Teori konflik

Teori sosiologi

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[1].

Menurut pengikut teori ini, yang konstan (tetap terjadi) dalam kehidupan masyarakat adalah konflik sosial, bukannya perubahan. Perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik dalam masyarakat, yakni terjadinya pertentangan antara kelas kelompok penguasa dan kelas kelompok tertindas. Oleh karena konflik sosial berlangsung secara terus menerus, maka perubahanpun juga demikian adanya.[2].


Asumsi dasar

sunting

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[butuh rujukan] Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[butuh rujukan] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[3]

Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya.[butuh rujukan] Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[butuh rujukan] Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[4]

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf

Sejarah Awal

sunting

Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.

Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia).[5] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan.[5] Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut:

  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[5]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[5]

Inti Pemikiran

sunting

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.[6]. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.[6]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita).[6] Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.[6]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam.[6] Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.[6] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.[6] Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.[6]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.[6]

Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.[6] Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan.[7]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.[7] Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut,contohnya seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.}}

Coser [8]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok.[5] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan.[8] Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat.[8] Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja.[8] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial.[8] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.[8]

Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf

sunting

Sejarah Awal

sunting

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [6], seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak paham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958).[9] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx.[9] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial.[9] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.[9]

Inti Pemikiran

sunting

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx.[9] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.[9]

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas.[9] Diantaranya:

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga.[9]

Pada abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tetapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.[9]

  • Timbulnya kelas menengah baru

Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.[9]

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial.[10] Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.[10]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai.[10] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan.[7] Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.[7] Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial dimana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki.

Referensi

sunting
  1. ^ Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
  2. ^ Nur Djazifah (2012). Proses perubahan sosial di Masyarakat (PDF). Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarat. hlm. 8. 
  3. ^ Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  4. ^ Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  5. ^ a b c d e Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  6. ^ a b c d e f g h i j k Lewis Coser, 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  7. ^ a b c d Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-120
  8. ^ a b c d e f Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  9. ^ a b c d e f g h i j Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  10. ^ a b c Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89