Ubasuteyama (姥捨て山 atau うばすてやま, Gunung Pembuangan Nenek) adalah cerita rakyat Jepang berdasarkan legenda mengenai tradisi membuang anggota keluarga berusia lanjut di gunung. Kisahnya mengenai anak laki-laki yang harus membuang orang tuanya yang sudah lanjut usia di gunung dengan alasan tradisi dan untuk mengurangi mulut yang harus diberi makan.

Legenda nenek tua Yamamba berasal tradisi membuang nenek di gunung.[1] Yamamba suka memakan para pelancong setelah sebelumnya menyediakan tempat menginap dan makanan. Ibu dari Sakata Kintoki dalam cerita rakyat Kintarō diceritakan sebagai yamamba berparas cantik.

Secara garis besar, cerita ini terdiri dari dua versi: masalah pelik dan patahan ranting.

Versi masalah pelik

sunting

Penguasa salah satu provinsi di Jepang menetapkan bahwa anggota keluarga yang sudah lanjut usia dan tidak mampu bekerja lagi sebagai makhluk tidak berguna. Oleh karena itu, mereka harus dibuang ke gunung. Salah satu keluarga yang memiliki seorang anggota keluarga lanjut usia juga terkena peraturan tersebut. Namun keluarga itu tidak tega untuk melaksanakannya. Mereka menyembunyikan orang tua itu di kolong rumah. Beberapa lama kemudian, penguasa provinsi itu diminta memecahkan pertanyaan-pertanyaan pelik dari penguasa provinsi tetangga. Bila tidak bisa menjawab masalah pelik yang diajukan, maka provinsi kecil itu diancam akan diserbu dan dihancurkan. Berkat pengetahuan dari orang lanjut usia, pertanyaan-pertanyaan pelik yang diajukan penguasa provinsi tetangga dapat dijawab. Peraturan membuang orang tua di gunung akhirnya dihapus, dan orang lanjut usia kembali diperlakukan dengan baik.

Versi patahan ranting

sunting

Seorang laki-laki menggendong ibunya yang sudah tua untuk dibuang ke gunung. Ia memerhatikan ibunya mematahkan ranting-ranting di sepanjang jalan setapak yang dilalui. Ketika ditanyakan alasannya, sang ibu menjawab, "Supaya ketika pulang nanti, kau tidak tersesat." Meskipun sudah tahu dirinya akan dibuang di gunung, sang ibu tetap memikirkan keselamatan anaknya. Laki-laki itu berubah pikiran dan membawa ibunya pulang ke rumah. Dalam versi yang hampir serupa, tebaran dedak dipakai sebagai pengganti patahan ranting.

Pada versi lain, seorang nenek dibuang ke gunung oleh anak laki-lakinya dan cucu-cucunya. Nenek itu digendong oleh anak laki-lakinya dengan memakai keranjang. Ketika sudah sampai digunung, nenek itu hendak ditinggalkan sendirian bersama keranjang yang dipakai menggendongnya tadi. Ketika hendak pulang, nenek itu berkata kepada cucunya, "Kau bawa pulang keranjang ini. Nanti kau perlu keranjang ini ketika membuang ayahmu." Nenek itu akhirnya tidak jadi ditinggal di gunung, dan dibawa pulang ke rumah.

Budaya populer

sunting

Narayama Bushikō (The Ballad of Narayama) dari novelis Shichirō Fukazawa memenangi Penghargaan Chūōkōron.[2] Novel ini diangkat sebagai film layar lebar oleh Keisuke Kinoshita pada tahun 1958 dan Shōhei Imamura pada tahun 1983. Film karya Imamura memenangi Palem Emas di Festival Film Cannes.[3] Latar tempat novel ini di desa pegunungan Prefektur Nagano. Dalam novel, orang lanjut usia berusia 70 tahun diajak "berziarah ke Gunung Narayama".[4] Dengan digendong oleh anaknya, orang tua lanjut usia dibawa ke hutan di tengah gunung untuk ditinggalkan sendiri menunggu kematian. Peraturan tersebut dibuat sebagai cara bertahan hidup orang desa di tengah alam pegunungan yang kejam.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ Nobuaki, Takerube (2008). 知っておきたい伝説の魔族・妖族・神族. Seitosha. hlm. 109. 
  2. ^ "深沢七郎: 『楢山節考』" (dalam bahasa Jepang). www.isis.ne.jp. 2001-10-05. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 2012-04-22.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  3. ^ Erickson, Hal. "The Ballad of Narayama". All Movie Guide. Diakses tanggal 2012-04-22. .
  4. ^ a b Yamakita, Atsushi (2009). 知っておきたい地獄・冥界・異界と天国. Seitosha. 

Pranala luar

sunting