Transmisi tenaga listrik

Transmisi tenaga listrik adalah proses penghantaran tenaga listrik secara besar-besaran dari pembangkit listrik menuju ke gardu listrik. Jalur yang terinterkoneksi untuk memfasilitasi penghantaran ini dikenal sebagai jaringan transmisi listrik. Transmisi berbeda dengan proses penghantaran listrik dari gardu ke pengguna, yang biasanya disebut sebagai distribusi tenaga listrik. Kombinasi dari jaringan transmisi dan distribusi listrik dikenal sebagai "jaringan listrik".

Jalur transmisi tenaga listrik tiga fasa 500 kV di Bendungan Grand Coulee; tampak ada empat sirkuit, sementara dua sirkuit lain tertutup oleh pohon di sisi kanan foto; listrik hasil pembangkitan PLTA sebesar 7.079 MW di dekatnya pun ditransmisikan lewat keenam sirkuit ini.

Pada awalnya, jalur transmisi dan distribusi listrik dimiliki oleh satu perusahaan yang sama, namun pada dekade 1990-an, banyak negara mulai meliberalisasi peraturan ketenagalistrikannya, sehingga suatu perusahaan dapat memiliki jalur transmisi saja ataupun jalur distribusi saja.[1]

Sistem

sunting

Sebagian besar jalur transmisi menghantarkan listrik berarus bolak-balik tiga fasa tegangan tinggi, walaupun arus bolak-balik satu fasa terkadang juga digunakan dalam elektrifikasi perkeretaapian. Teknologi arus searah bertegangan tinggi juga digunakan untuk menghantarkan listrik dalam jarak yang sangat jauh (biasanya ratusan mil) karena lebih efisien daripada arus bolak-balik. Teknologi ini juga digunakan pada kabel listrik bawah laut (biasanya dengan jarak lebih dari 30 mil (50 km)).

 
Diagram dari sebuah sistem kelistrikan; sistem transmisi ditunjukkan dengan warna biru

Listrik ditransmisikan pada tegangan tinggi (115 kV ke atas) untuk mengurangi hilangnya listrik pada saat dihantarkan dalam jarak yang jauh. Listrik biasanya ditransmisikan melalui saluran listrik udara, karena transmisi listrik melalui bawah tanah membutuhkan biaya pemasangan yang lebih besar dan banyak batasan dalam operasionalnya, walaupun biaya perawatannya lebih rendah. Transmisi listrik bawah tanah biasanya digunakan di kawasan urban dan di kawasan dengan lingkungan yang sensitif.

Kurangnya fasilitas penyimpanan tenaga listrik dalam sistem transmisi menyebabkan tenaga listrik harus dibangkitkan pada jumlah yang sama dengan jumlah kebutuhan pada saat itu. Sebuah sistem kendali yang canggih pun dibutuhkan untuk memastikan bahwa pembangkitan listrik menyamai jumlah listrik yang dibutuhkan pengguna. Jika jumlah kebutuhan pengguna lebih besar dari jumlah listrik yang dapat dibangkitkan, maka ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan pembangkit dan peralatan transmisi untuk melepaskan diri dari sistem kelistrikan secara otomatis, guna mencegah kerusakan. Pada kasus terburuk, lepasnya pembangkit dan peralatan transmisi dari sistem ini dapat menyebabkan serangkaian pemadaman listrik pada wilayah yang cukup luas. Contoh dari hal ini adalah Mati listrik Jawa Bali 2005 dan Mati listrik Jawa 2019. Untuk mencegah hal ini, jaringan transmisi listrik biasanya terinterkoneksi ke jaringan transmisi lain di dekatnya, atau bahkan ke jaringan transmisi di negara lain, dengan menyediakan redundansi ganda, rute alternatif untuk menghantarkan listrik apabila terjadi pemadaman secara tiba-tiba. Perusahaan pengelola transmisi biasanya akan menentukan kapasitas handal maksimum dari tiap jalur transmisi (biasanya kurang dari kapasitas maksimum aktual) untuk memastikan adanya kapasitas cadangan yang dapat dipakai apabila terjadi kegagalan di jalur transmisi lain.

Saluran transmisi udara

sunting
 
Jalur listrik tiga fasa bertegangan tinggi di Washington, "Bundled" 3-ways

Saat ini, listrik pada jalur transmisi biasanya memiliki tegangan 110 kV ke atas. Tegangan yang lebih rendah, seperti 70 kV dan 33 kV biasanya juga digunakan pada jalur transmisi yang bebannya masih rendah. Sementara tegangan yang lebih rendah dari 33 kV biasanya digunakan untuk distribusi tenaga listrik.

Transmisi listrik bawah tanah

sunting

Tenaga listrik juga dapat ditransmisikan melalui kabel bawah tanah. Kabel jenis ini memerlukan lahan lebih kecil daripada saluran listrik udara, tidak terlalu tampak, dan tidak terlalu terpengaruh cuaca buruk. Walaupun begitu, biaya konstruksi saluran bawah tanah lebih mahal daripada saluran udara. Kerusakan pada saluran bawah tanah juga lebih sulit untuk dideteksi dan diperbaiki.

Pada beberapa daerah metropolitan, kabel listrik bawah tanah diselubungi oleh pipa logam dan diinsulasi dengan cairan dielektrik (biasanya berupa minyak) yang statis ataupun disirkulasikan dengan pompa. Jika terjadi kerusakan pada pipa dan membuat cairan dielektrik bocor, maka truk bermuatan nitrogen cair akan dikirimkan ke lokasi kebocoran untuk membekukan bagian pipa yang bocor, sehingga dapat dilakukan perbaikan terhadap bagian pipa yang bocor. Tipe kabel bawah tanah seperti ini memang membutuhkan biaya perbaikan yang lebih besar dan waktu perbaikan yang lebih lama. Suhu pipa dan tanah juga harus dipantau terus menerus selama proses perbaikan.[2][3][4]

Saluran bawah tanah dengan listrik berarus bolak-balik sangat dibatasi oleh kapasitas termalnya, sehingga kapasitas yang dapat dicadangkan tidak bisa terlalu besar. Semakin panjang saluran bawah tanah, maka kapasitansinya juga makin besar, sehinggga tidak terlalu efektif jika digunakan untuk mentransmisikan listrik lebih jauh dari 50 mil (80 kilometer). Sementara saluran bawah tanah dengan listrik berarus searah tidak dibatasi oleh kapasitansinya, tetapi saluran ini membutuhkan stasiun pengubah di kedua ujung saluran, guna mengubah jenis arusnya dari searah menjadi bolak-balik, sebelum dapat diinterkoneksikan dengan keseluruhan jaringan transmisi.

Referensi

sunting