Sektor sekunder adalah salah satu sektor ekonomi bersama dengan sektor primer dan sektor tersier.[1] Kegiatan ekonomi dalam sektor sekunder ialah mengolah hasil sektor primer menjadi barang jadi.[2] Bidang pekerjaan yang umum pada sektor sekunder ialah manufaktur dan konstruksi. Industri pada sektor ini dapat dibagi menjadi industri ringan dan industri berat. Dalam proses produksinya, industri pada sektor sekunder umumnya memerlukan konsumsi energi dalam jumlah besar, memerlukan pabrik dan mesin, serta menghasilkan limbah.

Bidang ekonomi

sunting

Sektor sekunder umumnya dilaksanakan dalam bidang manufaktur dan konstruksi. Bentuk kegiatannya umumnya adalah pengolahan bahan baku dan pengadaan barang setengah jadi. Sektor sekunder berpusat pada industri pengolahan, pengadaan listrik, gas dan air bersih, serta pengelolaan sampah dan limbah hasil daur ulang.[3]

Analisa

sunting

Upah tenaga kerja

sunting

Upah tenaga kerja pada sektor sekunder umumnya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang telah ditempuh oleh tenaga kerja. Tingkat upah tenaga kerja pada sektor sekunder umumnya berbading lurus dengan tingkat pendidikan dari tenaga kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka upah semakin tinggi pula. Penyebab adanya perbedaan upah tenaga kerja ialah adanya pandangan bahwa kemampuan atau keahlian tenaga kerja diukur dengan tingkat pendidikan. Jenjang pendidikan menjadi cara mudah untuk menentukan upah yang harus dibayarkan atas keterampilan atau keahlian tenaga kerja. Selain itu, pada sektor sekunder kesempatan kerja dari tenaga kerja yang menempuh perguruan tinggi lebih banyak dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak menempuh perguruan tinggi.[4]

Manfaat

sunting

Pembangunan ekonomi berbasis agribisnis

sunting

Pengelolaan sektor sekunder secara tepat bersama dengan sektor primer dan sektor tersier dapat menghasilkan sistem perekonomian yang mengarah pada pembangunan ekonomi. Sektor sekunder yang berdaya saing dan memiliki kemampuan produksi yang tinggi dapat dikelola melalui agribisnis. Pembangunan ekonomi bersifat saling berhubungan satu sama lain di antara wilayah-wilayah dalam suatu negara.[5]

Fenomena

sunting

Transformasi struktural

sunting

Sektor sekunder umumnya mulai menggantikan peran sektor primer pada masa peralihan sistem perekonomian dari ekonomi tradisional menjadi ekonomi modern. Peralihan ini dikenal sebagai fenomena transformasi struktural. Kegiatan ekonomi beralih dari sektor primer menuju ke sektor sekunder kemudian berlanjut hingga ke sektor tersier. Pengurangan peran ditandai dengan beralihnya tenaga kerjadan investasi dari sektor primer menuju ke sektor sekunder atau tersier. Pengurangan peran pada sektor primer merupakan salah satu metode pencapaian pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan transformasi struktural. Tenaga kerja dialihkan dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi.[6]

Referensi

sunting
  1. ^ Fatihudin, Didin (2019). Membedah Investasi, Menuai Geliat Ekonomi (PDF). Sleman: Deepublish. hlm. 53. ISBN 978-623-209-360-7. 
  2. ^ Badan Pusat Statistik (2012). Analisis Statistik Sosial: Bonus Demografi dan Pertumbuhan Ekonomi (PDF). Jakarta: Badan Pusat Statistik. hlm. 12. 
  3. ^ Prasetyani, P., dan Sumardi (2020). Analisis Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (PDF). Surakarta: CV. Djiwa Amarta Press. hlm. 27. ISBN 978-602-5646-34-8. 
  4. ^ Guspika, dkk. (ed.). Direktori Mini Tesis-Disertasi Ekonomi Pembangunan (PDF). Jakarta Pusat: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia. hlm. 97. ISBN 978-623-91602-1-0. 
  5. ^ Sinaga, Obsatar (2010). Tim Editor M63 Foundation, ed. Liberalisasi Perdagangan Agro: Kesiapan Jawa Barat dalam Implementasi AFTA (PDF). Bandung: Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Bandung. hlm. 72. ISBN 978-602-9015-01-0. 
  6. ^ Daryanto, A., dkk. (2015). Yuwono, Margo, ed. Analisis Tematik ST2013 Subsektor: Transformasi Struktural Usahatani dan Petani Indonesia (PDF). Jakarta: Badan Pusat Statistik. hlm. 3. ISBN 978-979-064-870-8.