Tumet leut merupakan salah satu sastra lisan dalam bentuk puisi yang dinyanyikan oleh masyarakat suku Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah. Suku Dayak Maanyan mendiami bagian timur provinsi Kalimantan Tengah, terutama di kabupaten Barito Timur dan sebagian kabupaten   Barito  Selatan. Secara etimologi, tumet leut berasal dari bahasa Dayak Maanyan, yakni tumet yang berarti nyanyian, serta leut yang berarti alunan, jika digabungkan memiliki arti sebagai nyanyian dan alunan lagu. Frasa tumet leut dari segi penggunaannya memperlihatkan perbedaan. Tumet umumnya lebih banyak digunakan untuk kepentingan hiburan, sedangkan kata leut lebih secara khusus untuk kepentingan upacara yang tentunya berhubungan dengan unsur kepercayaan terhadap roh keilahian atau roh para leluhur.

Sastra lisan tumet leut yang asli dilagukan dalam bahasa Pangunraun karena bahasa ini memiliki gaya bahasa dengan nilai seni tinggi.[1] Salah satu ciri khas dari bahasa Pangunraun ini adalah adanya persamaan kata atau yang dikenal dengan istilah pampadikan atau andranganyan. Tumet leut biasanya disenandungkan oleh orang-orang yang mengerti bahasa Pangunraun. Diperlukan keahlian tersendiri untuk bisa melantunkan tumet leut. Namun, seiring berkembangnya zaman, tumet leut sudah mengalami percampuran dengan bahasa Maanyan, tidak murni bahasa Pangunraun. Bahasa Maanyan Pangunraun bagi suku Dayak Maanyan ada bermacam-macam, bergantung pada siapa yang mengucapkan itu, atau apa profesi orang yang menggunakannya. Jika yang menuturkannya atau melagukannya orang awam, bahasa itu disebut tumet leut, jika balian yang melagukannya, bahasa itu disebut hiyang wadian, dan jika mantir dan pangulu (pemutus hukum adat perkawinan) yang melagukannya bahasa itu disebut kalakar atau taliwakas.[2]

Tumet leut biasanya dibawakan dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, adat, acara resmi pemerintahan, ritual pengobatan, pertemuan tokoh adat, sampai penuturan sejarah. Selain nadanya yang indah untuk hiburan, tumet leut bisa untuk menyampaikan pesan moral dan nilai luhur masyarakat adat Dayak Maanyan.

Formula Tumet Leut

sunting

Tumet leut menggunakan nada pentatonik sebagai nada dasar. Kerangka dalam tumet leut berupa salam pembuka, isi dengan menyesuaikan tema, dan penutup. Formula untuk membuat lirik pada tumet leut adalah memiliki pola pengulangan kosa kata yang mengandung makna yang bersinonim atau pengulangan kosa kata yang sama pada larik dalam satu bait. Sebagai sastra lisan dan termasuk ke dalam jenis puisi, tumet leut memiliki aspek struktural bunyi yang meliputi rima (persajakan), asonansi, aliterasi, anafora, efoni, kakafoni, dan onomatope. Tumet leut ini bisa diiringi oleh musik tradisional, seperti kangkanung, gong, dan seruling. Tumet leut juga bisa dilantunkan tanpa diiringi musik. Tumet leut bisa dilakukan secara sendiri atau bergantian seperti bersahut-sahutan oleh laki-laki dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki, bahkan Perempuan dengan perempuan. Tumet leut yang dilantunkan secara bersahut-sahutan ini biasanya dilakukan pada acara pernikahan adat saat ritual natas banyang.

Apabila seseorang melantunkan lagu atau nyanyian lengan dinamakan numet yang diambil dari kata tumet. Sedangkan untuk lagunya disebut tumet leut. Ada kemungkinan pemakaian frasa ini mengacu pada kesamaan makna untuk acuan menyanyikan lagu. Leut lebih banyak mengarah para identifikasi lagu yang digunakan oleh para balian dalam berbagai upacara adat maupun ritual pengobatan.

Budaya Masyarakat Dayak Maanyan

sunting

Masyarakat Dayak Maanyan adalah masyarakat lisan. Oleh karena itu tradisi lisan memainkan peranan sentral dalam tatanan hidup bermasyarakat. Tradisi lisan bagi suku Dayak Maanyan adalah sebuah teks lisan yang membuat totalitas konsep-konsep dasar ideologi, dogma, doktrin, filsafat, sejarah, bahasa, sastra, hukum dan kebiasaan serta nilai-nilai sentral, tatanan dan struktur sosial, serta cara-cara berhubungan dengan alam nyata dan alam mistik.[3]

Tumet dan leut sebagai sastra lisan mengandung wacana sastra berhubungan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu. Dalam konteks ini, tumet dan leut dapat dinyatakan bahwa merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Maanyan. Hal ini menunjukkan bahwa tumet dan leut berkaitan erat dengan nilai budaya Maanyan, karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem simbol membuatnya terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika budaya. Tumet dan leut menghadirkan tentang konstruksi realitas budaya Maanyan yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, digagas, dan dipandang oleh penuturnya. Tumet dan leut juga dipandang sebagai wacana dan sekaligus sebagai inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi realitas budaya Maanyan.

Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara tumet dan leut. Apabila seseorang melantunkan lagu atau nyiang lengan dinamakan numet yang diambil dari kata tumet. Sedangkan untuk lagunya disebut tumet leut. Ada kemungkinan pemakaian frasa ini mengacu pada kesamaan makna untuk acuan menyanyikan lagu.

Kondisi Tumet Leut

sunting

Tumet leut sering dilantunkan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, kritikan atau sindiran. Keberadaan tumet leut sekarang ini mulai jarang dilantunkan, hanya dilantunkan pada acara-acara tertentu.  Jika hal ini dibiarkan, tentu tumet leut akan hilang dan menjadi sastra lisan yang mati. Perlu usaha untuk memelihara dan melestarikan tumet leut agar tetap hidup dan berkembang.  Pelestarian dan pengembangan tumet leut perlu dilakukan, sebab tumet leut dapat dijadikan alat     untuk mengembangkan karakter bangsa dan identitas asli bangsa, khususnya masyarakat Dayak Maanyan.

Referensi

sunting
  1. ^ Misnawati, Misnawati; Maysani, Devi; Diman, Paul; Perdana, Indra (2022-09-15). "KEINDAHAN BUNYI SEBAGAI IDENTITAS KULTURAL MASYARAKAT DAYAK MAANYAN DALAM SASTRA LISAN TUMET LEUT". BADAN PENERBIT STIEPARI PRESS (dalam bahasa Inggris). 
  2. ^ Linarto, Lazarus (2015). "Struktur Klausa Bahasa Maanyan dalam Pangunraun Taliwakas Paadu (The Structure of The Maanyan Clause in Pangunraun)". Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya. 5 (1). 
  3. ^ Diman, Paul (Desember 2020). "Nyanyian Adat Masyarakat Dayak Maanyan: Suatu Pendekatan Hermeneutika". Enggang: Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya 1. 1.