Tradisi perang tipat atau dalam bahasa Bali disebut siat tipat bantal merupakan bagian dari prosesi ritual keagamaan yang diselenggarakan secara turun temurun pada setiap tahun berdasarkan kalender Bali (sasih) bertepatan dengan jatuhnya Purnama Kapat (sekitar bulan Oktober - Nopember). Tradisi Perang Tipat dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkahNya berupa kesejahteraan, keberhasilan panen, tercapainya pengairan pertanian, terhindarnya dari bencana dan lain-lain. Tradisi ini juga disebut "Aci Rah Pengangon" oleh masyarakat setempat.

Ritual yang berlangsung di Pura Kapal ini diawali dengan upacara persembahyangan bersama yang dilakukan oleh seluruh warga desa. Pada upacara ini pemangku desa adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan seluruh warga dan juga para peserta yang akan melakukan perang tibat bantal.[1]

Para peserta Tipat Bantal perlahan akan melepas baju dan telanjang dada lalu mereka akan membuat dua kelompok dan berdiri saling berhadapan, lalu di depan mereka telah tersedia tipat (ketupat) dan juga bantal (jajanan khas bali). Setelah itu ketika aba-aba telah dimulai para peserta perang Tipat Bantal mulai melemparkan tipat dan bantal itu pada kelompok yang ada di depan mereka, suasana hiruk pikuk itu pun mulai terasa etika tipat dan bantal mulai beterbangan di udara., lalu jika dirasa sudah cukup, perang Tipat Bantal dihentikan sementara lalu perang Tipat Bantal dilanjut di jalan raya yang tak lain di depan Pura.

Tipat merupakan lambang feminim dan bantal merupakan lambang maskulin. Maka dari itu perang Tipat Bantal ini bermakna bahwa pertemuan antara tipat dan bantal ini merupakan pertemuan antara laki-laki dan perempuan ketika bertemu akan melahirkan kehidupan.

Referensi

sunting
  1. ^ Ratnawati, Lien (2017). Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 216. 

Daftar pustaka

sunting