Bagagarsyah dari Pagaruyung

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
(Dialihkan dari Sultan Alam Bagagarsyah)

Sultan Tangkal Alam Bagagar atau Sultan Alam Bagagar Syah (lahir di Pagaruyung, Luhak Tanah Datar pada 1789;[1] wafat di Batavia 12 Februari 1849)[2] adalah seorang kemenakan dari raja Pagaruyung terakhir Sultan Arifin Muningsyah,[3] versi lain mengatakan bahwa Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah adalah cucu patrilineal dari Sultan Arifin Muningsyah.[4][5]

Tangkal Alam Bagagar
Regent Tanah Datar
Cap Mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar
Berkuasa18211833
Nama lengkap
Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh
DinastiMauli

Biografi

sunting

Pada tahun 1815, kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang kerajaan Pagaruyung, menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.[6] Sultan Tangkal Alam Bagagar, waktu itu telah berumur 26 tahun dan berada di Padang.[2]

Pada tanggal 10 Februari 1821 bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri.[7] Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Sultan Tangkal Alam Bagagar sebetulnya tidak berhak melakukan perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung,[8] yang kemudian akibat dari perjanjian ini, dijadikan oleh Belanda sebagai tanda penyerahan kedaulatan Pagaruyung.[9] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, Sultan Tangkal Alam Bagagar diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda hanya sebagai Regent Tanah Datar, walaupun pada sisi lain ia menganggap dirinya sebagai Raja Alam, namun pemerintah Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya atas wilayah kerajaan Pagaruyung itu sendiri.[3]

Pada tanggal 2 Mei 1833, Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh pasukan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Selanjutnya dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya.[8] Ia dimakamkan di pekuburan Mangga Dua, kemudian pada tahun 1975 atas izin pemerintah Indonesia kuburannya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan.[2]

Cap mohor

sunting

"Sultan Tunggul Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam".

— Alih bahasa cap mohor Sultan Tunggul Alam Bagagar.

Cap mohor Sultan Tunggul Alam Bagagar dibahas dalam disertasi Annabel Teh Gallop,[10] sebagai satu dari ratusan cap mohor yang telah ditelitinya. Beberapa ahli berbeda berpendapat tentang legitimasi cap mohor tersebut, apakah sebagai bukti pengukuhan atau bukan merupakan bukti dari legitimasi kekuasaan atau hanya merupakan "barang perhiasan" saja,[11] serta cap mohor tersebut pada hakikatnya hanya merupakan representasi dari diri yang bersangkutan sendiri.[12] Kroeskamp dalam De Westkust en Minangkabau (1931) menyebutkan bahwa laporan sumber Hindia Belanda hanya mencantumkan Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar (Wali Tanah Datar).[13][14][15] Walau sebelumnya dalam laporan de Stuers[Note 1][16][17] telah menyebutkan bahwa dia melihat Sultan Tunggul Alam Bagagar tidak layak menjadi penguasa[Note 2] Minangkabau dan mengusulkan salah seorang kerabat raja lainnya yang bergelar Tuan Gadang.[13]

Lihat pula

sunting
Didahului oleh:
Muningsyah dari Pagaruyung
Yang Dipertuan Pagaruyung
1821 - 1833
Diteruskan oleh:

Rujukan

sunting
  1. ^ Mhd. Nur, et al. (2016) "Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah Dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau pada Abad ke 19" Agam : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
  2. ^ a b c Safwan, M., (1975), Sultan Alam Bagagar Syah (1789-1849), Panitia Pelaksana Pemindahan Makam Sultan Alam Bagagar Syah.
  3. ^ a b Dobbin, C.E., (1992), Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847, INIS, ISBN 979811612.
  4. ^ http://raunsabalik.ucoz.com/news/istana_pagaruyung_124_sejarah_linduang_bulan/2013-03-13-57
  5. ^ http://wisranhadi.wordpress.com/2008/09/22/generasi-ketujuh-bagian-keenam/
  6. ^ Nain, S.A., (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  7. ^ Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert (1850). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. 2. P.N. van Kampen. 
  8. ^ a b Amran, R. (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  9. ^ Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  10. ^ Gallop, Annabel Teh (2002). Malay seal inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia. Volume II. School of Oriental and African Studes, University of London. hlm. 137. British Library, ILS catalogue number: 12454119. 
  11. ^ Bosch, FDK (1931). De rijkssieraden van Pagar Roejoeng Overdr. uit het Oudheidkundig Verslag 1930, Batavia. hlm. 49-108.  Teks "editor:" akan diabaikan (bantuan)
  12. ^ Drakard, Jane (1999). A kingdom of words: language and power in Sumatra. Oxford University Press. hlm. 137. ISBN 9789835600357.  Teks "editor:" akan diabaikan (bantuan)
  13. ^ a b Laporan kepada Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
  14. ^ Kroeskamp, H., (1931) De Westkust en Minangkabau Terbitan State University of Leiden, halaman 110
  15. ^ Penders, Christian Lambert Maria (1977). Indonesia: selected documents on colonialism and nationalism, 1830-1942. University of Queensland Press. ISBN 0702213241. 
  16. ^ Colombijn, Freek (1994). Patches of Padang: the history of an indonesian town in the twentieth century and the use of urban space. Research School CNWS, University of Michigan. hlm. 44. ISBN 9073782236. 
  17. ^ Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Netherlands) (1976). Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, Volume. 132. M. Nijhoff. 

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Penders dan Colombijn menyebutkan dalam laporan de Stuers mengatakan beberapa kerabat kerajaan Pagaruyung yang berhasil melarikan diri dari pembantaian pada saat perang Padri, dan tidak pernah menyebutkan adanya nama Sultan Tunggal Alam Bagagar sebagai seseorang yang mempunyai kedaulatan atas sebuah wilayah
  2. ^ Regent Tanah Datar