Suku Mbaham-Matta
Suku Mbaham-Matta (disebut juga Mbaham Matta Wuh, Baham atau Patimuni) adalah suku yang bermukim di Semenanjung Bomberai, Kabupaten Fak-Fak,[2] Papua Barat, Indonesia. Suku ini terbagi dalam 12 marga yang mendiami dataran pesisir selatan Semenanjung Bomberai. Daerah ini dikenal sebagai tempat penghasil buah pala (dengan indikasi geografis produk "Pala Fakfak"). Suku ini tersebar di 9 kecamatan, 5 kelurahan dan 120 kampung.[3] Bahasa yang digunakan adalah bahasa Baham.
Jumlah populasi | |
---|---|
22,169 (2010)[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Papua Barat: Kabupaten Fakfak | |
Bahasa | |
Bahasa Baham | |
Agama | |
Mayoritas Islam |
Etimologi
suntingKata Mbaham artinya "sesuatu yang sudah terjadi" atau "sesuatu yang sudah ada, dalam bahasa lokal disebut Ponggo merujuk pada mite lokal asal muasal manusia dari Gunung Mbaham di Semenanjung Onin yang kemudian turun ke wilayah pesisir. Nama Matta mengacu pada wilayah pertengahan semenanjung, sedangkan nama Wuh adalah nama penghujung semenanjung. Dahulu terjadi peperangan Hongi antar kelompok suku walau kemudian terjadi kesadaran bahwa mereka ini saling bersaudara berasal dari Gunung Mbaham. Sehingga mereka berdamai dan penyebutan nama suku tersebut diintegrasikan menjadi Mbaham Matta atau yang lebih lengkap Mbaham Matta Wuh.[4][5]
Daftar marga
sunting- Mbaham: Gwasgwas, Tungging, Temongmere, Woi, Wagap, Fuad
- Wambron: Niwar, Kabes, Hindom, Patiran
- Hamandimandi: Kramadondo, Tigtigweria, Gredenggo
- Yomna: Heremba
- Komander: Gewab, Ginuni
- Warpa: Iba
- Arongtiri: Iha
- Wuh: Tuturop, Uswanas, Uspantai
Tradisi
suntingSeni musik dan tari
suntingJenis-jenis alat musik yang digunakan berupa tifa yang disebut titir, gong (lela), ukulele, tia rabana, suling bambu, dan kulit bia. Titir berukuran kecil disebut juga titir tumor (tumyour atau tummour) sedangkan titir berukuran besar disebut titir lakadinding. Irama yang dimainkan adalah tifa Quasidah walaupun bisa dimainkan oleh yang berkeyakinan Kristen Protestan ataupun Katolik, untuk perayaan Natal dan Tahun Baru, pentahbisan imam, penyambutan tamu maupun acara lainnya. Biasanya juga akan diiringi tarian khas etnis Mbaham-Matta seperti tari cakalele mbreh untuk laki-laki yang menggunakan cawat atau totohi/mar neme busana laki-laki sambil memegang parang (qpod qpod), dan tari kriag untuk perempuan yang menggunakan busana martombor.[5]
Pakaian adat
suntingBusana tradisional perempuan pada masa lampau terbuat dari kulit kayu, walau masa kini busana yang digunakan adalah baju kebaya lengan panjang berwarna kuning keemasan atau putih beserta kain batik yang diikat di pinggang. Sedangkan laki-laki dahulu tidak menggunakan baju dan cawat dari kulit kayu. Atribut lain yang digunakan perempuan berupa tas kabari yang diikat dikepala perempuan dengan tali berwarna merah, huwer (sisir rambut), hakma (bulu cendrawasih yang diikat tali merah). Sedangkan atribut laki-laki berupa gelang dari rotan di lengan kiri (sekarang diubah menjadi kain merah dengan bulu cendrawasih atau kasuari), ikat pinggang dari kain merah, tomang (hinyer tini) yang digantung di bahu dibuat dari daun tikar yang diasapi, ikat kepala dari kulit kayu yang diwarnai merah dari darah hewan atau tumbuhan, dan parang yang dahulu pada bagian bawah diikat rambut manusia yang telah dibunuh.[6]
Sasi
suntingDaerah tempat suku ini menetap terkenal dengan kekayaan sumber daya alam di laut dan di darat seperti sagu, pala, rumput laut dan juga aneka ikan semuanya itu menjadi sumber penghidupan suku ini. Untuk menjaga sumber daya alam tersebut, mereka mempraktikkan tradisi sasi.
Satu Tungku Tiga Batu
suntingSelain itu beberapa situs leluhur yang merupakan tempat utama dalam memahami alam dan dinamika sosial serta sarana interaksi kepada leluhur mereka sehari-hari. Meskipun beberapa orang masih tetap memegang kepercayaan kepada nenek moyang mereka, dengan mayoritas beragama Islam, Protestan, dan Katolik. Tetapi kerukunan beragama di tempat mereka ini begitu harmonis.[7] Yang merupakan filosofi "Trimid te wo is teri" (Satu Tungku Tiga Batu)[4], yang menggambarkan untuk memasak tungku diletakkan diatas tiga batu besar. Ketiga batu ini memiliki ukuran sama, kokoh dan kuat serta tahan panas, disusun sehingga bisa menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak. Tungku adalah sumber kehidupan dan tiga batu tersebut berarti "Ko, on, kno mi mombi du qpona" (Kau, saya, dan dia adalah satu)[4], yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan.[8]
Adapun dalam praktiknya, didalam satu keluarga masing masing anak bisa memiliki agama yang berbeda-beda. Apabila didalam satu keluarga terdiri dari bapak, mama, dan sejumlah 5 orang anak. Biasanya anak yang pertama akan diserahkan untuk mengikuti agama Islam, dalam pembentukan iman sebagai seorang muslim. Anak yang kedua akan diserahkan kepada agama Kristen Protestan, dan yang ketiga akan mengikuti ajaran agama Katolik. Anak yang keempat dan kelima akan diulang urutannya, atau boleh juga memilih sesuai kehendak hatinya.[4][9] Praktik keluarga dengan banyak agama masih berlangsung hingga saat ini.
Galeri
sunting-
Tummour, tifa suku Mbaham Matta
-
Pengolahan tradisional buah Pala
Referensi
sunting- ^ Ananta, A.; Arifin, E.N.; Hasbullah, M.S.; Handayani, N.B.; Pramono, A. (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 115. ISBN 978-981-4519-87-8. Diakses tanggal 2023-10-23.
- ^ Hidayah, Zulyani (April 2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 46. ISBN 978-979-461-929-2.
- ^ "SUKU BANGSA ASLI PAPUA MENURUT URUTAN ABJAD". www.papua.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-08. Diakses tanggal 2017-01-14.
- ^ a b c d "Mbaham- Matta / Ko On Kno Mi Mombi Du Qpona". Warisan Budaya Takbenda. Diakses tanggal 2024-12-11.
- ^ a b Peran Sistem Kekerabatan dalam Sistem Kehidupan Toleransi Beragama Kabupaten Fak-Fak (PDF). Fakfak: Kepel press. 2014. Diakses tanggal 2024-09-04.
- ^ Hindom, Reni F.; Yuliana; Wenehen, Agustinus (2020-06-01). "Perubahan Fungsi Tarian Tummour Pada Suku Mbaham Matta". Cenderawasih: Jurnal Antropologi Papua. 1 (1): 34–50. Diakses tanggal 2024-12-16.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-23. Diakses tanggal 2019-02-23.
- ^ Mayor, Richard Jakson (2022-05-24). "Filosofi Satu Tungku Tiga Batu, Cermin Toleransi Umat Beragama di Fakfak". merdeka.com. Diakses tanggal 2022-09-20.
- ^ Helweldery, Ronald (2018-11-05). "Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik Sosial". Repositori Institusi Universitas Kristen Satya Wacana. Diakses tanggal 2022-06-04.