Subsidi energi adalah sebuah tindakan yang membuat harga sumber energi di tingkat konsumen tetap berada di bawah harga pasar atau lebih tinggi dari harga pasar untuk subsidi harga di tingkat produsen. Subsidi energi juga dapat berarti mengurangi biaya yang digunakan oleh konsumen/produsen untuk membeli/memproduksi sumber energi. Subsidi dapat berupa transfer dana secara langsung, pendanaan secara tidak langsung, pengecualian pajak, pengendalian harga, pengendalian arus perdagangan, dan pembatasan akses pasar.

Subsidi bahan bakar fosil di antara negara OECD pada tahun 2011 mencapai 90 miliar US dollar, dan lebih dari 500 US dollar secara global.[1] Sedangkan subsidi energi terbarukan hanya 88 miliar US dollar pada tahun yang sama.[2] Dengan subsidi bahan bakar fosil yang terus terjadi, maka berdasarkan International Energy Agency, target pengendalian perubahan iklim tidak akan tercapai.[3]

Garis besar

sunting

Argumen utama yang digunakan dalam melakukan subsidi energi bagi sebuah negara yaitu:

  • Mempertahankan suplai untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan menjaga sumber daya alam di dalam negeri
  • Peningkatan kualitas lingkungan (khusus subsidi energi alternatif/energi terbarukan)
  • Manfaat secara ekonomi; subsidi mengurangi harga sehingga merangsang sektor ekonomi tertentu untuk terus berkembang dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat miskin
  • Ketenagakerjaan; subsidi mempertahankan sektor ekonomi tertentu dan mencegahnya dari kebangkrutan yang dapat menyebabkan PHK[4]

Argumen utama yang menentang subsidi energi yaitu:

  • Beberapa subsidi energi, terutama subsidi energi fosil, berlawanan dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan global dan malah memicu konsumsi yang lebih tinggi dan limbah yang lebih banyak, menyebabkan kerusakan lingkungan dan beban bagi keuangan sebuah negara.[5] Mayoritas pihak yang menikmati subsidi energi justru masyarakat kalangan mampu.[1]
  • Subsidi energi menghalangi perkembangan sektor substitusi yang tidak disubsidi
  • Subsidi energi kadang kala jatuh ke sektor komersial besar sehingga dikatakan tidak tepat sasaran, berdasarkan studi oleh Bank Dunia.[6] Subsidi energi juga mengedepankan sektor perekonomian yang sudah intensif secara modal sehingga mengorbankan sektor perekonomian alternatif yang lebih kecil.[7]
  • Tidak memperhitungkan biaya eksternal, terutama biaya eksternal lingkungan.[5]
  • Subsidi energi memungkinkan eksploitasi yang lebih besar tanpa memperhitungkan untuk menjaga cadangan energi yang masih tersedia
  • Hilangnya pendapatan negara dari penjualan dan pajak migas

Referensi

sunting
  1. ^ a b Whitley, Shelagh. "Time to change the game: Fossil fuel subsidies and climate". Overseas Development Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-03. Diakses tanggal 3 January 2014. 
  2. ^ EU wind industry faces tough challenge - and politicians should not make it worse EWEA 04 Feb 2013
  3. ^ Fossil fuel subsidies are “public enemy number one” – IEA Chief Diarsipkan 2020-12-06 di Wayback Machine. EWEA 04 Feb 2013
  4. ^ "Energy subsidies in the European Union: A brief overview. Technical report No 1/2004" (PDF). European Environmental Agency. 2004. Diakses tanggal 2012-04-11. 
  5. ^ a b United Nations Environment Programme, Division of Technology, Industry and Economics. (2002). Reforming energy subsidies (PDF). IEA/UNEP. ISBN 92-807-2208-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-03-21. Diakses tanggal 2008-03-09. 
  6. ^ Douglas F. Barnes, Jonathan Halpern (2000). "The role of energy subsidies" (PDF). Energy and Development Report. World Bank: 60–66. Diakses tanggal 2008-03-09. 
  7. ^ Jonathan Pershing, Jim Mackenzie (March 2004). "Removing Subsidies. Leveling the Playing Field for Renewable Energy Technologies. Thematic Background Paper" (PDF). Secretariat of the International Conference for Renewable Energies. Diakses tanggal 2008-03-09. 

Pranala luar

sunting