Tradisi piring terbang

Tradisi piring terbang adalah tata cara menghidangkan makanan dengan menggunakan pramusaji kepada tamu undangan. Umumnya tradisi piring terbang digunakan pada acara besar seperti pernikahan, khitanan hingga acara pengajian.[1]

Sejarah

sunting

Tradisi piring terbang mulai dikenal pada tahun 1980-an yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. Masyarakat Solo sering menggunakan konsep piring terbang sebagai salah satu tradisi dalam menjamu tamu undangan pada acara pernikahan. Namun, ada juga masyarakat di luar Jawa Tengah juga mengadopsi tradisi piring terbang dalam menjamu tamu undangan.[1]

Penyajian

sunting

Porsi makanan dan minuman yang ada pada tradisi piring terbang juga telah ditentukan dan dianggarkan sebelumnya. Pada tradisi piring terbang, adapun makna yang tersiratkan adalah sesuatu yang tergesa-gesa dan memiliki kepraktisan dalam melakukan penyajian. Tradisi piring terbang dianggap mampu memberikan keuntungan untuk penyelenggara acara karena hanya menggunakan anggaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan konsep penyajian makanan secara prasmanan.

Saat acara dimulai tamu undangan dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Selanjutnya, tim pramusaji akan mendatangi tamu undangan dengan porsi makanan di atas piring dan minuman berukuran sedang. Urutan penyajian yang dilakukan saat menggunakan tradisi piring terbang juga memiliki makna tersendiri.

Mula-mula pramusaji memberikan makanan dan disusul dengan memberikan camilan hingga sup. Munculnya hidangan utama menandakan bahwa acara siap dimulai dan tamu undangan siap dijamu dengan hidangan yang telah disediakan. Namun, ketika pramusaji datang dengan membawa menu makanan atau minuman penutup seperti es (es buah, kopyor, manado dll) tamu undangan harus bergegas karena hal tersebut menandakan bahwa acara akan berakhir.

Referensi

sunting
  1. ^ a b Setyaningrum, Puspasari (2022-10-11). "Mengenal Tradisi Piring Terbang, Jamuan Unik di Acara Pernikahan Gaya Solo". Kompas. Diakses tanggal 2025-01-18.