno". 2010. Bandung. Penerbit: Pusat Studi Sunda
- ^ E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.