Perdagangan elektronik sosial
Perdagangan elektronik sosial (bahasa Inggris: social e-commerce, atau sering disebut sebagai social commerce) adalah sebuah aktivitas penjualan produk dan layanan yang dilakukan oleh pedagang dengan memanfaatkan kanal-kanal sosial digital baik melalui daring maupun secara langsung untuk mencapai konsumennya,[1] termasuk di dalamnya menggunakan media sosial,[2] aplikasi obrolan daring[1] dan penjualan langsung lewat aktivitas sosial mereka.[3]
Suatu social commerce umumnya melibatkan sebuah platform yang menyediakan produk-produk yang dapat diakses dan dijualkan oleh pedagang dengan bantuan internet di aplikasi seluler atau situs web, kemudian pedagang akan mencari konsumennya melalui kanal-kanal sosial dan menerima komisi atau upah atas penjualannya.[4][5]
Prinsip-prinsip transaksi yang terjadi di dalam social commerce identik dengan e-commerce, karena melalui platform yang di dalamnya ada pengguna, pilihan produk-produk, dan sistem pembayaran. Perbedaan utamanya adalah pengguna pada social commerce adalah pedagang yang mau menjualnya lagi, bukan konsumen langsung.[5][6]
Ruang Lingkup
suntingSocial commerce mulai bertumbuh menggantikan e-commerce karena adanya kebutuhan yang muncul dalam belanja daring pada konsumen pengguna internet yaitu kurangnya kesadaran akan produk, kurang yakin dalam transaksi daring dan tidak percaya dalam produk yang dijual.[4] Social commerce juga memungkinkan ada rekomendasi dari pedagang langsung, yang merupakan kenalan lainnya yang akhirnya memengaruhi keputusan calon konsumen untuk membelinya.[6] Di dalam konteks bisnis, ada beberapa model social commerce yang sekarang ada untuk mengatasi kebutuhan tersebut:[4][7]
- Reseller Platform: Sebuah model social commerce yang memanfaatkan 3 pilar yaitu reseller, supplier (pemilik produk) dan konsumen.[4] Reseller sebagai individu-individu yang tertarik untuk menjualkan barang ke lingkaran sosial mereka melalui bantuan media sosial atau aplikasi obrolan secara daring maupun langsung. Contoh perusahaan ternama dengan model ini adalah Woobiz dan Evermos di Indonesia.
Peran platform di sini adalah mempertemukan reseller yang sebagai wirausahawan dengan supplier. Reseller berperan besar untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas rasa kesadaran, kurang yakin akan transaki dan rasa percaya karena biasanya reseller tersebut adalah orang yang konsumen kenal dalam lingkungan mereka.[4]
- Media sosial platform: Platform media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok dan WhatsApp memungkinkan pengguna untuk menjadi penjual dengan adanya fungsionalitas dan fitur yang berkaitan langsung dengan penjualan, seperti memasarkan, opsi jual beli, menaikkan produk dan langsung membuat toko.[7]
Pengguna dapat berinteraksi langsung dengan pengguna lain untuk melakukan jual-beli sehingga menimbulkan rasa percaya, namun transaksi yang terjadi dalam media sosial masih terbatas karena terjadi langsung di luar ekosistem platform-platform tersebut.[1]
Referensi
sunting- ^ a b c "The rise and rise of 'social commerce'". Rouse. 2021-09-09. Diakses tanggal 2021-09-22.
- ^ "Social Commerce". Investopedia. 2021-03-21. Diakses tanggal 2021-09-22.
- ^ "Social commerce: The new growth engine in Indonesia ecommerce?". The Low Down. 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-09-22.
- ^ a b c d e "Social: The Next Frontier of E-Commerce". Lightbox Ventures. 2021-01-10. Diakses tanggal 2021-10-03.
- ^ a b "Inilah Perbedaan E-Commerce dan Social Commerce". Evermos. 2021-01-10. Diakses tanggal 2021-09-22.
- ^ a b "Top 3 social commerce business models". Linkedin Pulse. 2021-12-07. Diakses tanggal 2021-09-22.