Tortor Toping atau tarian toping-toping adalah tarian yang dipertunjukkan pada acara kematian dalam masyarakat Simalungun. Ada dua acara kematian yang mempertunjukkan tarian ini, yaitu matei sayur matua dan matei layur matua[1].

Tarian ini terdiri dari tiga jenis topeng, yaitu topeng enggang, topeng dalahi, dan topeng daboru. Pada masyarakat Simalungun zaman dahulu, dipercaya bahwa burung enggang berperan penting dalam membawa roh orang yang meninggal terbang ke alam yang lebih tinggi. Tarian toping-toping ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan topeng, dengan peserta terdiri dari laki-laki dan perempuan. Para penari perempuan mengenakan pakaian berwarna merah, hitam, dan putih, serta menggunakan sarung, sementara penari laki-laki mengenakan baju putih dan celana panjang hitam.

Pada masa lampau, tarian ini hanya dipertunjukkan dalam upacara kematian di lingkungan kerajaan Simalungun. Namun, seiring perkembangan zaman, tarian toping-toping kini dapat dipentaskan dalam upacara-upacara kematian masyarakat umum. Meskipun demikian, tarian ini tidak selalu ditampilkan dalam setiap upacara kematian, melainkan hanya untuk keluarga yang mampu secara ekonomi dan bersedia mengundang pertunjukan ini, terutama pada upacara kematian seperti matei sayur matua dan matei layur matua[2].

Setelah tarian toping-toping selesai dipentaskan, acara biasanya dilanjutkan dengan nyanyian yang menyentuh hati, dinyanyikan oleh keluarga yang berduka. Lirik-lirik nyanyian ini biasanya berisi pengalaman hidup almarhum serta kenangan kebersamaan dengan keluarga yang ditinggalkan. Nyanyian tersebut begitu mendalam, sehingga para tamu yang hadir kerap tersentuh dan turut meneteskan air mata ketika mendengarnya.

Nyayian

sunting

O inang naumbolos huja ma ahu lahou, Mubah ma pardilongku bamu pakon parlilungku hu bamu marihutkon domma itadingkon ham ahu. Seng tongka be holi uhurhu manonggor halak na sisiran siat, songon tanggiang na tarpolou ma ahu, huja pe songon rompa se siat, seng be tarkakawahkon simanohotku ganupan halak na sirsiran sipat. Marlohei ma sihumoyon, seng dong ham baen siingaton manurdukkon sipanion, on, Lambin martangkas ma huhadapkon, huja ma ham buatonku seng be dong ham parlindungonkonku, huja ma hubaen simatidoahu seng ham dong pe pangadu – aduanku. O inang na umbalos huja ma ahu lahou Rotap ma ganupan pangarapan Madohor ma parsirangan Madaoh ma pardomuan.

Terjemahan:

‘Hai bibi, ke manalah aku akan pergi, Bergantilah caraku memanggil dan menyapamu karena bibi telah meninggalkanku. Tak tega hatiku melihat orang yang lengkap berada, aku hanya seper - ti pakis hujan hidup sebatang kara, ke mana pun aku kan pergi hanya seperti pengemis, tak terlihat mataku lagi orang yang serba berkeadaan lengkap. Bila perut lapar, tak ada lagi bibi tempat meminta menyuguhkan makanan, bertambah perihlah derita terasa, ke mana bibi akan kucari, tak ada lagi tempatku berlindung, kemanalah kutumpahkan penghara - panku karna bibi taka da lagi tempatku mengadu. Hai bibi, ke mana aku akan pergi, Putuslah sudah harapan Mendekat juga masa berpisah Menjauh pula masa berjumpa’[3]

Referensi

sunting
  1. ^ Rahmadani, Suci; Erlinda, Erlinda (2019-07-02). "MAKNA SIMBOLIK TORTOR TOPING HUDA-HUDA DALAM UPACARA ADAT SAYURMATUA PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN SUMATERA UTARA". Gorga : Jurnal Seni Rupa. 8 (1): 61–67. doi:10.24114/gr.v8i1.12786. ISSN 2580-2380. 
  2. ^ Bisik. "Tortor Toping Huda-huda: Tarian Ritual Unik di Simalungun, Sumut". Bisik.id. Diakses tanggal 2024-10-18. 
  3. ^ Nasution, Askolani; Siregar, Tikwan Raya; Hutasuhut, Anharuddin; Hamdani, Nasrul; Sinulingga, Jekmen; Rehulina, Eka Dalanta; Sekali, Mehamat Karo; Herlina, Herlina; Padang, Melisa (2021). Sibrani, Robert, ed. Ensiklopedia kebudayaan Kawasan Danau Toba. Banda Aceh: Balai Pelestarian dan Nilai Budaya Aceh. ISBN 978-623-6107-05-8.