Serat Jaka Lodang adalah syair/karangan dalam bahasa Jawa dari pujangga Rangga Warsita yang mengandung petuah akan adanya suatu zaman yang penuh dengan pancaroba.

Serat Jaka Lodang ini terdiri dari dua bagian: bagian pertama dalam bentuk gambuh dengan 3 bait/paragraf (masing-masing mengandung 5 baris) dan bagian kedua dalam bentuk sinom. ...

Pada bagian kedua yang juga terdiri dari 3 bait (masing-masing mengandung 9 baris), terdapat petuah sebagai berikut (beserta terjemahan bebas bahasa Indonesianya):

Sasedyane tanpa dadya Suatu waktu seluruh kehendak tidak ada yang terwujud,
Sacipta-cipta tan polih apa yang dicita-citakan akan berantakan,
Kang reraton-raton rantas apa yang dirancang menjadi gagal,
Mrih luhur asor pinanggih yang ingin menang malah kalah,
Bebendu gung nekani karena datangnya hukuman yang berat dari Tuhan.
Kongas ing kanistanipun Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela,
Wong agung nis gungira orang besar akan kehilangan kebesarannya,
Sudireng wirang jrih lalis lebih baik nama tercemar daripada bertanggung jawab (mati),
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira sedangkan yang kecil juga tidak mau tahu akan keterbatasannya.
Wong alim-alim pulasan Banyak orang yang alim, tetapi hanyalah bersifat hiasan saja,
Njaba putih njero kuning di luar tampak baik (putih) tetapi di dalamnya kuning,
Ngulama mangsah maksiat banyak ulama berbuat maksiat,
Madat madon minum main mengisap ganja, berbuat selingkuh, minum minuman keras, berjudi.
Kaji-kaji ambataning Banyak haji melemparkan,
Dulban kethu putih mamprung dan melepas ikat kepala hajinya,
Wadon nir wadorina para wanita kehilangan kewanitaannya,
Prabaweng salaka rukmi karena pengaruh harta benda,
Kabeh-kabeh mung marono tingalira semuanya itu hanya kebendaan-lah yang menjadi tujuannya.
Para sudagar ingargya Di antara para saudagar dan pedagang,
Jroning zaman keneng sarik hanya harta bendalah yang dihormati pada zaman itu,
Marmane saisiningrat seluruh isi dunia penuh dengan penderitaan,
Sangsarane saya mencit kesengsaraan makin menjadi-jadi,
Nir sad estining urip pada tahun Jawa 1860 (sengkalan: Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1) atau 1930 Masehi
Iku ta sengkalanipun yang akan menjadi tonggak sejarahnya.
Pantoging nandang sudra Pada akhirnya penderitaan yang akan terjadi,
Yen wus tobat tanpa mosik pada saat semua mulai bertobat dan menyerahkan diri,
Sru nalangsa narima ngandel ing suksma kepada kekuasaan Tuhan dengan sepenuh hati.

Pranala luar

sunting