Nguras enceh adalah upacara pengisian tempayan pada masyarakat Imogiri.[1] Pelaksanaannya dilakukan di dalam Kompleks Makam Raja-raja Imogiri. Benda ritualnya berupa enceh atau tempayan yang disimpan di sekitar makam Sultan Agung.[2]

Awal Mula

sunting

Upacara Nguras Enceh berawal dari kemenangan Kesultanan Mataram yang berperang dengan aliansi Kesultanan Aceh, Kesultanan Palembang, Kesultanan Ustmaniyah (Turki Utsmani), dan Kerajaan Siam (Thailand-Myanmar). Keempat kerajaan ini kemudian menjadi kerajaan sahabat dari Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Sebagai tanda perdamaian dan tanda persahabatan, Sultan Agung meminta masing-masing kerajaan untuk memberikan pusaka yaitu gentong enceh. Hal ini kemudian menjadi tradisi bagi masyarakat di Kecamatan Imogiri yang disebut Nguras enceh atau Nguras kong.[3] Pada masa selanjutnya Gentong tersebut kemudian diletakkan di hadapan makam Sultan Agung.

Di sisi kiri (dilihat dari tangga bawah) atau di sebelah barat makam raja-raja Imogiri ada dua enceh milik Keraton Kesultanan Yogyakarta. Yaitu Nyai Danumurti dan Kyai Danumaya, letak kedua gentong ini lebih rendah dari letak gentong milik Keraton Surakarta karena menurut silsilah, Keraton Yogyakarta lebih Muda dibanding Surakarta. Namun kedua gentong milik Yogyakarta ini berada di kompleks makam raja-raja dari Kesunanan Surakarta Hadiningrat.

Sementara di sisi kanan (dilihat dari tangga bawah) atau sebelah timur makam raja-raja Imogiri terdapat dua enceh milik Keraton Kesunanan Surakarta. Yaitu Nyai Siyem dan Kyai Mendu, letak kedua gentong ini lebih tinggi dari letak gentong milik Keraton Yogyakarta karena menurut silsilah, Keraton Surakarta lebih tua dibanding Yogyakarta. Namun kedua gentong milik Surakarta ini berada di kompleks makam raja-raja dari Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Ritual

sunting

Sehari sebelum diadakannya Nguras enceh, dilakukan kirab dengan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa. Kirab ini dimulai dari Kecamatan Imogiri hingga ke Kompleks Makam Raja- Raja Imogiri di Pajimatan, Girirejo. Kesenian Gunungan, Prajurit Lombok Abang, Jatilan, Gejog Lesung, dan Selawatan menjadi pengiring kirab.[4]

Prosesi diadakan didalam Kompleks Raja Raja Mataram Imogiri. Kompleks Makam Imogiri memang dikelola secara bersama oleh Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Masing-masing keraton memiliki abdi dalem golongan atas yang menjadi perwakilan dan bertindak sebagai penanggung jawab alias juru kunci di sana, yang disebut "Bupati". Bupati Keraton Surakarta dan Bupati Keraton Yogyakarta di sana juga mempunyai beberapa bawahan yang juga merupakan abdi dalem namun berasal dari golongan bawah. Sebagai rincian, jumlah abdi dalem yang berada di Kompleks Imogiri (Makam Raja Raja Imogiri dan Masjid Pajimatan Imogiri) mencapai 103 orang dengan rincian : 62 orang abdi dalem Keraton Yogyakarta dan 41 orang abdi dalem Keraton Surakarta.

Pada gerbang masuk kedua dari makam Sultan Agung, terdapat empat buah enceh atau tempayan pemberian empat kerajaan sahabat. Masing-masing tempayan diberi nama yaitu Nyai Danumurti dari Kesultanan Palembang dan Kyai Danumaya dari Kesultanan Aceh. Keduanya adalah milik dari Keraton Yogyakarta. Sementara dua lagi yakni Kyai Mendung dari Kesultanan Ustmaniyah, dan Nyai Siyem dari Kerajaan Siam.[1]. Keduanya adalah milik dari Keraton Surakarta.

Ritual dimulai dengan acara tahlilan, selewatan dan doa bersama. Masing masing abdi dalem dari masing-masing keraton melakukan ritual doa dan tahlil dekat dengan gentong milik Keraton masing-masing dan diikuti oleh para pengunjung dengan khusyuk. Abdi dalem Surakarta (biasanya memakai jubah abdi dalem stelan putih krim) melakukan ritual di bangsal sebelah kiri (dilihat dari makam sultan agung) dan Abdi dalem Yogyakarta (biasanya memakai jubah abdi dalem stelan biru laut) melakukan ritual di bangsal sebelah kanan (dilihat dari makam sultan agung).

Setelah doa dan tahlilan, abdi dalem dari dua keraton kemudian melaksanakan prosesi pembagian air kurasan gentong kepada para pengunjung.

Pemaknaan

sunting

Pada awalnya, Sultan Agung menggunakan enceh hanya untuk melakukan wudu. Air dari keempat tempayan tersebut kemudian dianggap sebagai air suci oleh masyarakat. Selain itu,air dalam enceh diyakini memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Himaya 2017, hlm. 209.
  2. ^ Himaya 2017, hlm. 208.
  3. ^ Suharta 2014, hlm. 1968–1967.
  4. ^ Suharta 2014, hlm. 1969.

Daftar pustaka

sunting