Sigalegale

seni pertunjukan patung menari
(Dialihkan dari Si Galegale)

Sigalegale (Surat Batak: ᯘᯪᯎᯞᯩᯎᯞᯩ) adalah patung kayu yang dahulu digunakan dalam salah satu bentuk ritual penguburan mayat masyarakat Batak di Samosir, Sumatera Utara. Nama "sigalegale" berasal dari bahasa Batak Toba, yaitu "si" dan "gale" yang berarti "si lemah, lesu, lunglai".[1]

Tampak dekat patung Sigalegale dengan bentuk wajah manusia.
Patung Sigalegale yang digerakkan melakukan tortor.
Pertunjukan tortor Sigalegale di Museum Huta Bolon Simanindo, Samosir.
Sekelompok orang yang menggerakkan patung Sigalegale (1970).

Sigalegale digerakkan seolah sedang menari (manortor) oleh kelompok pemain yang mengendalikannya dari belakang dengan menggunakan tali-tali tersembunyi di setiap bagian tubuh patung. Tali-tali tersebut dihubungkan kepada podium tempat Sigalegale berdiri. Konsep permainan ini mirip dengan boneka marionette. Masyarakat Batak meyakini bahwa jumlah tali yang menggerakkan Sigalegale sama dengan jumlah urat yang ada di tangan manusia.[2]

Dalam masyarakat Batak di Samosir, sosok tokoh yang digambarkan oleh patung Sigalegale adalah Raja Manggale. Dahulu, Sigalegale kerap dimainkan pada ritual kematian orang yang meninggal tanpa mempunyai anak, maupun orang yang meninggal setelah semua anaknya tiada.[3][4] Ritual ini diadakan, terutama, apabila orang yang meninggal itu mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat,[5] seperti raja-raja atau tokoh masyarakat. Dahulu, pada masyarakat Batak Toba, seorang tokoh terpandang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai keturunan dipandang merugi. Oleh karena itu, Sigalegale dapat dibuat untuk orang tersebut. Kekayaan yang ditinggalkannya akan digunakan untuk mengadakan ritual Sigalegale bagi orang yang meninggal tersebut. Orang lain tidak akan berani mengambil harta benda milik orang tersebut, karena takut tertular atau meninggal seperti pemiliknya.[3]

Pada masa sekarang, setelah ajaran Kristen meresap dalam kehidupan masyarakat Batak, ritual Sigalegale tidak diadakan lagi dalam upacara adat kematian. Namun, pertunjukan Sigalegale masih rutin diadakan di Samosir sebagai sarana rekreasi.

Patung Sigalegale yang kompleks bisa dibuat seukuran manusia dan diberi lumut basah atau spons yang bisa diperas untuk membuatnya tampak seperti menangis.[4] Patung Sigalegale memiliki anggota badan bersendi yang dipasang di atas podium beroda. Kemudian, sambil meratap, orang-orang akan menari bersama Sigalegale selama upacara pemakaman yang disebut papurpur sapata. Ritual tersebut dilakukan dalam rangka mengusir petaka meninggal tanpa memiliki keturunan, dan untuk menenangkan roh mendiang agar arwahnya tidak penasaran.[5]

Legenda

sunting

Terdapat beragam kisah di balik patung Sigalegale.

Cerita Si Galegale

sunting

Dikisahkan, seorang lelaki bernama Datu Panggana adalah ahli patung yang sangat terkenal di sebuah desa (huta). Sedemikian terkenalnya sampai-sampai makam raja pun dibuat olehnya. Suatu hari, Datu Panggana ingin membuat patung sebagai pajangan di rumahnya. Ia pun pergi ke hutan. Di hutan, Datu Panggana melihat sebatang pohon kayu kering yang sangat mencolok di antara pepohonan lain. Pohon itu tingginya menyamai ukuran manusia, tidak berdaun dan tidak beranting. Kemudian Datu Panggana memahat pohon tersebut menjadi patung seorang perempuan.

Selang beberapa waktu, Datu Panggana didatangi oleh Bao Partigatiga, yakni seorang pedagang keliling yang menjual barang berupa pakaian dan perhiasan emas. Bao Partigatiga mencoba mengenakan pakaian dan perhiasan pada patung itu. Patung itu pun tampak sangat cantik dan seakan-akan hidup. Ketika hari sudah senja, Bao Partigatiga hendak mengambil kembali pakaian yang dikenakan pada patung tersebut. Alangkah terkejutnya, pakaian yang dikenakan, tidak bisa dilepas lagi. Bao Partigatiga pun kecewa, lalu melanjutkan perjalanannya.

Keesokan harinya, seorang dukun bernama Datu Partaoar sedang pergi ke luar rumah untuk mengobat pasien di desa seberang. Ia mempunyai keahlian mengobati, memanggil roh,dan mempunyai obat ajaib. Untuk menuju desa pasiennya, Datu Partoar terbiasa melewati jalan pintas. Di perjalanan, Datu Partoar melihat patung wanita tersebut dan terkagum-kagum. Dalam hati, Datu Partoar berkeinginan mencoba untuk membuat patung itu hidup, dengan beberapa tetes dan mantra-mantra andalannya. Berkat keahlian Datu Partoar, patung wanita tersebut mulai bergerak bagaikan gerakan manusia. Kemudian Datu Partoar membawa pulang patung itu ke desanya. Istrinya menyambut dengan gembira. Akhirnya, Datu Partoar beserta istrinya mengangkat sebagai anak dan diberi nama Nai Manggale.

Upacara pengangkatan anak dilaksanakan oleh keluarga Datu Partaoar dengan cara membawa Nai Manggale ke pekan. Di pekan, Nai Manggale menari dengan lemah gemulai, sehingga orang-orang yang menyaksikannya turut pula menggerak-gerakkan badan mereka seirama dengan lenggak-lenggok Nai Manggale.

Kabar tentang Nai Manggale itu sampai pula kepada pemahat patung Datu Panggana dan Bao Partigatiga yang juga merasa punya andil pada patung tersebut. Datu Panggana dan Bao Partigatiga menyambangi ke rumah Datu Partoar. Terjadilah pertengkaran di antara mereka bertiga, memperebutkan diri Nai Manggale. Datu Panggana yang semula membuat patung perempuan itu merasa lebih berhak atas Nai Manggale. Bao Partigatiga yang mempercantik patung dengan memberi pakaian dan perhiasan juga merasa lebih berhak atas Nai Manggale, begitu juga dengan Datu Partoar, tanpanya dirinya patung itu takkan bisa hidup. Terjadilah pertengkaran hebat yang tidak bisa mereka selesaikan.

Konflik di antara mereka bertiga akhirnya sampai ke hadapan raja, namun raja juga tidak dapat menyelesaikannya. Raja menyarankan untuk menyelesaikan persoalan itu kepada Si Aji Bahirbahir. Si Aji Bahirbahir adalah seorang tokoh yang dituakan di desa tersebut dan dapat menyelesaikan permasalahan di antara mereka bertiga. Adapun keputusan yang disetujui oleh masing-masing pihak, ialah bahwa dukun Datu Partaoar dianggap sebagai bapak dan berhak memberi berkat dalam perkawinan Nai Manggale. Bao Partigatiga sebagai abang (mariboto), berhak menerima bagian emas kawin (wang mahar). Pemahat patung Datu Panggana diangkat menjadi paman (tulang) dan akan memperoleh bagian pula sebagai paman.

Datu Partiktik yang tinggal di desa sebelah mendengar akan kecantikan Nai Manggale. Datu Partiktik pun datang meminang Nai Manggale. Akan tetapi, Nai Manggale menolak pinangan tersebut. Datu Partiktik tidak kehabisan akal, Datu Partiktik pun menggunakan ilmu sihirnya untuk menaklukkan hati Nai Manggale. Berkat ilmu sihir tersebut akhirnya Nai Manggale bersedia kawin dengan Datu partiktik.

Setelah sekian lama mengarungi bahtera rumah tangga, namun tidak juga ada tanda-tanda untuk mempunyai anak. Penantian yang panjang membuat Nai Manggale akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Sewaktu Nai Manggale masih sakit dia berpesan kepada suaminya, bahwa ia harus meminta kepada Datu Panggana untuk membuatkan patung sebesar dirinya dan diberi nama Si Galegale. Kalau amanah itu tidak dilaksanakan, maka roh Nai Manggale tidak akan diperkenankan tinggal di alam baka. Ia tak akan sentosa, akibatnya Nai Manggale terpaksa mengutuk Datu Partiktik agar tidak memperoleh putra dan putri apabila kelak dia kembali kawin. Datu Partiktik pun segera melakukan apa yang telah dipesankan oleh istrinya. Dengan alasan itulah patung Sigalegale dibuat untuk seseorang yang meninggal tanpa mempunyai anak, agar begu atau arwahnya tidak terkena siksa.[3]

Versi cerita lain yang dikenal

sunting

Kisah lain adalah cerita tentang seorang raja dan putra kesayangannya. Sigalegale merupakan patung kayu yang dibuat untuk membahagiakan Raja Rahat, salah seorang penguasa di Pulau Samosir.[1][6]

Dikisahkan, Raja Rahat memimpin negerinya dengan bijaksana. Sayangnya, istri Raja Rahat sudah lama meninggal dunia. Raja hanya punya seorang anak laki-laki, bernama Manggale. Manggale sangat dihormati dan disegani seluruh rakyat di negeri itu karena ketangkasannya berperang. Ia menjunjung tinggi kebenaran. Sama seperti sang raja, ayahnya, Manggale pun sangat mencintai rakyatnya.

Ketenteraman di negeri itu terusik ketika suatu hari prajurit membawa berita bahwa di hutan perbatasan berkumpul prajurit negeri tetangga. Prajurit negeri tetangga hendak menyerang, menjarah harta kekayaan yang ada di negeri itu. Tentu saja Raja tidak tinggal diam mendengar kabar itu. Raja mengumpulkan semua penasihat, juga Manggale selaku panglima perang. Setelah semua dipersiapkan, maka berangkatlah Manggale bersama prajurit terbaiknya.

Selama Manggale dan prajurit pergi berperang, hati Raja tidak tenang. Ia takut sesuatu yang buruk menimpa anak kesayangannya. Sampai kemudian, sebagian prajurit pulang. Tidak ada Manggale di antara mereka. Manggale tewas di medan pertempuran. Raja sangat sedih. Anak kebanggaannya, pewaris kerajaan, telah meninggal dunia. Seluruh rakyat juga sedih dan merasa kehilangan.

Akhirnya, Raja jatuh sakit. Para penasihat Raja sudah memanggil banyak datu, tetapi tidak ada yang mampu menyembuhkan Raja. Seorang datu memberi saran pada penasihat kerajaan untuk membuat patung kayu yang wajahnya sangat mirip dengan wajah Manggale. Penasihat kerajaan mengikuti saran itu. Dipanggilah pemahat terbaik di kerajaan untuk mengerjakan patung itu. Pembuatan patung dilakukan jauh di dalam hutan, karena Manggale tewas di dalam hutan. Jadi, datu meyakini roh Manggale masih berada di dalam hutan itu. Sang pemahat menggunakan kayu pohon nangka sebagai bahan karena kayu nangka sangat keras.

Wajah patung itu sangat mirip dengan wajah Manggale. Kemudian, datu menggelar ritual dengan meniup sordam dan memainkan gondang sabangunan untuk memanggil roh Manggale. Roh Manggale dimasukkan ke dalam patung yang mirip wajahnya itu. Patung itu diangkut menuju istana dengan iringan sordam dan gondang.

Karena patung itu sangat mirip dengan putra kesayangannya yang telah meninggal, kerinduan sang raja pada Manggale sedikit demi sedikit terobati. Apalagi patung itu bisa menari sendiri karena datu sudah memasukkan roh Manggale ke dalamnya. Setiap Raja rindu dengan putranya, ia akan manortor (melakukan tortor) bersama patung itu. Seluruh rakyat ikut manortor setiap Raja melakukannya. Kemudian, Raja memberi patung ini nama Si Galegale, yang artinya, orang yang lembah lembut,[7] atau orang yang lemah lunglai.[1]

Pemahat yang berhasil membuat patung yang mirip wajah Manggale, meninggal dunia tidak lama setelah ia menyelesaikan patung itu. Sampai sekarang, ada kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat patung Sigalegale menyerahkan jiwanya pada patung buatannya supaya patung bisa bergerak seperti hidup.[1] Itulah sebabnya, tidak banyak yang bersedia membuat patung Sigalegale. Kalaupun ada, sebuah patung akan dikerjakan beberapa orang. Ada yang memahat bagian kepala, bagian badan atau bagian kaki.[7]

Referensi awal

sunting

Referensi paling awal mengenai Sigalegale, di antaranya adalah pemaparan misionaris Jerman Johannes Warneck tentang penggunaan patung tersebut di awal abad kedua puluh. Ketika seorang pria kaya meninggal tanpa ada putranya yang masih hidup, kerabatnya mengadakan pesta khusus untuk meratapi kematiannya sekaligus untuk mempertontonkan kekayaannya. Dalam pertunjukan tersebut, patung kayu dengan rupa yang mirip dengan mendiang dibuat dan diberi pakaian tradisional, dengan syal, hiasan kepala, dan perhiasan emas. Dipasang di atas podium beroda dan dimanipulasi dengan sistem tali yang rumit, patung itu menari-nari sementara istri, orang tua, dan saudara lelaki mendiang menari bersama, sambil meratap. Patung tersebut secara seremonial dibawa ke pasar, di mana daging babi, sapi, atau kerbau dibagikan pada mereka yang berkumpul. Selesai menari, Sigalegale ditembak dan dilempar melewati tembok desa. Orang Batak mengatakan "kaya sesaat seperti patung Sigalegale", hal ini mengacu pada orang kaya tanpa adanya ahli waris yang peduli akan rohnya di akhirat.[8]

Mengenai asal patung Sigalegale sebenarnya masih ada perdebatan di masyarakat Samosir. Namun, ada satu daerah di Samosir, yang meyakini bahwa Sigalegale pertama dibuat oleh Raja Gayus Rumahorbo dari Desa Garoga. Keturunan Raja Gayus Rumahorbo mengatakan, Sigalegale pertama dibuat pada tahun 1930.[7] Pada tahun 1930-an, Si Galegale pernah dimainkan oleh Raja Gayus Rumahorbo dari Kampung Garoga, Tomok. Raja Gayus dikenal mampu membuat patung Sigalegale yang mengeluarkan air mata dan punya kemampuan mengusapkan ulos yang disandangkan sebelumnya di bahu sang boneka kayu.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e (Indonesia) Lumbantobing, Jeremia S.T (13 November 2019). "Mengenal Sigale Gale". www.academia.edu. hlm. 12-16. Diakses tanggal 22 Januari 2022. 
  2. ^ (Indonesia) Rachmawati, ed. (11 November 2021). "Mengenal Sigale-gale, Boneka Kayu Asal Samosir, Ada Sejak 400 Tahun Lalu". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Januari 2022. 
  3. ^ a b c (Indonesia) Nurelide (2007). Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba dalam Cerita Sigalegale - Telaah Cerita Rakyat dengan Pendekatan Antropologi Sastra (Tesis Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. 
  4. ^ a b Puppet Head (Si Gale–gale), late 19th–early 20th century, Toba Batak people, Sumatra, Indonesia Wood, brass, lead alloy, water buffalo horn, pigment; H. 11 1/4 in. (28.6 cm) Gift of Fred and Rita Richman, 1987 (1987.453.6) Metropolitan Museum of Art
  5. ^ a b Florina H. Capistrano-Baker, Art of Island Southeast Asia: The Fred and Rita Richman Collection in The Metropolitan Museum of Art - 1994 p. 27
  6. ^ (Indonesia) Kertopati, Lesthia (2016). "Sigale-gale, Boneka Mistis dari Samosir". CNN Indonesia (dalam bahasa indonesia). CNN Indonesia. 
  7. ^ a b c (Indonesia) Situmorang, T. Sandi (2017). Sinubulan, Yessy, ed. Seri Pengenalan Budaya Nusantara: Misteri Patung Sigale-gale. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-602-6477-21-7. 
  8. ^ Warneck 1909, p. 108.

Pranala luar

sunting