Thomas Choe Pil-gong

Thomas Choe Pil-gong adalah seorang martir Katolik Korea. Ia lahir pada tahun 1744 di keluarga yang mempraktikkan pengobatan Tiongkok di Seoul. Dia belajar Katekismus bersama dengan sepupunya, Petrus Choe Pil-je, dan mereka berdua menjadi Katolik. Pada saat itu dia berusia 47 tahun. Beberapa leluhurnya melayani kerajaan sebagai petugas medis, tetapi Thomas Choe tidak memegang jabatan apapun. Selain itu, dia sangat miskin, sehingga dia tetap membujang sampai ia mampu untuk menikah. Dia memiliki sikap yang terbuka dan murah hati.

Tak lama setelah dia menjadi Katolik, Thomas Choe menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh. Dia terang-terangan memberitakan ajaran Katolik, sehingga dia dicari-cari oleh polisi.

Ketika Penganiayaan Sinhae terjadi pada tahun 1791, Thomas Choe ditangkap bersama beberapa pemimpin Gereja. Kebanyakan dari mereka menyangkal agamanya dan kemudian dibebaskan. Thomas Choe memegang teguh agamanya dengan menjelaskan ajaran Katolik kepada interogator. Para petugas melaporkan ke istana dan Raja Jeong-jo memerintahkan agar mengunakan berbagai cara agar Choe Pil-gong meninggalkan agama Katolik.

Suatu hari paman dan adik laki-laki dari Thomas Choe mengunjungi dia di penjara, dengan tangisan, memohon dia untuk menyerah dari agamanya. Namun hal itu sia-sia. Kemudian sepupunya, Petrus Choe menulis pernyataan palsu menganai pengakuan Thomas Choe, kemudian diberikan kepada penganiaya. Raja Jeong-jo memerintahkan petugasnya untuk mempenjarakan Choe Pil-gong namun diberikan perlakuan istimewa. Melalui seluruh cerita itu, Thomas Choe kehilangan keberanian yang kemudian berakhir dengan menyerahnya dia dari godaan-godaan.

Dibebaskan dari penjara, Thomas Choe ditunjuk sebagai apoteker khusus di Pyeongan-do. Dia berperan untuk memeriksa tanaman obat yang digunakan di istana. Bahkan dia menikah dengan bantuan dari raja.

Walaupun demikian, di dalam hatinya, Thomas Choe memelihara imannya kepada Tuhan. Tiga tahun kemudian, dia mengundurkan diri dari jabatannya, kemudian dia kembali ke Seoul. Dia menjalankan agamanya dengan semangat. Ketika Pastor Yakobus Zhou Wen-mo datang ke Korea pada akhir tahun 1794, Thomas Choe mengunjungi dia dan menerima sakramen. Dia juga ambil bagian secara aktif dalam aktivitas Gereja.

Pada Agustus 1799, Thomas Choe ditangkap kembali dan diinterogasi. Kemudian dia sangat menyesali bahwa imannya goyah pada tahun 1791, dan dia mengaku bahwa, ‘Apa yang saya katakan waktu itu, bukanlah niat saya yang sebenarnya’. Raja Jeong-jo mencoba memenangkan hatinya kembali, namun semuanya sia-sia. Thomas Choe menolak untuk menyangkal Tuhan, dengan gagah berani dia menjelaskan keutamaan ajaran Katolik. Petugas memohon kepada raja untuk memenggal Thomas Choe, namun raja menolaknya dan kemudian memerintahkan agar dia dibebaskan.

Pada 17 Desember 1800 (menurut penanggalan Lunar), beberapa saat sebelum Penganiayaan Shinyu terjadi, Departemen Hukum menangkap kembali Thomas Choe. Dua hari kemudian, saudaranya Petrus Choe ditangkap dan dipenjarakan.

Thomas Choe menjalani hukuman yang lebih banyak daripada yang lainnya, karena keterlibatannya dalam aktivitas Gereja. Walaupun berbagai hukuman, imannya kepada Tuhan tetap teguh, dan dia tidak memberitahukan nama-nama umat Katolik. Dari sejak awal dia menyatakan, “Saya tidak ada niat untuk meninggalkan iman saya kepada Tuhan.”

Akhirnya Thomas Choe dijatuhi hukuman mati. Dia hampir kehilangan kesadarannya ketika dia dibawa dengan gerobak yang menuju ke tempat eksekusi, ini semua karena usianya yang sudah lanjut dan pelakuan yang kejam yang ia jalani. Namun setelah tiba di tempat eksekusi, wajahnya menjadi penuh cahaya yang memancarkan kebahagiaan. Pada sambaran pisau yang pertama, tenggorokannya putus dan darah mengalir keluar. Thomas Choe berteriak, “Oh darah yang berharga” kemudian dia meninggal. Pada saat itu tanggal 8 April 1801 (26 Februari pada penanggalan Lunar), dan dia berusia 57 tahun.[1]

Referensi

sunting