Suku Yali

kelompok etnik dari Papua Pegunungan, Indonesia
(Dialihkan dari Suku Inlom)

Suku Yali adalah kelompok etnis yang mendiami Provinsi Papua Pegunungan, Indonesia. Suku Yali membentuk kampung-kampung kecil yang tersebar di daerah pegunungan tengah, di sebelah timur dari lembah Baliem. Orang Yali juga terbagi-bagi menurut bahasa, dialek, dan budayanya, menjadi dua kelompok besar: Yalimek dan Yalimo. Masyarakat di Anggruk sendiri lebih memilih disebut Yali saja.

Suku Yali
Yali Inap, Yalenang
Jumlah populasi
2010: 133.812 Jiwa (termasuk Ngalik)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia:
Bahasa
bahasa Yali dan bahasa Mek
Agama
Mayoritas Kristen Protestan.
Kelompok etnik terkait
Suku Dani, Suku Lani, Suku Nduga, Suku Ngalik, dan Suku Mek

Etimologi

sunting

Kata Yali dan Yalimo, merupakan gabungan dari kata yal yang artinya 'jalan atau tangga penghubung' dan li merujuk kepada cahaya terang,[2] sehingga nama ini mengacu kepada asal muasal suku ini yang berarti 'orang atau suku dari tempat matahari tebit',[3] atau 'orang dari timur'.[4] Kata mo seperti dari nama Kabupaten Yalimo merupakan morfem dari kata mu berarti 'tempat'. Sehingga nama wilayah adat suku Yali adalah O Yalimu, yang terbagi ke dalam dua wilayah administratif, yakni Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Yahukimo.[5] Istilah "Yali" (timur) diperkirakan awalnya bukan berasal dari suku ini sendiri, tetapi kemudian didopsi untuk mengidentifikasinnya.[3] Pengertian kedua asal nama ini berasal dari tokoh legendaris penjelmaan pencipta bernama Yeli (mirip dengan mitologi suku Eipo, Yaleenye), yang bangkit berkali-kali walau dibunuh dan dipenggal. Dari penggalan tubuhnya muncul manusia, binatang, tumbuhan, dan mahluk hidup di alam semesta. Ia mengajarkan tentang tatanan hidup, norma, etika, dan adat istiadat, dan meminta untuk disembah sebelum pergi menghilang ke arah barat (Lembah Baliem). Pelafalan Yeli lambat laun berubah menjadi Yali.[2] Ap Yali berarti 'manusia Yali',[5] sedangkan Yali Inap berarti 'suku/orang Yali'.[3] Sedangkan untuk kelompok Yali di Lembah In (Kosarek) dalam rumpun Mek, digunakan Yalenang berarti 'orang Yale'.[6]

Bahasa

sunting

Mengikuti pembagian wilayah menjadi Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Yahukimo, masyarakat suku Yali besar juga terbagi menjadi kedua kelompok besar: Yali(mo) dan Yali Mek. Perbedaan ini mencakup juga bahasa karena suku Yali memiliki dua bahasa, bahasa Yali (rumpun bahasa Lembah Baliem), sedangkan kelompok lain berbahasa Mek.[7][8]

Rumah adat

sunting
 
Kompleks rumah adat suku Yali (opumbuk) di Kampung Hulesi, Mugi, Yahukimo

Kisahnya, dulu sebagian orang Yali pergi meninggalkan kampung dan turun ke lembah. Mereka membuat kampung-kampung yang baru dan menetap di sana. Rumah suku Yali berbentuk sama dengan suku-suku lain di Papua Pegunungan yang disebut rumah Yowi (honai). Suku Yali menyebut rumah khusus perempuan disebut homea atau homi,[9] rumah khusus laki-laki disebut yowi, kandang babi disebut wam ibam, dan rumah sakral atau keramat usa yowi. Bangunan-bangunan tersebut membentuk satu kompleks perumahan yang disebut opumbuk,[8] sedangkan satu kampung terdiri dari beberapa opumbuk.

Busana tradisional

sunting
 
Perempuan suku Yali dengan rok rumput (kem).

Pakaian adat bagi suku Yali berupa lilitan rotan yang menyerupai rok dan koteka yang disebut sabiyab.[3] Semakin banyak lingkaran rotan yang dimilikinya, artinya semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status orang tersebut. Orang Yali biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh diluar wilayah Yali, dan sulit untuk memperolehnya. Lilitan rotan tersebut juga bisa digunakan untuk membuat api.[10]

 
Suku Yali dengan pakaian tradisional, sabiyab dan kem.

Humi (koteka) yang dipakai laki-laki berbentuk panjang dan ramping (berbeda dari suku lain), lalu diikat dengan sabuk rotan. Koteka tersebut dibuat dari buah labu panjang yang dikosongkan dan dikeringkan diatas perapian. Setelah kering kulit labu tersebut akan dipasang dan dililitkan dengan rotan di perut dan pinggang.[10]

Pakaian tradisional wanita adalah rok rumput yang berbeda dengan rok sali, rok rumput pendek tersebut disebut kem atau kem lahuog, selain itu juga penutup kepala sum (noken)[3] yang dipakai di kepala.

Hiasan lain bisa berupa topi dari bulu burung (sue eruk), bulu burung yalme (yalme kankin), bulu burung kasuari (huhubi eruk), bulu kuskus (pak eruk, Phalangeriadae), bulu wupih (kus koluang) pada ujung koteka, dan taring babi (wam ayeg). Kulit juga bisa dihias dengan arang dan tanah liat. Perlengkapan senjata seperti panah dan busur (sehen suap angge).[7]

Model rambut

sunting

Dalam ritual simbahan, laki-laki suku Yali akan dikepang dan dihias. Ritual ini dilaksanakan saat bencana seperti wabah penyakit atau kelaparan. Berdasarkan keputusan bersama kemudian pemuda kampung akan mengumpulkan tangkai anggrek kuning, kuskus, babi ke dalam rumah keramat heriegpini. Semua laki-laki kemudian akan mengikuti prosesi seperti menyerahkan keladi sakral kepada setiap laki-laki beserta daging kuskus, menguburkan lemak babi, dan menanamkan kaki. Kemudian tangkai anggrek akan dianyam menjadi tali dan diikat pada rambut laki-laki. Proses ini bisa memakan waktu seminggu hingga sebulan, mereka tidak boleh keluar pada siang hari dan hanya boleh dilihat penduduk kampung pada malam hari, dan makanan yang dikonsumsi hanya betatas dan sayuran lainnya. Ritual ini ditutup dengan bakar batu daging kuskus. Beberapa model rambut tersebut adalah:[11]

  • Liya atau Yaliya: rambut di tengah kepala dikepang menjadi 20-30 kuncir ditarik kebelakang dan disatukan. Kemudian kuncir ini diikat pada sepotong kayu ilibuk dengan panjang 30–40 cm yang sudah diberi lem dan dililit benang wisig sehingga melekat. Kayu tersebut juga dihias dengan bulu kasuari. Model ini dipakai oleh laki-laki yang berbadan tegap dan tinggi.
  • Sakuk atau Sakangen: semua rambut dikepang dengan tali batang anggrek kuning (weik) sehingga menjadi sekitar 80 kuncir dan ditarik kebelakang. Model rambut ini digunakan oleh laki-laki muda yang belum memakai sabiyab (lilitan rotan dan koteka).
  • Mase atau berputar: memiliki kemiripan dengan yaliya, tetapi menggunakan kayu ahun dan akar umanggen, kemudian kepangan dengan tali kuning tersebut dibungkus kayu sohou. Model rambut ini digunakan oleh laki-laki dengan berbadan pendek dan gemuk.

Perkawinan dan pernikahan

sunting

Dalam pernikahan, masyarakat suku Yali menggunakan wam (babi) sebagai maskawin. Namun, budaya ini lambat laun mengalami pergeseran. Suku Yali menganut sistem moietas eksogami dimana masyarakat Yali terbagi menjadi dua kelompok sosial (paroh masyarakat) yang disebut moietas yang bernama Winda dan Waya. Sedangkan orang Yali Anggruk dan Ninia memiliki moietas yang disebut Kabag dan Pahabol. Kedua nama tersebut juga digunakan sebagai nama klan, sehingga contohnya klan Kabak yang berasal dari moietas Kabag, hanya boleh menikahi klan Bahabol dari moeitas Pahabol, karena merupakan satu keturunan untuk mencegah pabi (inses). Hukuman pada masa lampu adalah pasangan tersebut akan dibunuh, walaupun keduanya berasal dari dua klan berbeda tetapi satu anggota moietas. Tetapi dengan masuknya gereja hukuman menjadi lebih ringan, dengan hukuman adat seperti membayar denda, walau tabu sosial masih cukup besar.[12]

Sistem kekerabatan

sunting

Klan dalam dalam bahasa Yali disebut unggul (kepala), yang berarti memiliki garis keturunan dan nenek moyang dan asal-usul yang sama. Beberapa unggul bisa bersatu menjadi kelompok yang lebih besar disebut unggul uwag (kepala tulang), klannya sama tetapi memiliki cerita asal-usul yang berbeda. Contohnya unggul uwag Halerohon, yang terdiri dari tiga unggul, Halerohon-wereneyon, Halerohon-pangga, dan Halerohon-singon. Cerita asal usul nenek moyangnya bisa berbeda, contohnya: Halerohon-wereneyon yang mengatakan nenek moyangnya dan totemnya burung warene (kakatua), sedangkan Halerohon-pangga mengatakan nenek moyangnya tinggal dibawah daun (inggila/ingga) pohon pa atau fi (Kampung Feinggama).[12]

Kelompok yang lebih besar lagi disebut wilig lumpaleg (setengah pasangan), dibentuk dari dua klan yang berbeda, membentuk konfederasi. Walaupun tidak seperti konfederasi dalam Suku Dani, bisa berasal dari moietas yang sama, contohnya: Halerombo-Siliamet, yang terdiri dari tiga klan, Halerombo, Siliamet, dan Wasage semuanya anggota Waya.[12]

Kelompok klan yang lebih besar lagi disebut ap ahe (manusia sumber), beberapa klan percaya bahwa walaupun nama klan mereka sudah berbeda atau bahkan tinggal di budaya suku yang berbeda seperti Dani atau Lani, mereka masih memiliki nenek moyang yang sama yang menyebar dan membentuk klan baru. Contohnya: Klan Peyon, Ambolon, Funangi, Mabel, Wandik, Itlay dan Yibikon, semua anggota Winda, klan Mabel dan Itlay ada di Lembah Baliem (Orang Dani) dan juga Yalimu (Yali), sedangkan Wandik ada di Yalimu, wilayah Lani, dan Lembah Baliem, mereka masih mempercayai satu nenek moyang ap ahe.[12]

Dalam peperangan dilarang untuk saling membunuh karena masih berhubungan. Pemimpin dalam peperangan biasanya oleh dua orang, satu pemimpin dari Wita ditemani pemimpin dari waya, salah satu akan memimpin penyerangan, sedangkan yang lainnya akan memimpin bertahan atau mundur.[12]

Kesenian

sunting

Kesenian pada masyarakat Yali adalah dansa yunggul dengan cara 'lari kecil' sambil berkeliling. Biasanya sambil menyanyikan lagu seperti lagu jenis eberi, lagu tentang keperuntungan, kegagalan, harapan atau keinginan, kematian, perkawinan, dan peperangan. Lagu ini dinyanyikan di pagi hari sebelum matahari terbit. Lagu jenis suleng, yang dinyanyikan didalam rumah sambil duduk, suleng tidak dinyanyikan pada pagi hari atau mendung karena dianggap menyebabkan hujan. Lagu jenis huni sini, lagu yang mirip dengan suleng tetapi dinyanyikan sendiri. Selain itu juga lagu jenis wene puhur, lagu-lagu yang dinyanyikan saat pesta besar seperti peresmian gereja dan perayaan hari natal.[7]

Masyarakat Yali juga mereka mengenal obat - obatan tradisional seperti Yabi yaitu sejenis daun gatal yang digunakan untuk obat sakit badan dan penyakit lainnya.

Referensi

sunting
  1. ^ Ananta, A.; Arifin, E.N.; Hasbullah, M.S.; Handayani, N.B.; Pramono, A. (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 120. ISBN 978-981-4519-87-8. Diakses tanggal 2023-10-23. 
  2. ^ a b Peyon, A Ibrahim (2023-12-31). "'Ap Lisurug' Mekanisme Pertukaran Babi dalam Budaya Yali". CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua. 4 (2): 117–128. ISSN 2774-552X. Diakses tanggal 2024-05-29. 
  3. ^ a b c d e Sawaki, Yusuf (2023). "Istilah Toponimi Tabui Dan Humli Pada Masyarakat Yali di Papua: Sebuah Kajian Semantik dan Pragmatik" (PDF). Linguistik Indonesia. 41 (2): 223–240. Diakses tanggal 2024-05-25. 
  4. ^ Heckler, S. (2012). Landscape, Process and Power: Re-Evaluating Traditional Environmental Knowledge. Berghahn Series. Berghahn Books. hlm. 185–187. ISBN 978-0-85745-613-7. 
  5. ^ a b Katiho, Stefano Mesakh Irianto. "Peranan Freidrech Tometten Di Sekolah Alkitab Apahapsili-Yalimo Tahun 1989 – 1997". Jurnal Papua Teologi Kontekstual. 3 (2). Diakses tanggal 2024-05-25. 
  6. ^ Godschalk, Jan Anthonie (1993). Sela Valley: an Ethnography of a Mek Society in the Eastern Highlands, Irian Jaya, Indonesia. Amsterdam: Vrije Universiteit. hlm. 4. 
  7. ^ a b c "MASYARAKAT SUKU YALI". sinarmasahangguli. 2013-01-12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-26. Diakses tanggal 2024-05-25. 
  8. ^ a b Nurmaningtyas, Anggia Riani; Utomo, Sugito (2015-12-12). "ARSITEKTUR VERNAKULAR RUMAH SUKU YALI KABUPATEN YALIMO PAPUA". DINAMIS. 2 (12): 30–42. ISSN 2722-0109. Diakses tanggal 2024-05-25. 
  9. ^ Wismabrata, Michael Hangga (2022-09-06). "Arti Nama Honai, Rumah Adat Khas Papua dan Keunikannya". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  10. ^ a b Suroto, Hari (2021-01-03). "Fakta-fakta Koteka dan Rok Rumput Khas Suku Yali di Papua". detikTravel. Diakses tanggal 2023-02-04. 
  11. ^ "Ritus Simbahan, Upacara Menghias Rambut Laki-laki Suku Yali, Tanah Papua". Jubi Papua. 2024-04-28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-05-08. Diakses tanggal 2024-05-25. 
  12. ^ a b c d e Peyon, Apayuk Ibrahim (2019-07-04) (dalam bahasa de). Die Yali-Kultur aus indigener ethnografischer Perspektive (Tesis). Ludwig-Maximilians-Universität München. https://edoc.ub.uni-muenchen.de/25641/. Diakses pada 2024-05-26.