Gunung Tambora

gunung di Indonesia
(Dialihkan dari Tambora)

Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah gunung berapi kerucut aktif yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Dompu yang mencakup lereng bagian barat dan selatan dan Kabupaten Bima yang mencakup lereng bagian timur dan utara. Gunung Tambora merupakan salah satu gunung tunggal (terpisah dari pegunungan) terluas di Indonesia, yang bertipikal seperti Gunung Slamet di Jawa Tengah. Gunung ini terbentuk akibat zona subduksi aktif di bawahnya. Pada masa lampau, ketinggian Gunung Tambora mencapai sekitar 4.300 m[2] yang membuat gunung ini menjadi salah satu puncak tertinggi di Indonesia di masa lalu.

Gunung Tambora
Kaldera Gunung Tambora
Titik tertinggi
Ketinggian2.850 m (9.350 ft)
Koordinat8°15′0″S 118°0′0″E / 8.25000°S 118.00000°E / -8.25000; 118.00000
Geografi
Tambora di Indonesia
Tambora
Tambora
Lokasi Gunung Tambora di Indonesia
LetakSemenanjung Sanggar, Sumbawa
DaerahKabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Geologi
Usia batuanPleistosen AkhirHolosen
Jenis gunungGunung berapi kerucut trakibasalt-trakiandesit
Busur vulkanikBusur Sunda / Sabuk alpida
Letusan terakhir1967[1]
Sumbawa di Indonesia Sumbawa
Gunung Tambora
Gunung Tambora
Kaldera Tambora dapat dilihat pada semenanjung Pulau Sumbawa bagian utara.

Aktivitas vulkanis gunung berapi ini memuncak dengan letusan pada April 1815 yang mencapai skala tujuh VEI.[3] Letusan tersebut menjadi letusan vulkanis terbesar sejak letusan Taupo pada tahun 181.[4] Suara letusan tercatat terdengar hingga pulau Sumatra lebih dari 2.000 km ke barat. Hujan abu vulkanis terjadi di Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Maluku. Letusan tersebut menelan korban jiwa sedikitnya 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya merupakan korban langsung dari letusan.[4] Beberapa peneliti memperkirakan jumlah korban jiwa mencapai 92.000 orang, tetapi angka ini diragukan karena dinilai terlalu besar.[5] Letusan tersebut juga menyebabkan perubahan iklim dunia saat itu. Tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai tahun tanpa musim panas dengan adanya perubahan cuaca drastis di Amerika Utara dan Eropa akibat debu yang dihasilkan dari letusan. Peristiwa tersebut menyebabkan kegagalan panen dan kematian ternak massal yang pada gilirannya menyebabkan wabah kelaparan terburuk pada abad ke-19.[4]

Pada sebuah ekskavasi tahun 2004 di wilayah Gunung Tambora, sekelompok arkeolog menemukan sisa kebudayaan yang terkubur 3 meter di bawah endapan piroklastik dari letusan tahun 1815. Temuan ini sering disebut sebagai Pompeii dari Timur akibat kemiripannya dengan Kota Pompeii di Italia yang terkubur material letusan vulkanis.[6]

Geografi

sunting
 
Pemandangan gunung Tambora dan sekelilingnya dari udara.
 
Kawah di puncak gunung Tambora.

Gunung Tambora terletak di Pulau Sumbawa, bagian dari kepulauan Nusa Tenggara. Gunung ini adalah bagian dari busur Sunda, tali dari kepulauan vulkanik yang membentuk rantai selatan kepulauan Indonesia.[7] Tambora membentuk semenanjung di pulau Sumbawa yang disebut Semenanjung Sanggar. Di sisi utara semenanjung tersebut terdapat Laut Flores dan di sebelah selatan terdapat Teluk Saleh dengan panjang 86 km dan lebar 36 km. Pada mulut Teluk Saleh terdapat pulau kecil yang disebut Pulau Moyo.

Selain seismolog dan vulkanolog yang mengamati aktivitas gunung tersebut, gunung Tambora adalah daerah riset ilmiah arkeolog dan ahli biologi. Gunung ini juga menarik wisatawan untuk mendaki gunung dan aktivitas margasatwa.[8][9] Dompu dan Bima adalah kota yang letaknya paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa desa. Di sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti dan desa Pesanggrahan. Di sebelah barat daya, terdapat desa Calabai.Kemudian barat ada desa labuan kananga.

Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung Tambora. Rute pertama dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui perkebunan kacang mede sampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera dengan ketinggian 1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian.[10] Lokasi ini biasanya digunakan untuk berkemah untuk mengamati aktivitas vulkanik karena hanya memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera. Rute kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi barat laut gunung Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki.[10]

Sejarah geologis

sunting

Pembentukan

sunting

Tambora terletak 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan 180-190 km di atas zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak oseanik.[11] Gunung ini memiliki laju konvergensi sebesar 7.8 cm per tahun.[12] Tambora diperkirakan telah berada di bumi sejak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon standar).[3] Ketika gunung ini meninggi akibat proses geologi di bawahnya, dapur magma yang besar ikut terbentuk dan sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau Moyo pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses geologi ini di mana teluk Saleh pada awalnya merupakan cekungan samudera (sekitar 25.000 BP).[3]

Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah terbentuk sebelum letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama dengan bentuk stratovolcano.[13] Diameter lubang tersebut mencapai 60 km.[7] Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir turun secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.

Sejak letusan tahun 1815, pada bagian paling bawah terdapat endapan lava dan material piroklastik. Kira-kira 40% dari lapisan diwakili oleh 1-4 m aliran lava tipis.[13] Scoria tipis diproduksi oleh fragmentasi aliran lava. Pada bagian atas, lava ditutup oleh scoria, tuff dan bebatuan piroklastik yang mengalir ke bawah.[13] Pada gunung Tambora, terdapat 20 kawah.[12] Beberapa kawah memiliki nama, misalnya Tahe (877 m), Molo (602 m), Kadiendinae, Kubah (1648 m) dan Doro Api Toi. Kawah tersebut juga memproduksi aliran lava basal.

Sejarah letusan

sunting

Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.[14] Perkiraan tanggal letusannya ialah tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150 tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik.

Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815.[14] Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.[14] Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815.[14] Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun 1815.[4] Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera.[14] Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.[15]

Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20.[16] Letusan terakhir terjadi pada tahun 1967,[14] yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi tanpa disertai dengan ledakan.

Letusan tahun 1815

sunting

Kronologi letusan

sunting
 
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau Kalimantan dan Sulawesi (ketebalan 1 cm).

Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun 1815, dikenal dengan nama gunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang tertutup.[7] Di dalam dapur magma dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar magma sekitar 4-5 kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.[7]

Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam.[17] Pada tanggal 5 April 1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara guruh yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatra pada tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan.[18] Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815.

Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat.[17] Tiga lajur api terpancar dan bergabung.[18] Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api.[18] Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal 11 dan 17 April 1815.[17]

Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.

Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Index.[19] Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastik trakiandesit dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×1014 kg.[4] Hal ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6–7 km dan kedalaman 600–700 m.[17] Massa jenis abu yang jatuh di Makassar sebesar 636 kg/m².[20] Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m,[17] salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.[21]

Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam sejarah.[4][17] Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km.[17] Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km dari puncak.

Akibat

sunting

Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km.[17] Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815.[4] Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asap masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.

Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah roboh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.
...
Semenjak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.

— Letnan Philips yang diperintahkan Sir Stamford Raffles untuk pergi ke Sumbawa.[18]

Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam.[17] Tsunami setinggi 1–2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.

Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km.[4] Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10–30 km.[17] Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815.[17] Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.

Perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok.[22] Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok.[23] Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa.[17] Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak.[5] Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles.[18] Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah letusan.[5] Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa seperti yang terlihat di tabel dibawah.[4]

Perbandingan letusan gunung Tambora dan letusan gunung lainnya
Letusan Tahun Tinggi asap (km)  VEI  Perubahan musim panas Belahan bumi utara (°C) Kematian
Taupo 181 51 7 ? tidak diketahui
Baekdu 969 25 6–7 ? ?
Kuwae 1452 ? 6 −0,5 ?
Huaynaputina 1600 46 6 −0,8 ≈1400
Tambora 1815 43 7 −0,5 > 71.000
Krakatau 1883 25 6 −0,3 36.600
Santamaría 1902 34 6 tidak terdapat perubahan 7.000-13.000
Katmai 1912 32 6 −0,4 2
Gunung St. Helens 1980 19 5 tidak terdapat perubahan 57
El Chichón 1982 32 4–5 ? > 2.000
Nevado del Ruiz 1985 27 3 tidak terdapat perubahan 23.000
Pinatubo 1991 34 6 −0,5 1202
Sumber: Oppenheimer (2003),[4] dan Smithsonian Global Volcanism Program untuk VEI.[24]

Pengaruh global

sunting
 
Jumlah konsentrasi sulfat di inti es dari Tanah Hijau tengah, tarikh tahun dihitung dengan variasi isotop oksigen musiman. Terdapat letusan yang tidak diketahui pada tahun 1810-an. Sumber: Dai (1991).[25]

Letusan gunung Tambora tahun 1815 mengeluarkan sulfur ke stratosfer, menyebabkan penyimpangan iklim global. Metode berbeda telah memperkirakan banyaknya sulfur yang dikeluarkan selama letusan: metode petrologi, sebuah pengukuran berdasarkan pengamatan anatomi, dan metode konsentrasi sulfat inti es, menggunakan es dari Tanah Hijau dan Antartika. Perkiraan beragam tergantung dari metode, antara 10 Tg S hingga 120 Tg S.[4]

Pada musim semi dan musim panas tahun 1816, sebuah kabut kering terlihat di timur laut Amerika Serikat. Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi cahaya matahari, seperti bintik pada matahari yang terlihat dengan mata telanjang. Baik angin atau hujan tidak dapat menghilangkan "kabut" tersebut. "Kabut" tersebut diidentifikasikan sebagai kabut aerosol sulfat stratosfer.[4] Pada musim panas tahun 1816, negara di Belahan Utara menderita karena kondisi cuaca yang berubah, disebut sebagai Tahun tanpa musim panas. Temperatur normal dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 °C,[17] cukup untuk menyebabkan permasalahan pertanian di dunia. Pada tanggal 4 Juni 1816, cuaca penuh es dilaporkan di Connecticut, dan dan pada hari berikutnya, hampir seluruh New England digenggam oleh dingin. Pada tanggal 6 Juni 1816, salju turun di Albany, New York, dan Dennysville, Maine.[4] Kondisi serupa muncul untuk setidaknya tiga bulan dan menyebabkan gagal panen di Amerika Utara. Kanada mengalami musim panas yang sangat dingin. Salju setebal 30 cm terhimpun didekat Kota Quebec dari tanggal 6 sampai 10 Juni 1816.

1816 adalah tahun terdingin kedua di Belahan Bumi Utara sejak tahun 1400 Masehi, setelah letusan gunung Huaynaputina di Peru tahun 1600.[19] Tahun 1810-an adalah dekade terdingin dalam rekor sebagai hasil dari letusan Tambora tahun 1815 dan lainnya menduga letusan terjadi antara tahun 1809 dan tahun 1810. Perubahan temperatur permukaan selama musim panas tahun 1816, 1817 dan tahun 1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 °C,[19] dan juga musim panas yang lebih dingin, bagian dari Eropa mengalami badai salju yang lebih deras.

Perubahan iklim disalahkan sebagai penyebab wabah tifus di Eropa Tenggara dan Laut Tengah bagian timur di antara tahun 1816 dan tahun 1819.[4] Banyak ternak meninggal di New England selama musim dingin tahun 1816-1817. Suhu udara yang dingin dan hujan besar menyebabkan gagal panen di Kepulauan Britania. Keluarga-keluarga di Wales mengungsi dan mengemis untuk makanan. Kelaparan merata di Irlandia utara dan barat daya karena gandum, haver dan kentang mengalami gagal panen. Krisis terjadi di Jerman, harga makanan naik dengan tajam. Akibat kenaikan harga yang tidak diketahui menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan pasar dan toko roti yang diikuti dengan kerusuhan, pembakaran rumah dan perampokan yang terjadi di banyak kota-kota di Eropa. Ini adalah kelaparan terburuk yang terjadi pada abad ke-19.[4]

Bukti arkeologi

sunting

Pada musim panas tahun 2004, tim dari Universitas Rhode Island, Universitas North Carolina di Wilmington, dan direktorat vulkanologi Indonesia, dipimpin oleh Haraldur Sigurdsson, memulai sebuah penggalian arkeologi di gunung Tambora.[6] Setelah enam minggu, tim tersebut menggali bukti adanya kebudayaan yang hilang yang musnah karena letusan gunung Tambora. Situs tersebut terletak 25 km sebelah barat kaldera, di dalam hutan, 5 km dari pantai. Tim tersebut harus melewati endapan batu apung vulkanik dan abu dengan tebal 3 m.

Tim tersebut menggunakan radar penembus tanah untuk mencari lokasi rumah kecil yang terkubur. Mereka menggali kembali rumah dan mereka menemukan sisa dua orang dewasa, dan juga mangkuk perunggu, peralatan besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi artifak memiliki kesamaan dengan artifak dari Vietnam dan Kamboja.[6] Uji coba dilakukan menggunakan teknik karbonisasi memperjelas bahwa mereka terbentuk dari pensil arang yang dibentuk oleh panas magma. Semua orang, rumah dan kebudayaan dibiarkan seperti saat mereka berada tahun 1815. Sigurdsson menyebut kebudayaan ini sebagai Pompeii dari timur.[26][27] Berdasarkan artifak yang ditemukan, yang mayoritas benda perunggu, tim menyatakan bahwa orang-orang tersebut tidak miskin. Bukti sejarah menunjukan bahwa orang di pulau Sumbawa terkenal di Hindia Timur untuk madu, kuda, kayu sepang (caesalpinia sappan), memproduksi dye merah, dan cendana yang digunakan untuk dupa dan pengobatan.[6] Daerah ini diketahui produktif dalam bidang pertanian.

Penemua arkeologi memperjelas bahwa terdapat kebudayaan yang hancur karena letusan tahun 1815. Sebutan Kerajaan Tambora yang hilang disebut oleh media.[28][29] Dengan penemuan ini, Sigurdsson bermaksud untuk kembali ke Tambora tahun 2007 untuk mencari sisa desa, dan berharap dapat menemukan istana.[6]

Ekosistem

sunting

Tim penelitian yang dipimpin oleh ahli botani Swiss, Heinrich Zollinger, tiba di pulau Sumbawa tahun 1847.[30] Misi Zollinger adalah untuk mempelajari letusan dan pengaruhnya terhadap ekosistem lokal. Ia adalah orang pertama yang memanjat ke puncak gunung Tambora setelah letusan gunung tersebut. Gunung tersebut masih tertutup oleh asap. Ketika Zollinger memanjat, kakinya tenggelam beberapa kali melalui kerak permukaan tipis menuju lapisan hangat yang seperti sulfur. Beberapa tumbuh-tumbuhan kembali tumbuh dan beberapa pohon diamati di lereng yang lebih rendah. Hutan Casuarina dicatat pada 2.200-2.550 m.[31] Beberapa Imperata cylindrica juga dapat ditemukan.

Penduduk mulai tinggal di gunung Tambora pada tahun 1907. Penanaman kopi dimulai pada tahun 1930-an di lereng bagian barat laut gunung Tambora, di desa Pekat.[32] Hutan hujan yang disebut Duabangga moluccana telah tumbuh dengan ketinggian 1.000-2.800 m.[32] Penanaman tersebut mencakupi daerah seluas 80.000 hektare (800 km²). Hutan hujan ditemukan oleh tim Belanda, dipimpin oleh Koster dan De Voogd tahun 1933.[32] Mereka memulai perjalanan di "daerah hampir tandus, kering dan panas" dan mereka memasuki "hutan hebat" dengan "raksasa hutan yang besar dan megah". Pada ketinggian 1.100 m, mereka memasuki hutan montane. Pada ketinggian 1.800 m, mereka menemukan Dodonaea viscosa yang didominasi oleh pohon Casuarina. Di puncak, mereka menemukan sedikit Anaphalis viscida dan Wahlenbergia.

56 spesies burung ditemukan tahun 1896, termasuk Crested White-eye.[33] 12 spesies lainnya ditemukan pada tahun 1981. Beberapa penelitian ahli ilmu hewan menemukan spesies burung lainnya di gunung, menghasilkan ditemukannya lebih dari 90 spesies burung. Kakatua-kecil Jambul-kuning, Murai Asia, Tiong Emas, Ayam hutan Hijau dan Perkici Pelangi diburu untuk dijual dan dipelihara oleh penduduk setempat. Gosong berkaki-jingga diburu untuk dimakan. Eksploitasi burung menyebabkan berkurangnya populasi burung. Yellow-crested Cockatoo hampir punah di pulau Sumbawa.[33]

Sejak tahun 1972, perusahaan penebangan komersial telah beroperasi di daerah ini, yang menyebabkan ancaman terhadap hutan hujan. Perusahaan penebangan memegang izin untuk menebang kayu di daerah seluas 20.000 hektare (200 km²), atau 25% dari jumlah luas daerah.[32] Bagian hutan hujan lainnya digunakan untuk berburu. Di antara tanah berburu dan tanah penebangan, terdapat cagar alam, temat rusa, kerbau, babi hutan, kelelawar, rubah terbang, dan berbagai spesies reptil dan burung dapat ditemukan.[32]

Pengamatan

sunting

Populasi Indonesia meningkat dengan cepat sejak letusan tahun 1815. Pada tahun 2006, populasi Indonesia telah mencapai 222 juta jiwa,[34] dan 130 juta penduduk berada di pulau Jawa dan Bali.[35] Sebuah letusan gunung berapi sebesar letusan Tambora tahun 1815 akan menyebabkan kematian yang lebih besar, sehingga aktivitas vulkanik di Indonesia terus diamati, termasuk gunung Tambora.

Aktivitas seismologi di Indonesia diamati oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Pos pengamatan untuk gunung Tambora terletak di desa Doro Peti.[36] Mereka memfokuskan aktivitas seismik dan tektonik dengan menggunakan seismometer. Sejak letusan tahun 1880, tidak terdapat peningkatan aktivitas seismik.[37] Pengamatan terus dilakukan di dalam kaldera, terutama di kawah Doro Api Toi.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menegaskan peta mitigasi bahaya gunung Tambora. Dua zona yang dinyatakan adalah zona bahaya dan zona waspada.[36] Zona bahaya adalah daerah yang secara langsung terpengaruh oleh letusan: aliran piroklastik, aliran lava dan jatuhnya piroklastik lainnya. Daerah ini, termasuk kaldera dan sekelilingnya, meliputi daerah seluas 58,7 km². Orang dilarang tinggal di zona berbahaya. Zona waspada termasuk daerah yang mungkin dapat secara langsung terpengaruh oleh letusan: aliran lahar dan batuan apung lainnya. Luas dari daerah waspada sebesar 185 km², termasuk desa Pasanggrahan, Doro Peti, Rao, Labuan Kenanga, Gubu Ponda, Kawindana Toi dan Hoddo. Sungai yang disebut sungai Guwu yang terletak di bagian selatan dan barat laut gunung Tambora juga dimasukan kedalam zona waspada.[36]

Galeri

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ "Tambora". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-20. Diakses tanggal 2006-10-17. 
  2. ^ Stothers, R. B. (1984). "The Great Tambora Eruption in 1815 and Its Aftermath". Science. 224 (4654): 1191–1198. doi:10.1126/science.224.4654.1191. 
  3. ^ a b c Degens, E. T.; Buch, B. (1989). "Sedimentological events in Saleh Bay, off Mount Tambora". Netherlands Journal of Sea Research. 24 (4): 399–404. doi:10.1016/0077-7579(89)90117-8. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Oppenheimer, C. (2003). "Climatic, environmental and human consequences of the largest known historic eruption: Tambora volcano (Indonesia) 1815". Progress in Physical Geography. 27 (2): 230–259. doi:10.1191/0309133303pp379ra. 
  5. ^ a b c Tanguy, J.-C.; Scarth, A.; Ribière, C.; Tjetjep, W. S. (1998). "Victims from volcanic eruptions: a revised database". Bulletin of Volcanology. 60 (2): 137–144. doi:10.1007/s004450050222. 
  6. ^ a b c d e "URI volcanologist discovers lost kingdom of Tambora" (Siaran pers). University of Rhode Island. 2006-02-27. Diakses tanggal 2006-10-06. 
  7. ^ a b c d Foden, J. (1986). "The petrology of Tambora volcano, Indonesia: A model for the 1815 eruption". Journal of Volcanology and Geothermal Research. 27 (1–2): 1–41. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2007-10-06. 
  8. ^ "Hobi Mendaki Gunung - Menyambangi Kawah Raksasa Gunung Tambora" (dalam bahasa Indonesia). Sinar Harapan. 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-07. Diakses tanggal 14 November. 
  9. ^ "Potential Tourism as Factor of Economic Development in the Districts of Bima and Dompu" (PDF) (Siaran pers). Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Timur. Diakses tanggal 14 November.  [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ a b Aswanir Nasution. "Tambora, Nusa Tenggara Barat" (dalam bahasa dalam bahasa Indonesia). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-29. Diakses tanggal 13 November. 
  11. ^ Foden, J (1980). "The petrology and tectonic setting of Quaternary—Recent volcanic centres of Lombok and Sumbawa, Sunda arc". Chemical Geology. 30 (3): 201–206. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2007-10-06. 
  12. ^ a b Sigurdsson, H. (1983). "Plinian and co-ignimbrite tephra fall from the 1815 eruption of Tambora volcano". Bulletin of Volcanology. 51 (4): 243–270. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2007-10-06. 
  13. ^ a b c "Geology of Tambora Volcano". Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-24. Diakses tanggal 10 Oktober. 
  14. ^ a b c d e f "Tambora Eruptive History". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-09. Diakses tanggal 13 November. 
  15. ^ "Tambora Historic Eruptions and Recent Activities". Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 13 November. 
  16. ^ "Tambora". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-20. Diakses tanggal 7 Oktober. 
  17. ^ a b c d e f g h i j k l m Stothers, Richard B. (1984). "The Great Tambora Eruption in 1815 and Its Aftermath". Science. 224 (4654): 1191–1198. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2007-10-06. 
  18. ^ a b c d e f Raffles, S. 1830: Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S. &c., particularly in the government of Java 1811–1816, and of Bencoolen and its dependencies 1817–1824: with details of the commerce and resources of the eastern archipelago, and selections from his correspondence. London: John Murray, cited by Oppenheimer (2003).
  19. ^ a b c Briffa, K.R. "Influence of volcanic eruptions on Northern Hemisphere summer temperature over 600 years". Nature. 393: 450–455. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2007-10-07. 
  20. ^ Stothers, Richard B. (2004). "Density of fallen ash after the eruption of Tambora in 1815". Journal of Volcanology and Geothermal Research. 134: 343–345. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2007-10-07. 
  21. ^ Monk, K.A. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. hal. 60. ISBN 962-593-076-0. 
  22. ^ Zollinger (1855): Besteigung des Vulkans Tamboro auf der Insel Sumbawa und Schiderung der Eruption desselben im Jahren 1815, Wintherthur: Zurcher and Fürber, Wurster and Co., cited by Oppenheimer (2003).
  23. ^ Petroeschevsky (1949): A contribution to the knowledge of the Gunung Tambora (Sumbawa). Tijdschrift van het K. Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Amsterdam Series 2 66, 688–703, cited by Oppenheimer (2003).
  24. ^ "Large Holocene Eruptions". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-17. Diakses tanggal 7 November. 
  25. ^ Dai, J. (1991). "Ice core evidence for an explosive tropical volcanic eruption six years preceding Tambora". Journal of Geophysical Research (Atmospheres). 96: 17,361–17,366. 
  26. ^ "'Pompeii of the East' discovered". BBC News. 28 Februari 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-12-19. Diakses tanggal 9 Oktober. 
  27. ^ "Indonesian Volcano Site Reveals 'Pompeii of the East' (Update1)". Bloomberg Asia. 28 Februari 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-30. Diakses tanggal 9 Oktober. 
  28. ^ "'Lost Kingdom' Discovered on Volcanic Island in Indonesia". National Geographic. 27 Februari 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-11-14. Diakses tanggal 9 Oktober. 
  29. ^ "'Lost kingdom' springs from the ashes". International Herald Tribune. 1 Maret 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-03-12. Diakses tanggal 9 Oktober. 
  30. ^ "Heinrich Zollinger". Zollinger Family History Research. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-06. Diakses tanggal 14 November. 
  31. ^ Zollinger (1855) cited by Trainor (2002).
  32. ^ a b c d e de Jong Boers, B. (1995). "Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and its Aftermath". Indonesia. 60: 37–59. 
  33. ^ a b Trainor, C.R. (2002). "Birds of Gunung Tambora, Sumbawa, Indonesia: effects of altitude, the 1815 catalysmic volcanic eruption and trade" (PDF). Forktail. 18: 49–61. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-02-26. Diakses tanggal 2007-10-07. 
  34. ^ "Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005–2006" (PDF) (Siaran pers). Badan Pusat Statistik. 1 September 2006. Diakses tanggal 26 September.  "Salinan arsip" (PDF). Archived from the original on 2006-09-27. Diakses tanggal 2007-10-07. 
  35. ^ Calder, Joshua (3 Mei 2006). "Most Populous Islands". World Island Information. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-14. Diakses tanggal 26 September. 
  36. ^ a b c "Tambora Hazard Mitigation". Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-29. Diakses tanggal 13 November. 
  37. ^ "Tambora Geophysics" (dalam bahasa dalam bahasa Indonesia). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-29. Diakses tanggal 13 November. 

Daftar pustaka

sunting
  • C.R. Harrington (ed.). The Year without a summer?: world climate in 1816, Ottawa: Canadian Museum of Nature, 1992. ISBN 0-660-13063-7
  • Henry and Elizabeth Stommel. Volcano Weather: The Story of 1816, the Year without a Summer, Newport RI. 1983. ISBN 0-915160-71-4

Pranala luar

sunting