Sterilisasi paksa

kebijakan pemerintah yang memaksa orang untuk menjalani sterilisasi

Sterilisasi atau pemandulan paksa adalah program atau kebijakan pemerintah yang memaksa orang untuk menjalani sterilisasi. Alasan suatu pemerintah menerapkan kebijakan seperti itu dapat bervariasi.[1] Pada paruh pertama abad ke-20, kebanyakan sterilisasi paksa merupakan bagian dari serangkaian kebijakan eugenika untuk membuat kelompok-kelompok penduduk tertentu, yang dianggap memiliki kecacatan genetik, agar tidak memiliki keturunan.[2]

Alasan lainnya bagi sterilisasi paksa di antaranya adalah penanganan jumlah penduduk, diskriminasi jenis kelamin, "penormalan" seperti pada kasus bagi orang interseks, membatasi penyebaran HIV,[1] serta mengendalikan jumlah etnis tertentu—yang merupakan genosida berdasarkan Statuta Roma. Beberapa negara juga memiliki aturan yang memaksa orang transgender untuk menjalani sterilisasi sebelum dokumen mengenai gendernya dapat diubah. Praktik ini disebut sebagai pelanggaran Prinsip-Prinsip Yogyakarta oleh Juan E. Méndez, Pelapor Khusus PBB dalam penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.[3]

Kelompok yang ditarget

sunting

Pada bulan Mei 2014, Organisasi Kesehatan Dunia, OHCHR, UN Women, UNAIDS, UNDP, UNFPA, dan UNICEF menerbitkan pernyataan bersama yang berjudul Eliminating forced, coercive and otherwise involuntary sterilization, An interagency statement. Pernyataan tersebut menyebut laporan mengenai sterilisasi paksa pada beberapa kelompok berikut.

  • Perempuan, terutama pada kebijakan pengendalian paksa jumlah penduduk, perempuan dengan HIV, dan perempuan dari etnis minoritas.
  • Difabel, yang sering kali dianggap tidak melakukan hubungan seks. Perempuan dengan disabilitas intelektual sering kali diperlakukan seakan mereka tidak memiliki hak terhadap organ reproduksinya. Alasan lainnya seperti menyertakan perempuan difabel ke dalam kelompok orang "yang dianggap memiliki kesulitan dalam menangani menstruasi, atau kondisi kesehatannya (seperti epilepsi) atau perilakunya terpengaruh negatif akibat menstruasi."
  • Orang interseks, subjek dari pembedahan pada organ reproduksinya tanpa seizin dirinya, sering kali sebagai upaya "penormalan".
  • Orang transgender, sebagai syarat agar ia dapat mengubah status gendernya pada dokumen pemerintah.

Pernyataan tersebut juga berisi saran dalam pengambilan keputusan tindakan medis agar menyertakan hak otonomi pasien serta memperhatikan tanggung jawab dan diskriminasi.[1]

Sterilisasi paksa sebagai pengendalian jumlah penduduk

sunting

Pengendalian atau perencanaan jumlah penduduk mengatur tingkat pertumbuhan penduduk yang salah satu parameternya adalah kelahiran. Dalam sejarahnya, kebijakan seperti ini dilakukan sebagai respon dari kondisi kemiskinan, tekanan penduduk terhadap lingkungan, ledakan populasi, hingga alasan agama. Pengendalian jumlah penduduk dapat melibatkan penduduk secara langsung dan memberi mereka kendali penuh terhadap tubuh mereka namun beberapa kebijakan telah diterapkan secara paksa.[4]

Pasal 39 dari Konvensi Istanbul melarang sterilisasi paksa.[5] Sterilisasi paksa secara luas atau sistematis dipandang sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional pada bagian penjelasan yang mendefinisikan wewenang Mahkamah Pidana Internasional.[6][7] Pakar hukum, Rebecca Lee, dalam artikelnya di Berkeley Journal of International Law, menyebutkan bahwa (pada tahun 2015) terdapat 21 negara anggota Dewan Eropa yang mensyaratkan surat keterangan telah disterilisasi bagi orang yang ingin mengganti status jenis kelamin/gendernya pada dokumen pemerintah. Lee menyebutkan bahwa mempersyaratkan sterilisasi merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Perjanjian internasional spesifik tentang LGBT kemungkinan dibutuhkan untuk melindungi hak asasi manusia LGBT.[8]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Eliminating forced, coercive and otherwise involuntary sterilization: An interagency statement Diarsipkan 2015-07-11 di Wayback Machine., Organisasi Kesehatan Dunia, Mei 2014.
  2. ^ "Women and Global Human Rights". Webster University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-07. Diakses tanggal 2016-10-29. 
  3. ^ "Report of the Special Rapporteur on Torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment (A/HRC/22/53)" (PDF). Ohchr.org. para. 78. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2016-08-24. Diakses tanggal 2013-10-28. 
  4. ^ "Interact Worldwide Downloads". Interact Worldwide. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-15. 
  5. ^ "Council of Europe Convention on preventing and combating violence against women and domestic violence". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-31. Diakses tanggal 2017-08-07. 
  6. ^ "Dying Alive - A Legal Assessment of Human Rights Violations in Burma" (PDF). 2005. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-01-13. 
  7. ^ "Rome Statute of the International Criminal Court". legal.un.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-19. Diakses tanggal 2012-07-13. 
  8. ^ "Forced Sterilization and Mandatory Divorce: How a Majority of Council of Europe Member States' Laws Regarding Gender Identity Violate the Internationally and Regionally Established Human Rights of Trans* People". 33 (1). Berkeley Journal of International Law. 2015: 114–152. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-08. Diakses tanggal 2016-06-13. Unfortunately, this is not an anomaly: this is the lived experience of trans*people in dozens of countries throughout the world, including the twenty- one Council of Europe (COE) Member States that currently require proof of sterilization to change one’s legal sex categorization. [...] It would be advisable for LGBTQ activists to seriously consider developing LGBTQ-specific international and regional human rights treaties. 

Pranala luar

sunting