Sumberdadi, Sumbergempol, Tulungagung

desa di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur

Sumberdadi adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di desa inilah, Stasiun Sumbergempol berada. Di desa ini terdapat industri kecil/menengah yang bergerak dalam pembuatan genteng.

Sumberdadi
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenTulungagung
KecamatanSumbergempol
Kode pos
66291
Kode Kemendagri35.04.10.2014 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 8°4′41.40678″S 111°56′43.95599″E / 8.0781685500°S 111.9455433306°E / -8.0781685500; 111.9455433306


Cerita Tutur Desa

Sumberdadi, begitulah desa yang terletak di tengah-tengah Kecamatan Sumbergempol dikenal oleh orang-orang. Meski pada pandangan pertama, desa ini terlihat biasa saja seperti desa-desa lainnya. Namun, sedikit yang diketahui orang bahwa desa ini memiliki sejarah yang menarik untuk diungkapkan dan dibagikan ke masyarakat. Desa ini terbagi menjadi dua dusun, yaitu Gempol dan Selojeneng.

Dusun Gempol sendiri terpisah oleh jalur kereta api yang membentang dari timur ke barat atau sebaliknya. Selain itu, terdapat stasiun di Dusun Gempol yang dikenal dengan nama Stasiun Sumbergempol.

Hal yang unik, nama Kecamatan ini diambil dari salah satu dusun di Desa Sumberdadi, yaitu Dusun Gempol. Mengapa dusun ini dipilih sebagai nama kecamatan, bukan Selojeneng atau bahkan Sumberdadi seperti kecamatan lain di Tulungagung?

Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan penelusuran yang cukup panjang dan tidak mudah. Hal ini berhubungan dengan cerita turun-temurun tanpa adanya bukti tertulis yang dapat dijadikan referensi sebagai dasar.

Secara terminologi, Gempol merupakan nama salah satu jenis pohon. Konon, menurut Mbah Maksum (88) salah satu sesepuh desa, di wilayah yang sekarang disebut Dusun Gempol terdapat sebuah pohon Gempol (Nauclea orientalis) yang besar, di bawahnya terdapat sumber mata air. Sumber mata air ini tidak pernah kering meskipun saat musim kemarau.

Menurut Mbah Maksum, sumber ini hanya dapat berhenti mengalir ketika ditutup dengan sebuah lidi atau yang disebut oleh orang Jawa zaman dulu sebagai sodo lanang. Namun, sayangnya, bahkan pada usia sebesar Mbah Maksum, ia tidak tahu banyak tentang sumber mata air dan pohon Gempol yang besar.

Sesuai dengan cerita dari Mbah Maksum, Mbah Sajid (78) yang merupakan salah satu sesepuh di Dusun Selojeneng juga memiliki cerita yang serupa. Menurutnya, nama Sumberdadi berasal dari sumber di bawah pohon Gempol tersebut. Hampir semua sesepuh desa pada masa lalu sepakat bahwa pangkal dari penamaan desa berasal dari sana.

Mbah Basyar (88) yang merupakan salah satu sesepuh di Dusun Gempol juga memiliki cerita yang sama. Dia mengatakan bahwa nama Dusun Gempol diambil dari nama pohon Gempol yang berada di dekat rumahnya. Saat kami menemui dia di rumahnya, dia mulai menceritakan sedikit-demi sedikit cerita turun-temurun yang masih diingatnya.

Cerita yang diceritakan oleh Mbah Basyar tentang daerah Gempol yang dulunya berupa rawa-rawa yang tidak pernah surut airnya, menjadi menarik perhatian. Ternyata, daerah tersebut memiliki sumber mata air yang berada tepat di bawah pohon Gempol. Hal ini membuat daerah tersebut selalu basah dan tidak pernah kering.

Mbah Basyar juga mengungkapkan bahwa daerah tersebut dulunya ingin dijadikan sebagai pemukiman, namun karena sumber mata air yang besar dan berawa, rencana tersebut dibatalkan. Buyut Mbah Basyar, Mbah Iro Dermo, kemudian mencoba untuk menutup sumber mata air tersebut dengan berbagai cara, mulai dari menutupnya dengan tanah, batu, hingga kapas pohon aren dan selo.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya usaha Mbah Iro Dermo berhasil dan daerah yang tadinya berupa rawa-rawa akhirnya dapat dijadikan sebagai pemukiman dan lahan pertanian. Hal ini juga dibenarkan oleh salah satu warga, Bambang, yang dulunya sering bermain di sekitar tempat sumber mata air tersebut.

Sekarang, meskipun pohon Gempol dan sumber mata airnya sudah tidak ada, musala yang dijadikan sebagai tempat ibadah masih bertahan sampai sekarang. Cerita ini memberikan gambaran tentang sejarah dan asal-usul sebuah daerah yang mungkin sering terlewatkan dan dilupakan.

Dusun Selojeneng memiliki dua arti menurut Mbah Maksum dan Mbah Sajid. Yang pertama, "selo" artinya batu dan "jeneng" artinya nama. Yang kedua, "selo" mungkin berasal dari nama Solo. Menurut Mbah Maksum, nenek moyangnya datang dari daerah Solo atau dari orang-orang yang melarikan diri setelah perang Dipanagara.

Mbah Basyar menjelaskan bahwa banyak orang datang ke daerah Gempol dan meminta tanah untuk tinggal. Beberapa di antaranya datang hanya untuk singgah, namun ada yang sengaja didatangkan dari wilayah lain dan memiliki latar belakang sebagai santri. Mbah Basyar memberikan beberapa ruas tanah kepada mereka, antara 50 hingga 500 ru. Mereka juga diminta untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam.

Beberapa keturunan Mbah Iro Dermo kemudian mendirikan pondok pesantren. Mbah Iro Dermo berasal dari Banten dan hijrah ke wilayah Gempol untuk berdakwah dan "babad alas". Menurut sejarah, Banten dulu merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam dan didatangi oleh banyak ulama dari Nusantara. Tarekat-tarekat seperti Qadariyah, Naqsyabandiyah, dan Khalwatiyah berkembang di sana. Banten juga terkenal dengan permainan debus sebagai kesenian Islami.

Mitos Pohon Gempol

Dahulu kala, di wilayah tersebut terdapat sebuah sumber air yang sangat penting untuk warga sekitar. Ketika sumber tersebut kering, mereka menanam pohon Gempol di atasnya. Pohon ini menjadi sangat besar dan berumur panjang, tetapi memiliki rongga di dalamnya karena tekanan dari sumber air di bawahnya.

Sayangnya, karena rongga tersebut dianggap berbahaya, beberapa orang ingin menebang pohon tersebut, termasuk Mbah Basyar. Namun sebelum melakukan penebangan, ia melakukan ritual doa dan salat istikharah selama beberapa hari untuk meminta petunjuk dari Tuhan. Konon, ia juga bertemu dengan makhluk gaib yang menjaga pohon Gempol.

Dalam cerita mitos yang populer, Mbah Basyar berhasil membujuk makhluk halus yang tinggal di pohon besar untuk mengizinkan pohon tersebut ditebang. Mbah Basyar mengatakan bahwa makhluk tersebut adalah Jin Muslim sekeluarga. Setelah makhluk halus itu meninggalkan pohon bersama keluarganya, keesokan harinya pohon itu jatuh dengan sendirinya. Konon, menurut Mbah Basyar, Jin itu pindah ke lokasi lain yang sekarang dikenal sebagai Gedung MWCNU Sumbergempol.

Ada beberapa perbedaan dalam cerita yang diceritakan oleh Mbah Maksum dan Mbah Basyar. Namun, mereka sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu bahwa daerah tersebut dulunya memiliki sumber mata air yang besar yang terletak di bawah pohon Gempol. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam cerita mereka tentang media yang digunakan untuk menyumpal sumber mata air dan keberadaan pohon Gempol yang besar, intinya masih sama.

Tidak ada yang tahu pasti siapa dan kapan nama "Gempol" muncul, tetapi cerita yang diceritakan oleh para sesepuh desa mencerminkan konsep kosmologi Jawa. Konsep ini mempercayai bahwa sumber mata air dan pohon-pohon besar adalah representasi dari kekuatan adikodrati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tempat-tempat seperti itu sering dijadikan sebagai danyang desa atau bahkan sebagai nama desa atau dusun. Hal ini juga biasa terjadi di desa-desa lain.

Punden Desa

Banyak desa di Jawa Timur yang masih mengenal punden sebagai tempat yang dianggap suci atau dihormati oleh penduduk setempat karena diyakini sebagai tempat bersemayamnya danyang desa. Danyang sendiri memiliki beberapa definisi, di antaranya sebagai tokoh pem-babad yang membangun wilayah tersebut atau sebagai representasi dari ruh para raja, pangeran, atau orang penting lainnya. Dalam pandangan lain, danyang dianggap sebagai representasi dari demit yang bersemayam pada pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air tersembunyi, atau hal serupa lainnya.

Di Desa Sumberdadi, salah satu punden danyangnya adalah Srigading yang kini masuk wilayah Desa Plosokandang. Dahulu, wilayah Plosokandang termasuk dalam wilayah Sumberdadi dan danyangnya berupa pohon Ploso yang besar. Di sekitar punden tersebut dulunya terdapat kendang yang konon di dalamnya terdapat semua jenis hewan hidup. Oleh karena itu, desa tersebut diberi nama Plosokandang. Perbatasan wilayah antara Sumberdadi dan Plosokandang sejatinya tidak dapat dipisahkan dari aspek sejarahnya.

Di Dusun Selojeneng Barat, ada sebuah punden yang bernama Ki Ageng Nilo Suwarni atau biasa disebut Mbah Ageng. Punden ini terletak di ujung utara Desa Sumberdadi dan berbatasan dengan desa Plosokandang. Punden Mbah Ageng berbentuk bangunan semi limas tanpa tembok dengan alas bergaya mihrab di ujung barat. Bangunan ini sekarang sudah direnovasi oleh kepala desa.

Dulu, punden tersebut dikelilingi oleh tembok seperti di kerajaan Mataram, tapi sekarang tidak ada bekasnya lagi. Saat ini, punden tersebut dirawat oleh warga sekitar dan digunakan untuk peringatan hari besar Islam seperti 1 Muharram (Suro), megengan, dan lain sebagainya.

Menurut cerita tutur versi lain, punden ini pernah menjadi tempat berkumpulnya pasukan Dipanagara saat mereka melakukan "hijrah" ke Bang Wetan (Jawa Timur). Konon sebelum mereka mem-babad daerah Srengat, Blitar yang oleh Raffles dalam The History of Java ditulis Sringat itu, mereka sempat mampir di punden Mbah Ageng.

Terdapat satu lagi punden di Dusun Selojeneng timur, yaitu Mbah Drono Sumito. Konon, punden tersebut merupakan makam dua orang laki-laki dan perempuan yang diyakini sebagai demang pertama atau pelarian dari wilayah Mataram. Meski ceritanya tak banyak diketahui, warga setempat menyakini bahwa danyang yang menempati punden tersebut termasuk danyangan putihan atau baik. Konsep danyangan putihan dan danyangan abang diadaptasi dari transformasi sosial masyarakat Jawa pada masa lalu, yang mewakili makhluk halus baik dan jahat.