Suku Akik

suku bangsa di Indonesia
(Dialihkan dari Suku Akit)

Suku Akit atau Suku Akik merupakan salah satu suku asli yang mendiami wilayah Provinsi Riau, dan merupakan salah satu sub-suku ras Proto Melayu.

Wilayah Domisili

Suku Akit mendiami wilayah:

  • Kabupaten Kepulauan Meranti
    • Pulau Padang
      • Sungai Labu
      • Kudap
      • Dedap
      • Selat Akar
      • Bagan Melibur
      • Kunsit
    • Pulau Merbau
      • Cemaning
      • Ketapang
      • Renak Dungun
    • Pulau Tebing Tinggi
      • Tanjung Peranap
      • Aer Mabuk
      • Kundur
      • Lalang
      • Sesap
      • Batin Suir
    • Pulau Rangsang
      • Api-api
      • Linau Kuning
      • Bungur-Kuala parit
      • Sonde
      • Sungai Rangsang
      • Tanjung Sari
      • Sokop
      • Mereng
      • Bandaraya
      • Banau
      • Sipije
  • Kabupaten Pelelawan
    • Kecamatan Kuala Kampar, Pulau Mendol

Penjelasan Singkat

Suku Akit merupakan salah satu suku asli yang mendiami wilayah Provinsi Riau. Suku Akit merupakan suku asli yang mendiami wilayah Pulau Rupat tepatnya di Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis. Suku ini telah lama mendiami pulau ini sebelum suku-suku lainnya menjadikan pulau ini sebagai tempat tinggal.

Mata pencarian Suku Akit adalah dari berburu dan meramu. Saat ini Suku Akit telah banyak berbaur dengan masyarakat lainnya.

Kata Akit berasal dari kata Rakit. Sebab Suku Akit, secara singkat dapat dikatan Suku Rakit, Orang Rakit atau Tukang Rakit. Suku ini pada mulanya telah menjadi rakyat Kerajaan Gasib Siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan Siak mengambil dan merakit kayu. Mereka telah dibagi atas 3 macam tugas :

  1. Rombongan yang merakit di sungai, disebut Akit Biasa.
  2. Rombongan yang merintis jalan di sungai, disebut Akit Ratas.
  3. Rombongan yang menebang kayu di hutan, disebut Akit Hutan.

Kayu hasil rakitan inilah yang kemudian dijual oleh Kerajaan Siak sebagai salah satu sumber pendapatannya dalam abad ke 18. Suku Akit masih keturunan orang pesisir Timur Sumatera. Mereka mengembara sepanjang pantai Selatan Selat Malaka. Suku Akit di Siak terbagi atas Akit Pengguling dan Akit Morong, Akit Morong terbagi atas Akit Ratas dan Akit Biasa.[1]

Kepercayaan dan Mata Pencaharian

Masyarakat Suku Akit dahulunya menganut kepercayaan animisme. Agama asli masyarakat Suku Akit percaya pada berbagai makhluk halus, roh, dan berbagai kekuatan gaib dalam alam semesta, khususnya dalam lingkungan kehidupan manusia yang mempunyai pengaruh terhadap kesejahteraan hidup mereka. Sebagai contoh, pada waktu tertentu sekali masyarakat Suku Akit tidak boleh melaut maupun menghidupkan api serta mematahkan kayu di hutan, hal itu diyakini dapat menimbulkan kesialan bagi mereka. Namun seiring perkembangan zaman dan masuknya pedagang China dalam kehidupan masyarakat Suku Akit, membuat perlahan-lahan masyarakat Suku Akit meninggalkan agama nenek moyangnya yang bersifat animisme.

Masyarakat Akit umumnya beragama Budha dan harus ada patung Budha di depan rumah atau di ruang tamu atau di ruang tengah. tanda yang lain adalah digantungkannya kain merah di atas pintu depan atau lampion yang terbuat dari kertas atau balon berwarna merah.

Penduduk Suku Akit mayoritas menganut agama Budha, sebagian kecil adalah Kristen dan Islam, masuknya agama Kristen dan Islam terjadi karena pernikahan. seiring kemajuan zaman, Suku Akit dibantu oleh pemuka agama Budha yang ada di kota Bengkalis.[2]

Sejarah dan Asal Usul

Mengutip situs dinsos.riau.go.id, Suku Akit ini bermula dari Suku Laut, pada umumnya sama seperti suku-suku lainnya yang terdapat percampuran genetika ras yang ada di penjuru dunia. Perkembangan Suku Akit yang mendiami Pulau Rupat ini konon dulunya merupakan kelompok masyarakat dari Siak Sri Indrapura yang termasuk dalam kerajaan Melayu Riau. Kelompok ini mengungsi ke daerah lain untuk mencari tempat yang aman menuju Pulau Padang. Kemudian mereka berlayar lagi menuju ke arah Barat. Mereka pun diterima oleh Datuk Empang Kelapahan, mereka diizinkan menetap dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Namun mereka merasa keberatan, lalu mengadakan negosiasi lalu sepakat untuk pindah ke Pulau Tujuh.

Bergantung dengan Alam

Sejak zaman dahulu suku ini sangat bergantung dengan alam. Meski demikian, mereka juga beternak dan memiliki industri rumahan untuk membuat kerajinan tangan seperti tikar dari daun rumbia. Di samping itu, mata pencaharian Suku Akit sendiri mayoritas masih mengharapkan dari sektor laut yang artinya mereka menjadi seorang nelayan. Biasanya mereka melaut menggunakan kapal motor atau sampan. Di sektor pertanian, mereka juga menanam padi selayaknya orang-orang di luar sana. Namun, seluruh hasil panennya di konsumsi pribadi meskipun petak lahannya tidak begitu besar.[3]

Bahasa Akit

Dalam interaksi sosial, Suku Akit memiliki bahasa sendiri yang menggunakan dialek Akit atau bisa disebut dengan bahasa Akit. Namun, dari segi bahasa masih cukup berdekatan dengan bahasa Melayu. Seiring berjalan waktu dan pergeseran zaman, bahasa Akit tidak bisa terhindar dari paparan kebahasaan yang berbeda pula. Meski demikian, bahasa Akit masih bisa bertahan sampai sekarang sebagai produk budaya yang bersifat fleksibel dan dinamis.

Mengutip situs kemdikbud.go.id, saat ini penutur bahasa Akit sendiri tersebar di beberapa wilayah. Akan tetapi, pemerintah terus mengupayakan untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa ini.[3]

Kearifan Lokal

Masyarakat Suku Akit memiliki kearifan dalam memelihara pohon mangrove atau bakau. Serumpun pohon mangrove biasanya terdiri dari beberapa batang (4 sampai 6 batang). Tidak seluruh batang dipelihara, batang paling kecil dan pertumbuhannya tidak lurus dibuang. Tujuannya agar pohon yang lain bisa berkembang dengan baik.

Penebangan pohon mangrove dilakukan dengan alat seperti kampak dan parang. Nilai kearifannya adalah tidak menggunakan bahan bakar sehingga lingkungan mangrove terjaga dari pencemaran bahan bakar minyak. Kayu yang diambil panjangnya antara 2-3 meter dengan diameter 5-10 cm.

Satu rumpun mangrove biasanya terdiri dari 5-8 batang. Masyarakat sangat arif dalam penebangan pohon, tidak seluruh pohon mangrove ditebang, pohon yang masih kecil tidak ditebang. Nilai kearifannya adalah memberi kesempatan untuk keberlanjutan pohon yang masih kecil untuk tumbuh dan berkembang menjadi besar.

Sistem penebangan pohon mangrove untuk arang tidak mendatar tetapi miring sekitar 45 derajat. Nilai kearifan penebangan tersebut adalah agar mudah tumbang dan posisi tumbang tidak menimpa pohon kecil.

Pohon mangrove yang sudah ditebang dimuat dan diangkut menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu tanpa mesin, meskipun akhir-akhir ini ada yang menggunakan perahu kecil dengan mesin. Nilai kearifan perahu dari kayu adalah menggunakan bahan bakar organik yang berwawasan lingkungan karena limbah perahu yang sudah tidak terpakai lagi akan terurai di tanah.

Kayu mangrove memiliki banyak jenis antara lain Rhizoporaceae (rhizophora, bruguiera, dan ceriops). Sonneratiaceae (sonneratia), Avicenniaceae (avicennia), dan Meliaceae (xylocarpus). Masyarakat memiliki pengetahuan lokal (local knowledge) dalam menentukan jenis mangrove yang cocok unutk dijadikan arang. Jenis mangrove yang dijadikan arang adalah zipora (nama lokal), sedangkan nama latin Rhizoporaceae. Keunggulan jenis mangrove tersebut adalah kualitas arang bagus dan tidak mudah patah. Pengetahuan lokal tersebut disampaikan secara turun temurun dari orangtua kepada anaknya. Pengetahuan tersebut disampaikan melalui pengalaman tatkala mereka menebang mangrove.

Selain itu pengetahuan tersebut juga disampaikan ketika mereka menyeleksi kayu mangrove yang dijadikan arang dan yang dijadikan pembakar arang. Jenis mangrove zipora keistimewaannya adalah sebagian besar kayu tersebut lurus dan jenis kayu keras. Untuk bahan bakar arang adalah jenis kayu mangrove api-api atau nyirih.[2]

Dalam hubungan sosial, Suku Akit memiliki sifat dan rasa kerja sama atau gotong royong yang cukup tinggi meskipun berbeda golongan dari segi etnis atau kepercayaan. Saat pekerjaan sehari-hari, mereka saling membantu satu sama lain dalam mengelola hasil alam, seperti buah kelapa atau durian. Sementara kepemilikan lahan tidak ada istilah tanah ulayat, melainkan miliki pribadi meskipun belum ada bukti sahnya. Uniknya lagi, dalam pembagian warisan dengan cara dibeli. Bagi siapa yang dapat membuka lahan secara luas maka itulah yang dianggap memiliki kekuasaan besar atas tanah tersebut.[3]

Struktur Masyarakat, Organisasi dan Komunitas

Struktur masyarakat Suku Akit berbeda dengan struktur masyarakat suku asli lainnya misalnya Suku Sakai. Dalam masyarakat Suku Akit ada pimpinan yang disebut Batin. salah satu peran Batin adalah menikahkan masyarakat Akit yang akan melangsungkan pernikahan. tugas Batin yang lain adalah menyeesaikan konflik yang terjadi antara anggota masyarakat misalnya, konflik antar keluarga dan perselisihan batas tanah. Peran tersebut akhir akhir ini tidak lagi diselesaikan oleh Batin melainkan dapat diselesaikan oleh ketua RT/RW. Memudarnya peran Batin dalam menyelesaikan persoalan keluarga, kemungkinan karena semakin menguatnya kelembagaan pemerintah desa seperti RT/RW sehingga peran Batin tidak lagi menangani masalah-masalah dalam masyarakat.

Suku Akit pada zaman dahulu hidup di pinggir anak sungai dan sangat tergantung pada hasil sumber daya alam, salah satunya pemanfaatan hutan bakau menjadi kayu arang. namun seiring kemajuan zaman, Suku Akit mulai meninggalkan pinggir sungai dengan sumber mata pencaharian yang telah berkembang seperti bertani, buruh, dan berdagang. hanya beberapa keluarga yang masih bertahan sebagai pekerja panglong arang. Meskipun terjadi perkembangan sosial ekonomi, namun mereka tetap hidup berkelompok dan terpisah dari penduduk Desa Jangkang lainnya. Hal ini dapat dilihat melalui wilayah tinggal, adat istiadat, budaya, dan agama Suku Akit yang tidak sama dengan penduduk Desa Jangkang lainnya.[4]

Sejak tahun 2000, telah dibentuk Lembaga Adat Suku Asli Akit (LASA) untuk memperkuat solidaritas di antara anggota suku. Organisasi ini beroperasi di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa.

Pranala luar

  1. ^ Hayati, Nurlela. "Gambaran Umum Masyarakat Terasing di Riau". Lentera E-Journal UNRI: 92. 
  2. ^ a b "Kehidupan Masyarakat Adat Suku Akit dan Kearifan Lokal (Tulisan 1)". Bahtera Alam. 
  3. ^ a b c "Asal-usul Suku Akit, Penduduk Asli Provinsi Riau yang Mendiami Pulau Rupat". merdeka.com. Diakses tanggal 2025-01-16. 
  4. ^ "Kehidupan Masyarakat Adat Suku Akit dan Kearifan Lokal (Tulisan 2)". Bahtera Alam. Diakses tanggal 2025-01-16.