Siti Bariyah (lahir di Kauman, Yogyakarta tahun 1905 - meninggal tidak diketahui) adalah salah satu murid perempuan K.H. Ahmad Dahlan.[1] Ia merupakan putri dari Lurah Haji Hasyim. Secara khusus, ia diminta oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk belajar di sekolah Belanda.

Riwayat Hidup

sunting

Siti Bariyah merupakan ketua pertama Aisyiyah. Ia lahir pada tahun 1325 H atau 1907 M. Ia merupakan putri dari Lurah Haji Hasyim dan masih bersaudara dengan Ki Bagus Hadikusuma, H.M. Sudja, H. Fachroddin dan Siti Munjiyah. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan nama Bani Hasyim.[2]

Pernikahan

sunting

Siti Bariyah menikah dengan Muhammad Wasim, putra K.H. Ibrahim yang masih merupakan adik Nyai Ahmad Dahlan atau ipar dari K.H. Ahmad Dahlan.[3] Pernikahan endogami merupakan kebiasaan yang lumrah di masyarakat Kauman saat itu. Seperti halnya penduduk Kauman yang lain, Muhammad Wasim juga merupakan pengusaha batik. Usaha ini merupakan warisan dari ayahnya. Oleh karena itu tidak mengeherankan jika Siti Bariyah Wasim juga dikenal sebagai pedagang batik. Siti Bariyah memiliki tiga orang anak yaitu Siti Antaroch, Ichtanon, dan Fuad.

Pendidikan

sunting

Siti Bariyah bersama dengan dua orang perempuan Kauman lainnya, yaitu Siti Wadingah dan Siti Dawimah diperintahkan oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk mengenyam pendidikan di Neutral Meisjes School di Ngupasan.[4] Perintah K.H. Ahmad Dahlan ini ditujukan untuk memberikan perempuan kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal, suatu hal yang sangat langka bagi kaum perempuan pada masa itu. Tidak sedikit yang menentang perbuatan K.H. Ahmad Dahlan ini, namun ia tetap menyekolahkan ketiga perempuan ini di sekolah pemerintah kolonial. Untuk mengimbangi pengaruh dari sekolah kolonial, K.H. Ahmad Dahlan mendidik mereka dalam pengajian Sapa Tresna yang kemudian menjadi Aisyiyah.

Berdakwah Bersama K.H. Ahmad Dahlan

sunting

Siti Bariyah sering diajak oleh KHA Dahlan dalam melakukan dakwah di kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah. Siti Bariyah termasuk salah satu murid yang paling menonjol diantara murid-murid KHA Dahlan bersama dengan Siti Wasilah. Siti Bariyah mahir berbahasa Belanda dan Melayu sementara Siti Wasilah memiliki kemampuan melantunkan ayat-ayat Al Qur’an. Perpaduan diantara keduanya inilah yang dipergunakan oleh KHA Dahlan dalam memulai dakwahnya. Siti Wasilah membacakan ayat Al Qur’an, sementara Siti Bariyah menerjemahkannya dalam bahasa Melayu dan Belanda.[5] Kepandaian berbahasa Siti Bariyah ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakanganya sebagai lulusan sekolah Belanda.

Menjadi Ketua Aisyiyah

sunting

Keterlibatan Siti Bariyah dalam Muhammadiyah dimulai ketika K.H. Ahmad Dahlan mengadakan rapat pembentukan Bagian Aisyiyah (Sapa Tresna) yang dihadiri oleh putri-putri Kauman. Selain K.H. Ahmad Dahlan, turut hadir pula H. Fachrodin, H. Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Wadingsih dan Siti Badilah. Dalam rapat ini diputuskan untuk memilih Siti Bariyah sebagai ketua Bagian Aisyiyah yang pertama.[6] Pemilihan ini didasarkan pada latar belakang Siti Bariyah yang merupakan lulusan Sekolah Netral sehingga dipandang oleh K.H. Ahmad Dahlan memiliki kemampuan organisasi yang mumpuni. Ia menjabat sebagai Ketua Aisyiyah sejak tahun 1917 hingga tahun 1920 dan terpilih lagi tahun 1927. Pada masa kepemimpinan Nyai Ahmad Dahlan, Siti Bariyah dipercaya menjadi wakil ketua.

sunting

Setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat, Muhammadiyah dipimpin oleh K.H. Ibrahim. Pada masa ini, Siti Bariyah dipercaya oleh K.H. Ibrahim untuk merumuskan Tafsir Muhammadiyah yang terbit dengan nomor 09 tahun ke 4 tahun bulan September tahun 1923 dalam artikel “Tafsir Maksoed Muhammadiyah”.[7] Siti Bariyah menulis perbandingan pendidikan Islam khususnya pesantren yang tertinggal kualitasnya jika dibandingkan dengan pendidikan pemerintah kolonial saat itu. Pemikiran ini tentu berkaitan erat dengan pendidikan yang ditempuh oleh Siti Bariyah di Neutral School. Dalam artikel ini, Siti Bariyah menyebutkan bahwa Muhammadiyah didirikan untuk menggembirakan pengajaran dan pelajaran Islam di Hindia Timur. Pendidikan Muhammadiyah memuat ilmu agama dan ilmu umum, hal yang tidak ditemukan dalam pesantren saat itu. Tafsir Siti Bariyah kemudian diurai oleh K.H. Mas Mansur pada masa selanjutnya dengan judul “Tafsir Langkah Muhammadiyah”. Ketrampilan Siti Bariyah menjadi bekal untuk merintis Majalah Suara Aisyiyah yang terbit pertama kali pada tahun 1926.

Akhir Hayat

sunting

Siti Bariyah meninggal di usia yang masih relatif muda. Ia meninggal setelah melahirkan anaknya yang ketiga yaitu Fuad. Setelah ia meninggal, anak-anaknya diasuh oleh Siti Munjiyah yang merupakan kakaknya hingga mereka dewasa.[8]

Rujukan

sunting
  1. ^ Pimpinan Pusat Aisyiyah (t. t.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Aisyiyah, Yogyakarta: Pimpinan Pusat Aisyiyah Seksie Khusus Penerbitan dan Publikasi, hlm. 26.
  2. ^ Lasa H.S., dkk,. (2014). 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah. Hlm. 50.
  3. ^ "Siti Bariyah". Diakses tanggal 27 Mei 2020. 
  4. ^ Sudja’, M., Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan: Catatan Haji Muhammad Sudja’, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018, hlm. 170.
  5. ^ Lasa HS., dkk, (2014). Hlm. 50
  6. ^ Ahmad Adaby Darban, 2011,Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, hlm. 56
  7. ^ Lasa HS., dkk., (2018), Percikan Pemikiran Tokoh Muhammadiyah untuk Indonesia Berkemajuan, Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hlm. 389
  8. ^ Lasa HS., dkk., (2014). Hlm. 51.

Daftar pustaka

sunting

Buku

  • Anshoriy, Muhammad Nasruddin (2010). Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. ISBN 978-602-9703-21-4. 
  • Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. ISBN 978-979-8681-26-4. 
  • Mulkhan, Abdul Munir (2013). Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galang Pustaka. ISBN 978-602-9431-27-8. 
  • Nashir, Haedar, dkk (2010). Profil 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Lembaga Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah. ISBN 978-979-7094-98-0. 
  • Noer, Deliar (1988). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-019-6382-54-8. 
  • Setyowati, Hajar Nur; Mu'arif (2014). Srikandi-Srikandi Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-979-3708-97-3. 
  • Suminto, Husnul Aqib (1985). Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-979-8015-10-6. 

Periksa

  • Anis, Junus (1969). Haji Fachrodin. Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan. 
  • Fauzan, Al (2001). Kitab Tauhid. Jakarta: Yayasan Al-Sofwa. 
  • Hamzah, Amir (1962). Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang Diselenggarakan Oleh Pergerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penyelenggara Publikasi Pembaruan Pendidikan/Pengajaran Islam. 
  • Kartodirdjo, Sartono, dkk (1975). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Kutoyo, Sutrisno (1982/1983). Kyai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 
  • Sudja (1989). Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Pustaka. 
  • Suratmin (1990). Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya. Yogyakarta: PP. Aisyiyah Seksi Khusus Penerbitan dan Publikasi. 
  • Suratmin, dkk (1991). Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 

Jurnal ilmiah