Tais Pet adalah kerajinan tradisional dari Maluku, Indonesia. Kerajinan rakyat ini berupa kain tenun yang hidup dan berkembang di masyarakat Tanimbar dan sekitarnya di Provinsi Maluku. Tais pet merupakan satu dari 33 kain tradisional dari berbagai daerah di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. [1]

Asal Usul

sunting

Keberadaan kain tenun di Kepulauan Tanimbar mempunyai kisah dalam berbagai versi dari tradisi lisan yang berkembang di sana. Kisah mengenai keberadaan kain tenun ini secara tersirat terungkap di dalam cerita-cerita rakyat di Kepulauan Tanimbar, terutama tentang kedatangan dan penyebaran manusia di wilayah itu. Tidak mudah untuk menentukan kisah yang terdapat pada kelompok-kelompok atau komunitas orang-orang Tanimbar karena penyebarannya yang periodetik.

Namun, ada benang merah untuk mengungkapkan penyebaran kelompok marga dan kain tenunnya. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan kain tenun pusaka yang tersebar pada komunitas Tanimbar.

Keberadaan kelompok-kelompok penenun kain tradisional ini di wilayah Tanimbar dapat memberikan pengetahuan mengenai kain tais pet. Misalnya, pada masyarakat di Desa Olilit terdapat kelompok perajin tenun, antara lain, kelompok Badar Melar, Jiku Sembilan, Taisfian, dan Tenun Ampera. Mereka ini merupakan gabungan keluarga atau marga. Ada pula kelompok dengan marga tertentu yang cenderung menenun berdasarkan motif kain pusaka mereka.

Di Desa Olilit, terdapat beberapa marga yang memiliki kain pusaka atau kain tenun asli yang disebut Tais Matan. Beberapa contoh kepemilikan kain tenun asli, yaitu:

  • Tais Alolinisila milik marga Watunglawar,
  • Tais Wangin dan Tais Arewe Alobyenan milik marga Boina.
  • Tais Metan Arewe Alobyenan masih memiliki sumber sejarah yang cukup jelas. Kain pusaka Arewe Alobyanan masih ada dan diwariskan kepada Maria Boina.

Maria Boina adalah anak dari Antonius Melisa Boina. Antonius Melisa Boina adalah anak dari Boin Lilyakaman, yang merupakan cikal bakal dari nama marga Boina. Boin Lilyakaman mempunyai ayah yang bernama Anduan Anaryaman dan ibu bernama Arewe Alobyenan, yang merupakan cikal bakal terciptanya nama kain tenun asli atau Tais metan Arewe Alobyenan.

Arewe Alobyenan merupakan seorang putri yang berasal dari Desa Awear, Pulau Larat (termasuk Wilayah Tanimbar bagian utara). Putri Arewe Alobyenan menikah dan masuk dalam marga Boina. Dia lalu menetap sekaligus bergabung dengan komunitas di Desa Olilit sebagai tempat kelahiran suaminya. Di tempat inilah, inspirasi kain tenun Arewe Alobyenan yang terukir lewat-karya-karya dari cucunya, yaitu Maria Boina, mulai berkembang. Pulau Larat yang terkenal dengan kembang larat yang disebut lelemuku atau bunga anggrek. Bunga ini dinobatkan oleh masyarakat Tanimbar sebagai simbol kecantikan perempuan Tanimbar. Bunga ini kemudian menjadi sumber inspirasi terciptanya motif pada tenun ikat Arewe Alobyenan dan pada motif-motif tenun Tanimbar secara umum. Selain itu, ada juga motif-motif dasar tentang lingkungan dan alam semesta yang menjadi inspirasi penciptaan motif kain ini.

Kelompok-kelompok komunitas adat Kepulauan Tanimbar banyak yang mengakui bahwa pengetahuan tenun mereka sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Para leluhur di Kepulauan Tanimbar melakukan aktivitas menenun yang disesuaikan dengan lingkungan, sehingga muncul ide-ide baru yang diakui sebagai sistem tenun Tanimbar. Maka itu, masyarakat Tanimbar saat ini memiliki keragaman motif dan jenis kain tenun. Penamaan kain tenun secara umum disebut Tais Pet atau Kain Tenun.[2]

Persebaran

sunting

Secara umum, persebaran tais pet masyarakat di Tanimbar merupakan bagian dari suatu proses jalur perdagangan, yakni Jalur Sutera. Penamaan Jalur Sutera ini sesuai dengan jalur ekspedisi perdagangan kain sutera yang dilakukan oleh bangsa Cina.

Pada tahun 618-906, Dinasti Tang menjalin hubungan dagang antara negeri Cina dengan kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara. Dari hubungan perdagangan antara Cina dan Kerajaan Majapahit, pengetahuan mengenai kain sutera mulai menyebar di nusantara, termasuk kain tenun atau tais pet yang mulai dipelajari oleh penduduk Kepulauan Tanimbar.

Persebaran tais pet atau kain tenun di Kepulauan Tanimbar diduga melalui dua jalur persebaran dengan periode waktu yang berbeda. Persebaran pertama diduga berada pada saat periode barter di wilayah nusantara, dengan jalur dari arah barat ke timur Nusantara, yakni melalui Malaka, Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Timor, dan berakhir di Kepulauan Maluku (Babar, Tanimbar, Kei, dan Seram). Sedangkan jalur persebaran kedua disinyalir dari arah barat, tapi kemudian ke utara, yaitu melalui Sumatra, Jawa, Sulawesi (Makassar, Toraja, Palu, Manado), Maluku Utara (Ternate-Tidore, Halmahera) ke Seram sampai arah selatan Maluku (Kepulauan Kei, Tanimbar, dan Babar). Persebaran penduduk ke wilayah timur nusantara ini bersamaan dengan keahlian tenun yang dimiliki masing-masing kelompok migrasi, sehingga menghasilkan nuansa atau corak yang berbeda dalam kerajinan kainnya.

Fungsi Sosial

sunting

Tais Pet memiliki fungsi sosial yang sangat kuat di kalangan masyarakat Tanimbar. Tais pet menjadi simbol identitas diri. Pengenalan identitas diri itu terlebur menjadi sebuah ikatan emosional komunitas Tanimbar yang memberikan nuansa, antara lain, persaudaraan, tenggang rasa, saling memiliki, dan saling menghormati. Fungsi ini juga berlanjut secara lebih luas sehingga merajut ikatan-ikatan sosial terhadap pengenalan masyarakat Maluku sebagai bangsa Indonesia.

Selain itu, tais pet memberikan nuansa warna sebagai simbol status sosial. Warna kain tenun ini memberikan petunjuk terhadap status seseorang dalam struktur masyarakat. Misalnya, warna hitam dan coklat merupakan warna kebesaran atau kewibawaan diri seorang pemimpin. Warna merah, kuning, dan putih merupakan cerminan dari keberanian, kejujuran, keikhlasan, ketulusan, dan kesucian hati masyarakat.[3]

Referensi

sunting