Sosiologi Profetik

Sosiologi Profetik secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan Ilmu Sosial yang mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. Sebagai sebuah tawaran, Sosiologi Profetik mulai banyak dikaji. Salah satunya adalah penelitian Husnul Muttaqin, "Menuju Sosiologi Profetik: Telaah Atas Gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dan Relevansinya bagi Pengembangan Sosiologi di Indonesia".

Mendefinisikan Sosiologi Profetik

sunting

Sosiologi Profetik itu dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik (ISP). Untuk pembahasan tentang ISP lihat saja Ilmu Sosial Profetik (klik saja). Dengan demikian dapat digariskan beberapa hal:

  • Pertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian.
  • Kedua, secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.
  • Ketiga, secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi). Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat dengan metodologi sosiologi kritik (teori kritik). Melalui liberasi dan humanisasi sosiologi profetik selaras dengan kepentingan emansipatoris sosiologi kritik. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi sebagai salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan humanisasi.
  • Keempat, sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).

Posisi Paradigmatik Sosiologi Profetik

sunting

Agak susah untuk mendefinisikan posisi paradigmatik Sosiologi Profetik, karena Sosiologi Profetik itu sendiri sesungguhnya masih merupakan sebuah tawaran yang akan dilihat kemungkinannya pada masa depan. Dengan demikian bangunan Sosiologi Profetik itu sendiri masih tampak sangat kabur. Meskipun demikian kiranya penting untuk mencoba menentukan ke mana arah gerak dari Sosiologi Profetik ini pada masa depan.

Jika kita mengikuti pembagian Ritzer, Sosiologi Profetik tampaknya bergerak di antara dua kutub: kutub paradigma fakta sosial dan kutub paradigma definisi sosial. Melalui pandangan dialektis antara structure dan superstructure Sosiologi Profetik agaknya sesuai dengan tiga prinsip dialektika masyarakat yang dikemukakan Peter L. Berger yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.[1] Dengan eksternalisasi, kesadaran itulah yang menggerakkan perilaku sosial untuk membentuk kebudayaan. Dengan internalisasi, basis material ikut menentukan kesadaran. Dengan demikian Sosiologi Profetik mengakui bahwa makna subyektif atau kesadaran (paradigma definisi sosial) dan fakta-fakta obyektif (paradigma fakta sosial), termasuk di antaranya basis material adalah dua hal yang menyebabkan munculnya realitas sebagaimana diungkap Berger dan Thomas Luckmann.[2] Dialektika antara kesadaran dan basis material ini menunjukkan bahwa sosiologi profetik mengakui adanya fakta-fakta sosial yang bersifat eksternal dan koersif (paradigma fakta sosial), sekaligus mengakui adanya makna-makna subyektif (kesadaran) yang dibangun individu dalam proses-proses sosialnya (paradigma definisi sosial).

Sosiologi Profetik juga dekat dengan paradigma teori kritis mazhab Frankfurt. Max Horkheimer mendirikan teori kritis dengan Pertama, teori kritik bersifat historis, artinya dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Teori kritik tidak bermaksud menentukan hukum-hukum universal yang berlaku di segala masa dan tempat. Kedua, teori kritik bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Teori kritik mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri, bukan pada sikap netral. Ketiga, teori kritik memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat, teori kritik itu merupakan teori dengan maksud praktis. Ketidaknetralan teori kritik itu terletak pada pemihakannya pada praksis sejarah tertentu. Pemihakan itu terdapat dalam tujuan teori kritis yaitu pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengolah sendiri kenyataan sosialnya. Dengan demikian, teori kritik hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Jadi teori kritik mengandung muatan utopia tertentu sehingga tidak netral. Teori kritik adalah teori dengan maksud praksis emansipatoris.[3]

Dari pemaparan di atas, tampak bahwa Sosiologi Profetik sesungguhnya memiliki kedekatan secara metodologis dengan teori kritik. Menjadi lebih jelas dengan sendirinya bahwa Sosiologi Profetik, sebagaimana teori kritik, menolak netralitas ilmu pengetahuan sebagaimana dianut dalam positivisme ilmu sosial.

Melalui humanisasi, liberasi dan transendensi, Sosiologi Profetik hendak menegaskan posisinya. Sebagaimana teori kritik, Sosiologi Profetik juga dimaksudkan untuk kepentingan praksis emansipatoris.

Yang menjadikan posisi paradigmatik Sosiologi Profetik menjadi unik adalah bahwa Sosiologi Profetik juga menjadikan transendensi sebagai bagian penting dari unsur pembentuknya. Karena itu, dalam Sosiologi Profetik, nilai-nilai relijiusitas menjadi penting sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban manusia. Transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi, ini artinya proses-proses emansipatoris dalam Sosiologi Profetik diletakkan dalam konteks transendensi.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Berger membahasnya secara panjang lebar dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), alih bahasa Hartono, cet. 1 Jakarta: LP3S, 1991, hlm. 4-23.
  2. ^ Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Garden City, NY.: Anchor Books, 1967, hlm. 18. Baca juga George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), disadur oleh Alimandan, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hlm. 115.
  3. ^ Dikutip dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 58.

Pranala luar

sunting