Soewardi Idris
Soewardi Idris (10 November 1930 – 13 Juli 2004) adalah seorang sastrawan Indonesia modern.
Soewardi Idris | |
---|---|
Lahir | Selayo, Solok, Sumatera Barat, Hindia Belanda | 10 November 1930
Meninggal | 13 Juli 2004 Jakarta | (umur 73)
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Sastrawan |
Nama Soewardi Idris sangat erat hubungannya dengan peristiwa PRRI karena ia hanya menulis satu novel dan novelnya itu bercerita tentang masalah PRRI. Melalui wawancara di Pusat Bahasa tanggal 1 Februari 1999, Soewardi menyatakan bahwa dialah satu-satunya pengarang yang menceritakan masalah PRRI. Dalam berkarya, Soewardi Idris kadang-kadang menggunakan nama samaran seperti R Baginda SI, Essy, dan Swara Iswari. Nama samaran itu ia gunakan ketika menulis bukan dalam bidangnya tujuannya agar pembaca tidak merasa dimonopoli karena saat usia muda itu, semangat menulis Soewardi sangat tinggi.
Kehidupan
suntingIa lahir dari keluarga petani. Ayahnya bernama Idris dengan gelar Datuk Rajo Nan Sati, sedangkan ibunya bernama Raisah. Datuk Bandaro Panjang adalah gelar adat yang dimiliki Soewardi Idris. Ia memang seorang yang memegang teguh adat Minangkabau. Perhatiannya terhadap adat Minangkabau dituangkannya dalam artikel di harian Singgalang 8 Oktober 1999 dengan judul Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau.
Soewardi Idris adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Dari ketujuh bersaudara itu, hanya Soewardilah yang bergelut dengan dunia tulis-menulis. Ia benar-benar merintis kariernya sendiri. Sukses Soewardi Idris dalam hal tulis-menulis itu semata-mata hasil kerja kerasnya.
Soewardi Idris menikah beberapa kali. Istri pertama bernama Rosleni. Bersama Rosleni, Soewardi Idris memiliki tiga orang anak. Karena Rosleni meninggal dunia, Soewardi Idris pun menikah lagi. Perempuan kedua yang dinikahinya itu bernama Rahmah. Dari Rahmah, ia memiliki enam orang anak . Pernikahan Soewardi Idris dengan Rahmah terjadi di hutan karena saat itu Soewardi tengah bergerilya bersama PRRI. Bakat menulis Soewardi Idris menurun pada anaknya, misalnya Purnama Suwardi. Almarhum Purnama bekerja di TVRI sebagai GM Pemberitaan. Dari Isteri ketiga yang berasal dari Sumani, Solok, ia memiliki 3 orang anak. Yang tertua Melodia Idris, sekarang menjadi pelukis ternama di Indonesia.
Istri keempatnya berasal dari Sukabumi - Jawa Barat dan memiliki 3 orang anak. Yang tertua Leon Harita bekerja sebagai Head Technic Department di Sakti Television Network wilayah Surabaya dan Madiun.
Latar Belakang Kesusasteraan
suntingBakat mengarang Soewardi Idris muncul semasa ia mahasiswa. Sebenarnya bakat mengarang Soewardi Idris bukan turunan dari siapapun melainkan ia merintis kariernya sendiri. Meskipun demikian, Rustam Anwar telah berjasa menyuntikkan semangat agar Soewardi Idris mau menulis apa saja, walaupun sedikit yang penting masuk buku HB Jassin. Dari suntikan semangat itu, lahirlah novel yang berjudul Dari Puncak Bukit Talang. Novel itu satu-satunya novel karya Soewardi Idris yang dibahas panjang lebar oleh HB Jassin. Di sisi lain, memang sangat mengagumi HB Jassin karena menurutnya Jassin benar-benar mengabdikan hidupnya untuk sastra. Di samping itu, Soewardi Idris pun mengaku sangat mengagumi karya-karya Kahlil Gibran sehingga dalam berkarya, ia merasakan sangat terpengaruh dengan pesona karya tokoh yang dikaguminya itu bahkan ia pun mengoleksi karya-karya Gibran. Pola hidup Soewardi banyak dipengaruhi oleh konsep pemikiran Gibran seperti cara berpakaian, bekerja, dan merawat anak.[1]
Soewardi Idris pernah menjadi pemimpin redaksi majalah satra "Seriosa" (1954) di Yogya, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Nyata di Padang (1956, redaktur majalah Vista sewaktu pertama kali terbit tahun 60-an, redaktur Mingguan Chas, pemimpin redaksi majalah Monitor, 1973, dll.
Soewardi Idris memiliki banyak koleksi buku. Ia memiliki 2000 eksemplar novel dan buku-buku lainnya. Ia berhadap anak-anaknya memberi perhatian lebih terhadap koleksinya itu. Dalam peta sastra Indonesia Soewardi Idris tergolong dalam kelompok pengarang periode 1953-1961 oleh Ajip Rosidi. Meskipun demikian, sebenarnya Soewardi Idris tidak pernah berhenti berkarya. Karyanya masih muncul dalam berbagai media massa.[2]
Karya-karya
suntingTulisan Soewardi Idris muncul di berbagai majalah dan surat kabar sejak tahun 1953 hingga saat ini. Majalah yang memuat karya Soewardi Idris itu antara lain adalah Gadjah Mada, Fantasia, Mimbar Indonesia, Kisah, Majalah Nasional, Duta Suasana, Brawijaya, Star Weekly, Waktu, Varia, dan Tanah Air. Hingga tahun 1999 tercatat ia telah menulis sebanyak 37 cerpen, satu buah novel, satu buah puisi, satu buah cerita anak, dan 35 pantun serta 13 biografi, 3 buku jurnalistik, 3 buku adat budaya minangkabau, 3 buku sejarah, dan satu buku cerita anak. selain itu, esai-esai sosial budaya dan politik yang ditulisnya juga banyak dimuat di harian Singgalang Padang. Tahun 2008 Penerbit Beranda Yogyakarta menerbitkan dua bukunya, yakni Antologi Cerpen Pergolakan Daerah, Senarai Kisah Pemberontakan PRRI, dan Perjalanan Dalam Kelam. Soewardi Idris meninggal dunia di Jakarta pada 13 Juli 2004.[3]