Sifaka bermahkota emas
Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Sifaka bermahkota emas di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
Sifaka bermahkota emas atau sifaka Tattersall (Propithecus tattersalli) adalah seekor lemur berukuran menengah yang dikarakteristikan dengan bulu yang sebagian besar putih, kuping berbulu, dan bermahkota jingga keemasan. Hewan tersebut adalah salah satu dari sifaka terkecil (genus Propithecus), memiliki berat sekitar 35 kg (77 pon) dan ukuran sekitar 90 cm (35 in) dari kepala ke ekor. Seperti seluruh sifaka, hewan tersebut gemar melompat dan memanjat vertikal, dan pola makannya kebanyakan meliputi biji-bijian dan dedaunan. Sifaka bermahkota emas mengambil nama dari penemunya, Ian Tattersall, yang pertama kali menyebut spesies tersebut pada 1974. Namun, hewan tersebut belum resmi dideskripsikan sampai 1988, setelah sebuah tim riset pimpinan Elwyn L. Simons mengamati dan menangkap beberapa spesies untuk pembuahan buatan. Sifaka bermahkota emas sangat dekat dengan para sifaka hutan barat dari kelompok P. verreauxi, sehingga kartiotipenya dianggap memiliki hubungan dekat dengan kelompok P. diadema dari sifaka hutan timur. Disamping kesamaaannya dengan dua kelompok tersebut, studi-studi terkini dari kariotipenya mendukung klasifikasinya sebagai spesies berbeda.
Sifaka bermahkota emas
| |
---|---|
Propithecus tattersalli | |
Status konservasi | |
Terancam kritis | |
IUCN | 18352 |
Taksonomi | |
Filum | Chordata |
Kelas | Mammalia |
Ordo | Primates |
Famili | Indriidae |
Genus | Propithecus |
Spesies | Propithecus tattersalli Elwyn L. Simons, 1988 |
Distribusi | |
Endemik | Madagaskar |
Ditemukan di hutan galeri, gugur daun, dan semi-hijau, persebaran terbatasnya meliputi 44 fragmen hutan, dengan total luas 44,125 hektare (109,04 ekar; 0,17037 sq mi), yang terpusat di kota Daraina, timur laut Madagaskar. Perkiraan populasinya adalah 18,000 ekor. Hewan tersebut biasanya aktif di siang hari, meskipun juga aktif saat fajar dan senja pada musim hujan. Hewan tersebut tidur di pohon-pohon tinggi dan dimangsa oleh fossa. Sifaka bermahkota emas hidup dalam kelompok-kelompok yang berjumlah sekitar lima sampai enam ekor, yang terdiri dari jumlah berimbang dari pejantan dan betina dewasa. Bau dipakai untuk menandai wilayah, yang mempertahankan diri dengan menggeram, mengejar, dan menampilkan lompatan ritualistik. Reproduksi bersifat musiman, dengan kehamilan berlangsung selama enam bulan dan penyusuan berlangsung selama lima bulan.. Bayi-bayi melakukan penyapihan pada musim basah untuk membuat keputusan terbaik dari pertahanan hidup.
Persebaran kecil dan populasi terfragmentasi dari spesies tersebut sangat memberatkan pertahanan hidupnya. Fragmentasi hutan, penghancuran habitat, perburuan liar, perladangan, dan faktor manusia lainnya yang mengancam keberadaannya. Sifaka bermahkota emas didaftarkan oleh IUCN Red List sebagai Terancam Kritis. Wilayah persebarannya aslinya tak meliputi taman nasional atau kawasan lindung apapun di Madagaskar, meskipun sebuah kawasan lindung baru didirikan pada 2005 yang meliputi wilayah seluas 20,000 ha (49,42 ekar; 0,07722 sq mi). Upaya-upaya dilakukan untuk menjaga sifaka bermahkota emas di Duke Lemur Center, Durham, North Carolina. Koloni kecil dihimpun dari 1988 sampai 2008. Di Madagaskar, ketiadaan perlindungan hukum yang diakibatkan dari kudeta politik 2009 berujung pada peningkatan perburuan spesies tersebut, dan beberapa dijual ke restoran-restoran lokal sebagai santapan.
Taksonomi dan filogeni
suntingSifaka bermahkota emas atau Tattersall (Propithecus tattersalli), yang oleh warga lokal dikenal sebagai ankomba malandy (atau akomba malandy, artinya "lemur putih"),[1][2][3] ditemukan pada 1974 di utara Vohemar, timur laut Madagaskar oleh Ian Tattersall, yang mengamati namun tak menangkap hewan tersebut.[1][2] Tanpa mengetahui klasifikasinya, Tattersall menganggapnya sebagai sebuah varian dari sifaka berbulu sutra dalam buku tahun 1982 buatannya, The Primates of Madagascar,[1][4] mengutip rambutnya yang kebanyakan berwarna putih sampai kekuningan, selain juga menyebut bagian mahkota jingga tak terkarakteristiknya dan telinganya yang terumbai.[2] Digerakkan oleh sebuah laporan pada 1986 bahwa hutan dimana sifaka unit yang diamati Tattersall tersebut terganggu oleh penggundulan hutan untuk produksi arang, sebuah tim riset dari Duke Lemur Center, pimpinan Elwyn L. Simons, meraih ijin untuk menangkap spesimen-spesimen untuk program pembuahan tangkapan.[2] Simons dan timnya adalah orang pertama yang menangkap dan mengamati sifaka bermahkota emas,[5] secara resmi mendeskripsikannya sebagai spesies baru pada 1988 dan menamakannya dalam menghormati Tattersall.[1][2] Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di wilayah yang berjarak 6 hingga 7 km (3,7 hingga 4,3 mi) dari timur laut Daraina, sebuah desa di wilayah timur laut Madagaskar.[2][6]
Terdapa kajian yang berseberangan terkait status taksonomi dari sifaka bermahkota emas.[7] Saat dideskripsikan oleh Simons pada 1988, ukuran, vokalisasi dan keriotipe (jumlah dan tampilan kromosom) berbanding dengan sifaka lainnya. Dalam hal ukuran, morfologi umum, dan vokalisasi, sifaka bermahkota emas lebih mendekati sifaka hutan barat (dikenal sebagai kelompok P. verreauxi) dalam hal bahwa hewan tersebut memiliki ukuran dan massa yang kecil. Namun, kariotipenya lebih mirip sifaka hutan timur (dikenal sebagai kelompok P. diadema).[2][8] Sifaka bermahkota emas memiliki 42 kromosom (2n=42), 16 diantaranya adalah pasangan otosomal (bukan kromosom seks) yang merupakan meta- atau submetasentris (dimana lengan kromosom masing-masing memiliki panjang setara atau tak setara). Pasangan-pasangan otosomal lainnya berukuran lebih kecil dan bersifat aktrosentris (dengan lengan kromosom yang lebih pendek yang sulit untuk diamati). Kromosom Xnya bersifat metasentris, yang menyamai milik kelompok P. diadema, bukan kelompok P. verreauxi.[5][7] Informasi yang diberikan berseberangan, isolasi geografinya, serta kuncung panjang unik pada telinganya—sebuah sifat yang tak dimiliki sifaka lainnya—membuar sifaka bermahkota emas dianggap sebagai spesies berbeda.[2][5][8]
Pada 1997, perbandingan tampilan DNA berulang dalam keluarga Indriidae mendukung klasifikasi Simon, menempatkan sifaka bermahkota emas sebagai grup saudari dari sifaka lainnya.[7][9] Pada 2001, sebuah kajian yang melibatkan DNA mitokondria mensugestikan persamaan paling terkini antara spesies tersebut dan sifaka Coquerel, yang kemudian dianggap subspesies grup P. verreauxi. Jika ini benar, sifaka bermahkota emas tak akan memiliki status spesies tunggal dan akan menjadi subklad dari sifaka Coquerel dalam kelompok P. verreauxi.[7][8][10] Pada 2004, sebuah kajian komparatif dari kariotipe tiga spesies sifaka tradisional memberikan sorotan pada aransemen kromosomal dari seluruh tiga grup tersebut. Kajian tersebut menemukan bahwa sifaka bermahkota emas berbeda dari kelompok P. verreauxi dan P. diadema masing-masing oleh 9 dan 17 rearansemen kromosomal, dan sifaka bermahkota emas dinyatakan merupakan spesies terpisah dan lebih berkaitan dengan kelompok P. verreauxi.[5] Yang paling terkini, dalam kajian kraniodental (tengkorak dan gigi) tahun 2007 menunjukkan bukti untuk 9 atau 10 spesies sifaka berbeda, termasuk sifaka bermahkota emas. Kajian tersebut juga menempatkan sifaka bermahkota emas dalam kelompok P. verreauxi.[11]
Anatomi dan fisiologi
suntingSifaka bermahkota emas adalah salah satu spesies sifaka terkecil dengan massa 34 hingga 36 kg (75 hingga 79 pon), panjang kepala-badan 45 hingga 47 cm (18 hingga 19 in), panjang ekor 42 hingga 47 cm (17 hingga 19 in), dan total panjang 87 hingga 94 cm (34 hingga 37 in).[1][12][13] Spesies tersebut memiliki ukuran yang sebanding dengan sifaka-sifaka yang hidup di hutan kering selatan dan barat, seperti sifaka Coquerel, sifaka bermahkota, sifaka Von der Decken, dan sifaka Verreaux. Hewan tersebut memiliki rambut yang relatif panjang, berwarna putih krim dengan corak emas, hitam tua atau kecoklatan di bagian leher dan tenggorokannya, rambut jingga pucat di bagian atas lutut dan lengannya, ekor dan paha putih, dan mahkota berwarna jingga keemasan.[1] Spesies tersebut adalah satu-satunya sifaka dengan rambut putih yang menutupi telinganya,[8] membuat kepalanya tampak berbentuk segitiga dan berpenampilan khas.[12] Matanya berwarna jingga, dan wajahnya berwarna hitam dan sebagian besar tak berrambut,[1] dengan rambut abu-abu tua dengan rambut putih terbentang dari mata ke pipi.[12] Moncongnya tumpul dan bundar, dan hidung besarnya membantu membedakannya dari sifaka lainnya. Terkadang, jembatan hidung akan memiliki wadah berrambut putih. Mirip dengan sifaka lainnya, hewan arboreal tersebut memiliki lutut yang kuat dan panjang yang membolehkannya memanjang dan melompat antar batang dan dahan pohon.[1]
Persebaran geografi dan habitat
suntingSifaka bermahkota emas tinggal di hutan gugur daun, galeri, dan semi-hijau dan ditemukan di ketinggian 500 m (1.640 ft), meskipun hewan tersebut tampak di ketinggian yang lebih rendah.[13][12] Survei-survei menunjukkan bahw hewan tersebut hanya terdapat di hutan yang sangat terfragmenter di sekitaran kota Daraina di sebuah wilayah yang dikelilingi oleh sungai-sungai Loky dan Manambato di timur laut Madagaskar.[13] Sifaka bermahkota emas memiliki salah satu persebaran geografi terkecil dari seluruh spesies lemur indriid.[1][14] Dari 75 fragmen hutan yang dikaji oleh para peneliti, keberadaannya secara definitif hanya dilaporkan di 44 hutan, dengan luas 44,125 ha (109,04 ekar; 0,17037 sq mi). Diterbitkan pada 2002, kajian tersebut juga memperkirakan total populasi spesies tersebut dan mengamati kepadatan populasinya, Ukuran persebaran tempat tinggal beragam antara 018 dan 029 km2 (6,9 dan 11,2 sq mi) per kelompok. Dengan rata-rata ukuran kelompok dari lima ekor, kepadatan populasinya berjumlah antara 17 dan 28 ekor per km2.[13] Perkiraan ukuran persebaran tempat tinggal lainnya yang seluas 009 hingga 012 km2 (3,5 hingga 4,6 sq mi) juga disugestikan dengan rangkaian kepadatan populasi 10 dan 23 ekor per km2.[1] Kawasan berhutan yang tersedia untuk spesies tersebut dalam rangkaian pertumbuhan yang diinginkan diperkirakan seluas 360 km2 (140 sq mi), yang mendiami populasi sekitar 6,120–10,080 dan populasi pembuahan antara 2,520 dan 3,960 ekor.[13] Namun, sebuah kajian yang terbit pada 2010 memaki data transek garis dari 2006 dan 2008 di lima fragmen hutan besar didiami populasi sekitar 18,000 ekor.[15]
Spesies tersebut bersifat simpatrik (tinggal bersama) dengan dua lemur berukuran menengah lainnya: lemur cokelat Sanford (Eulemur sanfordii) dan lemur bermahkota (Eulemur coronatus).[16][17]
Perilaku
suntingSifaka bermahkota emas biasanya aktif pada siang hari (diurnal), tetapi para peneliti menyaksikan kegiatannya pada saat fajar dan senja (krepuskular) pada musim hujan (November sampai April).[1][12] Dalam penangkapan, hewan tersebut terlihat makan di malam hari, tak seperti sifaka Verreaux yang ditangkap.[3] Hewan tersebut dapat bergerak antara 4.617 dan 1.077 m (15.148 dan 3.533 ft) per hari, persebaran intermediasinya sebanding dengan sifaka lainnya dari hutan timur.[6] Sifaka bermahkota emas dapat terlihat sering makan dan tidur di bagian kanopi saat musim kering (Mei sampaio Oktober).[18][13] Hewan tersebut tidur di pohon-pohon tinggi di hutan pada malam hari.[12]
Saat tertekan, sifaka bermahkota emas mengeluarkan suara "churrs" berulang kali yang kemudian disertai dengan suara "whinney" beramplitudo tinggi.[2] Predator tanahnya panggilan alarm, yang bersuara seperti "shē-fäk",[2][12] sangat mengingatkan pada sifaka Verreaux.[2][8] Hean tersebut juga mengeluarkan panggilan alarm intimidasi dalam menghadapi burung-burung pemangsa.[6][12]
Diet
suntingDiet sifaka bermahkota emas terdiri dari sejumlah besar tumbuhan—sekitar 80 spesies—yang tersedia secara beragam berdasarkan pada musimnya.[17] Hewan tersebut adalah predator biji, menjadikan biji sebagai santapan sepanjang setahui dalam dietnya saat tersedia.[17][18] Sifaka bermahkota emas juga menyantap buah mentah, bunga, dan daun. Sebuah kajian menunjukkan komposisi dietnya meliputi 37% buah mentah dan biji, 22% daun muda, 17% daun tua, 13% bunga, dan 9% daging buah.[18] Hewan tersebut juga menyantap kulit pohon pada musim kering.[1][12] Secara umum, sekitar 60% dietnya terdiri dari buah mentah dan biji, terutama dari tumbuhan Fabaceae, dan kurang dari 50% terdiri dari dedaunan.[17] Di Daraina, hewan tersebut terlihat menyantap pohon sakoa (Poupartia caffra) dan pohon mangga.[3] Daun muda dan bunga disantap saat tersedia, pada awal musim hujan. Jarak perjalanan harian meningkat saat daun muda tersedia.[12][18] Kajian-kajian juga menunjukkan bahwa saat distrubusi makanan sedang menyusut, waktu makan diperpendek dan lebih banyak waktu dijalankan untuk melakukan perjalanan. Keragaman diet yang ditunjukkan konsisten antar populasi, mensugestikan bahwa hewan tersebut berpengaruh karena lemur mengambil berbagai campuran nutrien untuk melindungi diri sendiri dari racun tumbuhan spesifik berkadar tinggi.[17]
Sebuah kajian pada tahun 1993 menunjukkan variabilitas dan fleksibilitas dalam preferensi santapan antara tiga tempat riset di sekitaran Daraina. Preferensi spesies tumbuhan (diukur dalam waktu santap) berubah antar hutan basah, menengah, dan kering:[6][18]
Tempat basah | Tempat menengah | Tempat kering | |
---|---|---|---|
Keluarga tumbuhan kesukaan | Fabaceae Sapindaceae Anacardiaceae Myrtaceae Annonaceae |
Fabaceae Anacardiaceae Olacaceae Araliaceae Malvaceae |
Fabaceae Sapindaceae Anacardiaceae Ebenaceae Combretaceae |
Spesies tumbuhan kesukaan | Cynometra sp. (Fabaceae) Filicium longifolium (Sapindaceae) Eugenia sp. (Myrtaceae) Cordyla madagascariensis (Fabaceae) Xylopia flexuosa (Annonaceae) |
Cynometra sp. (Fabaceae) Baudouinia fluggeiformis (Fabaceae) Albizia boivini (Fabaceae) Pongamiopsis sp. (Fabaceae) Olax lanceolata (Olacaceae) |
Pongamiopsis cloiselli (Fabaceae) Diospyros lokohensis (Ebenaceae) Terminalia sp. 1 (Combretaceae) Erythrophysa belini (Sapindaceae) Tamarindus indica (Fabaceae) |
Organisasi sosial
suntingStruktur sosial sifaka bermahkota emas sangat mirip dengan sifaka Verreaux, keduanya rata-rata memiliki antara lima dan enam ekor per kelompok, dengan persebaran antara tiga dan sepuluh.[6][13][17] Tak seperti sifaka Verreaux, sex ratio kelompok lebih berimbang,[4] terdiri dari dua anggota atau lebih dari kedua jenis kelamin.[12][17] Betina bersifat dominan dalam kelompok tersebut,[17] dan hanya satu pembuahan betina yang sukses pada setiap musim. Para pejantan akan bertemu antar kelompok saat musim kawin.[12]
Karena persebaran tempat tinggal yang lebih kecil ketimbang sifaka lainnya, pertemuan kelompok menjadi lebih umum, terjadi beberapa kali sebulan.[6] Temperamen sifaka bermahkota emas dikatakan lebih volatil ketimbang spesies sifaka lainnya dan, dalam kasus yang dipersengketakan, hewan tersebut memiliki vokalisasi di permukaan tanah yang tampak memberikan sinyal.[2] Interaksi agresif antar kelompok umumnya bersifat non-fisik namun meliputi penambahan kenyaringan, pemarkahan teritorial, pengejaran, dan lompatan ritualistik.[6][19] Hubungan antar sesama jenis kebanyakan lebih agresif terhadap satu sama lain pada peristiwa semacam itu.[6] Pemarkahan wilayah adalah bentuk paling umum dari pertahanan teritorial, dengan markah wilayah dijadikan sebagai "pos-pos sinyal" untuk mendemarkasikan perbatasan teritorial.[6][13] Para betina berkelenjar di wilayah genital ("anogenital") sementara para pejantan memakai kelenjar anogenital dan dada.[6]
Reproduksi
suntingSifaka bermahkota emas adalah pembuah musiman, sering kali kawin pada pekan akhir Januari.[1][18] Masa kandungannya berlangsung kurang dari enam bulan, dan masa penyusuannya berlangsung selama lima bulan. Riset mengindikasikan bahwa reproduksi secara strategis berhubungan dengan musim di hutan.[18] Masa kandungan dimulai pada paruh akhir musim hujan (akhir Januari),[18] dan berlanjut selama sekitar 170 hari.[12] Lahir mati terjadi pada pertengahan musim kering (akhir Juni atau Juli).[1][18] Masa penyusuan terjadi pada pertengahan musim hujan, pada bulan Desember, saat daun-daun muda tersedia.[1][18] Masa reproduksi semacam itu dipandang dilakukan untuk mengembangkan kandungan protein dari daun-daun muda untuk ibu dan anak pada akhir masa penyusuan.[18]
Para betina bereproduksi sekali setiap dua tahun. Para bayi lahir dengan rambut pendek dan awalnya bernaung di parut ibu mereka. Saat mereka dewasa, mereka mulai bergerak ke punggungnya. Setelah penyusuan, pergerakan ke punggung hanya berlangsung selama jangka pendek, terutama saat kelompok tersebut menyadari keberadaan predator. Pada usia satu tahun, para remaja memiliki 70% berat tubuh dewasa penuh mereka.[12] Kematian bayi memiliki angka yang tinggi pada spesies tersebut.[20] Saat mencapai kedewasaan seksual, pejantan meninggalkan kelompok dimana mereka dilahirkan dan berpindah ke kelompok sosial tetangga.[4] Pengamatan dari para peneliti dan laporan dari masyarakat lokal mengindikasikan bahwa spesies tersebut akan lompat ke tanah dan melintasi lebih dari 200 m (660 ft) wilayah berrumput untuk mencapai wilayah hutan terdekat. Ini mensugestikan bahwa fragmentasi htuan tak sepenuhnya mengisolasi populasi yang terpisah.[13]
Predator dan parasit
suntingSatu-satunya predator yang diketahui mentargetkan spesies tersebut adalah fossa, meskipun sifaka bermahkota emas dapat bereaksi terhadap keberadaan burung pemangsa dengan panggilan alarm.[6][12] Sebuah kajian hematologi dan kimia serum yang diterbitkan pada tahun 1995 menyatakan bahwa 59% sifaka bermahkota emas terinfeksi dengan parasit mikrofilarial, sebuah spesies nematoda yang secara potensial tak diketahui dalam genus Mansonella.[20][21][22] Hewan-hewan yang terinfeksi namun tampak sehat tak tampak mengalami laju dampak dari infeksi, tetapi efek secara keseluruhan pada populasi masih tak diketahui.[20] Selain itu, tak ada malaria atau parasit intenstinal ditemukan, meskipun 48% sifaka bermahkota emas yang diuji memiliki tungau-tungau telinga di bagian luar.[21]
Interaksi manusia
suntingSelain menghadapi beberapa ancaman biologi, seperti pemangsa, sifaka bermahkota emas menghadapi beberapa ancaman signifikan yang disebabkan oleh manusia (antropogenik). Habitatnya sangat terfragmentasi, dengan wilayah-wilayah hutan terisolasi oleh wilayah berrumput yang sangat terdegradasi.[23] Pada 1985, sekitar 34% hutan hujan timur pulau tersebut telah lenyap, dan dengan ekstrapolasi, diprediksi bahwa tingkat penggundulan hutan akan membuat semua hutan hujan timur menjadi lenyap pada 2020.[6] Penebangan penebangan ilegal, peladangan (dikenal sebagai tavy), kebakaran hutan tak terkendali, pertambangan emas, perburuan, dan pembersihan lahan untuk pemakaian pertanian semuanya secara signifikan berkontribusi pada penggundulan hutan signifikan yang terjadi di Madagaskar dan penurunan habitat layak terkini untuk spesies tersebut.[13]
Para petani Madagaskar masih memakai api untuk membuat lahan pertanian dan peternakan untuk hewan ternak, mempromosikan pertumbuhan rumput meskipun menghiraukan penanaman kembali hutan. Kebakaran terkadang berada di luar kontrol dan menghancurkan wilayah-wilayah hutan bersama dengan flora alami, meningkatkan kerusakan bahkan melebihi yang ditujukan.[13] Karena alam geologi dan tanah Madagaskar, tavy juga menurunkan fertilitas tanah, mempengaruhi tingkat rotasi tanaman dan menimbilkan perluasan hutan-hutan primer.[23]
Meskipun batubara merupakan bahan bakar memasak umum dari masyarakat Madagaskar, sumber energi berpengaruh dan paling menonjolnya adalah kayu, yang dikenal sebagai kitay. Kayu juga dipakai sebagai bahan bangunan utama, yang hanya menambahkan penggundulan pohon-pohon di hutan. Dengan penurunan pohon mati dari wilayah hutan, masyarakat mulai memakai pohon muda dan sehat. Ini tampak sangat umum di wilayah dekat desa. Meskipun bentuk dan ukuran fragmen hutan di sekitaran wilayah Daraina kebanyakan stabil untuk 50 tahun sebelum sebuah kajian pada 2002, enam tahun sebelum kajian yang menyatakan bahwa 5% fragmen hutan ukuran kecil sampai menengah telah lenyap akibat peningkatan penebangan manusia.[13]
Sebuah ancaman baru yang dihadapi sifaka bermahkota emas adalah perburuan oleh para penambang emas yang bergerak ke hutan di wilayah tersebut.[1][3] Meskipun operasi pertambangan berskala kecil, praktek pertambangan emas menggunduli kawasan berhutan karena lubang-lubang pertambangan yang dalam sering kali dibuat di dekat atau di dalam hutan-hutan besar, mengganggu sistem akar ekstensif dan membunuh pohon-pohon di kawasan tersebut.[13] Kedatangan para penambang emas juga meningkatkan tekanan perburuan. Meskipun spesies tersebut dilindungi dari perburuan oleh fady (ketabuan) lokal di sekitaran Daraina, karena rasa kesukaan mereka terhadap manusia, dan oleh hukum Madagaskar,[3][20] para penambang emas yang berimigrasi ke wilayah tersebut mulai berburu sifaka bermahkota emas sebagai sumber daging semak.[1] Pada 1993, David M. Meyers, seorang peneliti yang mengkaji sifaka bermahkota emas, menyatakan bahwa perburuan daging semak meningkat, spesies tersebut akan punah kurang dari sepuluh tahun karena hewan tersebut mudah ditemukan dan tak takut dengan manusia.[20] Meskipun demikian, perburuan daging semak oleh masyarakat dari dekat Ambilobe terjadi setidaknya di satu populasi terisolasi.[14]
Konservasi
suntingKarena kajian-kajian menunjukkan bahwa sifaka bermahkota emas tampaknya banyak ditemukan di fragmen hutan besar (lebih dari 1.000 ha (2.500 ekar; 3,9 sq mi)), spesies tersebut dianggap sensitif terhadap penggundulan dan fragmentasi hutan. Namun, sejak hewan tersebut ditemukan di sekitaran kamp pertambangan emas dan hutan yang digunduli, hewan tersebut tak terbatas pada hutan yang tak terganggu dan tampak mentoleransikan kegiatan manusia.[13] Meskipun demikian, dengan populasi rendahnya, persebaran yang sangat terbatas, dan habitat yang sangat terfragmentasi, kemungkinan pertahanan hidup sifaka bermahkota emas dianggap terancam.[4] Untuk alasan tersebut, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menambahkannya pada daftar 25 primata paling terancam buatannya pada 2000.[24] Sebelumnya, pada 1992, Species Survival Commission (IUCN/SSC) Primate Specialist Group dari IUCN juga memberikan rating prioritas tertingginya kepada spesies tersebut.[13] Pada pernyataan tahun 2014 buatannya, sifaka bermahktoa emas kembali dinyatakan "terancam kritis" di IUCN Red List. Ini adalah pembaharuan dari tahun 2008 saat spesies tersebut didaftarkan sebagai Terancam. Pada pernyataan sebelumnya, spesies tersebut dinyatakan sebagai Terancam Kritis (1996 dan 2000) dan Terancam (1990 dan 1994).[25]
Wilayah yang ditinggali oleh sifaka bermahkota emas juga merupakan sumber daya pertanian dan ekonomi berpengaruh untuk populasi manusia.[26] Tindakan konservasi tersugesti ditujukan untuk melindungi spesies tersebut dan habitatnya telah difokuskan pada penawarkan berbagai tingkat perlindungan untuk fragmen-fragmen hutan di kawasan tersebut, membolehkan kegiatan manusia dan pengambilan sumber daya di wilayah yang kurang berpotensi konservasi meskipun sangat melindungi wilayah yang kritis terhadap pertahanan hidup spesies tersebut. Pada 2002, tak ada wilayah berhutan dimana sifaka bermahkota emas tinggal yang menjadi bagian dari taman nasional atau cagar alam yang resmi dilindungi.[13] Sebuah kajian konservasi dari tahun 1989 menyerukan pembuatan taman nasional yang meliputi hutan Binara serta hutan kering di utara Daraina.[26] Kajian terkini dari tahun 2002 mengusulkan jaringan wilayah hutan lnding di luar desa Daraina, hutan-hutan utara Sungai Monambato, dan hutan-hutan utara yang meliputi reservoir utara dari spesies tersebut.[13] Pada 2005, Fanamby, sebuah organisasi non-pemerintah Madagaskar, bersepakat dengan Conservation International untuk membuat kawasan lindung seluas 20,000-hektare (49,42-ekar; 0,07722 sq mi) yang diurus oleh Association Fanamby dan Kementerian Air dan Kehutanan.[1] Pada 2008, hany sepuluh wilayah hutan yang dapat mendukung populasi yang tersisa, menurut IUCN.[25]
Satu-satunya populasi sifaka bermahkota emas yang tertangkap terwakili dalam koleksi zoologi.[25] Badan pencatatan populasi sifaka Verreaux yang tertangkap, Duke Lemur Center (DLC) di Durham, Carolina Utara, meminta dan diberi ijin dari pemerintah Madagaskar untuk menangkap dan mengekspor spesies tak diketahui (pada saat itu) untuk pembuahan tangkapan. Rencana juga dibuat untuk mendirikan program pembuahan tangkapan di Stasiun Kehutanan Ivoloina, yang sekarang disebut sebagai Parc Ivoloina. Pada November 1987, pada ekspedisi yang sama yang menghasilkan deskripsi formal dari spesies tersebut, dua pejantan dan dua betina ditangkap dan diukur. Lima ekor lainnya juga ditangkap, tetapi dilepaskan karena mereka adalah pejantan remaja.[2] Pada Juli 1988, seekor sifaka bermahkota emas lahir di penangkapan di DLC.[3] Namun, populasi tangkapan berjumlah kecil dan tak mengalami pembuahan jangka panjang,[14][27] dan sifaka-sifaka tangkapan sulit untuk melakukannya karena kebutuhan santapan khusus mereka.[27] Sifaka tangkapan terakhir mati pada 2008. Meskipun kehilangan koloni kecilnya setelah 20 tahun, DLC meyakini bahwa penghimpunan populasi tangkapan untuk keperluan pembuahan tangkapan berorientasi konservasi dapat menunjang tingkat perlindungan penting kedua, terutama jika perlindungan habitat mengalami kegagalan.[28]
Dampak krisis politik 2009
suntingAkibat krisis politik yang dimulai pada 2009 dan kejatuhan hukum dan tatanan di Madagaskar, para pemburu memburu lemur-lemur di wilayah Daraina dan menjualnya ke restoran-restoran lokal sebagai hidangan. Gambar-gambar lemur mati yang telah diasapi untuk dibawa diambil oleh Fanamby dan dirilis oleh Conservation International pada Agustus 2009. Para lemur di foto-foto tersebut meliputi sifaka bermahkota emas yang terancam, serta lemur-lemur bermahkota.[29] Pada sekitaran waktu saat foto-foto tersebut dirilis, 15 orang ditangkap karena menjual lemur asap, yang didapat dari pemburu dengan harga 1,000 ariary, atau sekitar US$0.53, dan kemudian dijual ke restoran-restoran untuk 8,000 ariary (US$4.20).[29][30] Russell Mittermeier, presiden Conservation International, berkata bahwa penangkapan tak akan mengakhiri perburuan karena para pemburu "hanya akan mendapat tamparan di telapak tangan".[30]
Referensi
sunting- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Mittermeier et al. 2006, hlm. 373–375.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Simons, E.L. (1988). "A new species of Propithecus (Primates) from northeast Madagascar". Folia Primatologica. 50 (1–2): 143–151. doi:10.1159/000156340. PMID 3148530.
- ^ a b c d e f Harcourt 1990, hlm. 210–213.
- ^ a b c d Richard 2003, hlm. 1345–1348.
- ^ a b c d Rumpler, Y.; Andriaholinirina, N.; Warter, S.; Hauwy, M.; Rabarivola, C. (2004). "Phylogenic history of the sifakas (Propithecus: Lemuriformes) derived from cytogenetic studies". Chromosome Research. 12 (5): 453–463. doi:10.1023/B:CHRO.0000034738.18012.05. PMID 15252241.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Irwin 2006, hlm. 305–326.
- ^ a b c d Mayor, M.I.; Sommer, J.A.; Houck, M.L.; Zaonarivelo, J.R.; Wright, P.C.; Ingram, C.; Engel, S.R.; Louis Jr., E.E. (2004). "Specific Status of Propithecus spp". International Journal of Primatology. 25 (4): 875–900. doi:10.1023/B:IJOP.0000029127.31190.e9.
- ^ a b c d e Pastorini, J.; Forstner, M.R.J.; Martin, R.D. (2001). "Phylogenic history of sifakas (Propithecus: Lemuriformes) derived from mtDNA sequences". American Journal of Primatology. 53 (1): 1–17. doi:10.1002/1098-2345(200101)53:1<1::AID-AJP1>3.0.CO;2-J. PMID 11195201.
- ^ Razafindraibe, H.; Montagnon, D.; Rumpler, Y. (1997). "Phylogenetic relationships among Indriidae (Primates, Strepsirrhini) inferred from highly repeated DNA band patterns". Comptes rendus de l'Académie des sciences. 320: 469–475. doi:10.1016/s0764-4469(97)81974-9.
- ^ Yoder 2003, hlm. 1242–1247.
- ^ Groves, C.P.; Helgen, K.M. (2007). "Craniodental characters in the taxonomy of Propithecus" (PDF). International Journal of Primatology. 28 (6): 1363–1383. doi:10.1007/s10764-007-9226-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-02-27. Diakses tanggal 2018-08-27.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o Garbutt 2007, hlm. 176–204.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Vargas, A.; Jimenez, I.; Palomares, F.; Palacios, M.J. (2002). "Distribution, status, and conservation needs of the golden-crowned sifaka (Propithecus tattersalli)". Biological Conservation. 108 (3): 325–334. doi:10.1016/S0006-3207(02)00117-9.
- ^ a b c Simons 1997, hlm. 142–166.
- ^ Quéméré, E.; Champeau, J.; Besolo, A.; Rasolondraibe, E.; Rabarivola, C.; Crouau-Roy, B.; Chikhi, L. (2010). "Spatial variation in density and total size estimates in fragmented primate populations: The golden-crowned sifaka (Propithecus tattersalli)". American Journal of Primatology. 72 (1): 72–80. doi:10.1002/ajp.20754. PMID 19830745.
- ^ Mittermeier et al. 2006, hlm. 270–271.
- ^ a b c d e f g h Sussman 2003, hlm. 190–192.
- ^ a b c d e f g h i j k l Meyers & Wright 1993, hlm. 179–192.
- ^ Nowak 1999, hlm. 86–89.
- ^ a b c d e Meyers, D.M. (1993). "Conservation status of the Golden-crowned Sifaka, Propithecus tattersalli" (PDF). Lemur News. 1 (1): 6–8. ISSN 0343-3528. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 23 July 2011. Diakses tanggal 2 June 2010.
- ^ a b Garell, D.M.; Meyers, D.M. (1995). "Hematology and serum chemistry values for free-ranging Golden Crowned Sifaka (Propithecus tattersalli)". Journal of Zoo and Wildlife Medicine. 26 (3): 382–386. ISSN 1042-7260. JSTOR 20095494.
- ^ Irwin, M.T.; Raharison, J.-L. (2009). "A review of the endoparasites of the lemurs of Madagascar" (PDF). Malagasy Nature. 2: 66–93.[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b Mittermeier et al. 2006, hlm. 52–84.
- ^ Mittermeier, R.A.; Konstant, W.R.; Rylands, A.B. (2000). "The World's Top 25 Most Endangered Primates" (PDF). Neotropical Primates. 8 (1): 49.
- ^ a b c Andriaholinirina, N.; et al. (2014). "Propithecus tattersalli". The IUCN Red List of Threatened Species. IUCN. 2014: e.T18352A16116567. doi:10.2305/IUCN.UK.2014-1.RLTS.T18352A16116567.en. Diakses tanggal 5 January 2018.
- ^ a b Meyers, D.M.; Ratsirarson, J. (1989). "Distribution and conservation of two endangered sifakas in northern Madagascar". Primate Conservation. 10: 81–86.
- ^ a b Haring, D. (1993). "Propithecus studbook in preparation" (PDF). Lemur News. 1 (1): 10–11. ISSN 0343-3528. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 23 July 2011. Diakses tanggal 2 June 2010.
- ^ "Golden-crowned Sifaka". Duke Lemur Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 August 2010. Diakses tanggal 31 May 2010.
- ^ a b Bourton, J. (20 August 2009). "Lemurs butchered in Madagascar". BBC Earth News. British Broadcasting Corporation. Diakses tanggal 3 June 2010.
- ^ a b Platt, J. (21 August 2009). "Lemur poaching on the rise due to unrest in Madagascar". ScientificAmerican.com. Nature America, Inc. Diakses tanggal 3 June 2010.
<ref>
dengan nama "CITES" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.- Buku yang dikutip
- Garbutt, N. (2007). Mammals of Madagascar, A Complete Guide. A&C Black Publishers. ISBN 978-0-300-12550-4. OCLC 154689042.
- Harcourt, C. (1990). "Introduction". Dalam Thornback, J. Lemurs of Madagascar and the Comoros: The IUCN Red Data Book. World Conservation Union. ISBN 978-2-88032-957-0. OCLC 28425691.
- Irwin, M.T. (2006). "Chapter 14: Ecologically Enigmatic Lemurs: The Sifakas of the Eastern Forests (Propithecus candidus, P. diadema, P. edwardsi, P. perrieri, and P. tattersalli)". Dalam Gould, L.; Sauther, M.L. Lemurs: Ecology and Adaptation. Springer. hlm. 305–326. ISBN 978-0-387-34585-7. OCLC 209925660.
- Meyers, D.M.; Wright, P.C. (1993). "Resource tracking: food availability and Propithecus seasonal reproduction". Dalam Kappeler, P.M.; Ganzhorn, J.U. Lemur social systems and their ecological basis (PDF). Plenum Press. hlm. 179–192. ISBN 978-0-306-44576-7. OCLC 28722447. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-19.
- Templat:LoM2
- Nowak, R.M. (1999). Walker's Primates of the World. Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-6251-5. OCLC 41143087.
- Richard, A. (2003). "Propithecus, Sifakas". Dalam Goodman, S.M.; Benstead, J.P. The Natural History of Madagascar. University of Chicago Press. hlm. 1345–1348. ISBN 0-226-30306-3. OCLC 51447871.
- Simons, E.L. (1997). "Chapter 6: Lemurs: Old and New". Dalam Goodman, S.M.; Patterson, B.D. Natural Change and Human Impact in Madagascar. Smithsonian Institution Press. hlm. 142–166. ISBN 978-1-56098-682-9. OCLC 35620388.
- Sussman, R.W. (2003). Primate Ecology and Social Structure. Pearson Custom Publishing. ISBN 978-0-536-74363-3. OCLC 42318137.
- Yoder, A.D. (2003). "Phylogeny of the Lemurs". Dalam Goodman, S.M.; Benstead, J.P. The Natural History of Madagascar. University of Chicago Press. hlm. 1242–1247. ISBN 0-226-30306-3. OCLC 51447871.