Sejarah kelapa sawit di Indonesia
Sejarah kelapa sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia berawal pada tahun 1848, ketika orang Belanda membawa empat biji kelapa sawit dari Bourbon, Mauritius, dan Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda. Keempat biji kelapa sawit itu kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan ternyata berhasil tumbuh dengan subur. Setelah berbuah, biji-biji dari induk kelapa sawit tersebut disebar ke Sumatra.
Asal mula
suntingKelapa sawit (Elaeis guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah.[1] Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce,[2] masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus,[3] Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848.[4]
Empat biji kelapa sawit tersebut kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor yang ketika itu dipimpin oleh Johanes Elyas Teysman dan berhasil tumbuh dengan subur.[5] Di Kebon Raya Bogor, pohon kelapa sawit tersebut tumbuh tinggi dengan ketinggian 12 meter dan menjadi pohon kelapa sawit tertua di Asia Tenggara.[6] Namun, pada 15 Oktober 1989, induk pohon kelapa sawit itu mati.
Pada tahun 1853 atau lima tahun setelah ditanam, pohon kelapa sawit di Kebon Raya Bogor menghasilkan buah. Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatra pada tahun 1875,[1] untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan.[3] Tidak disangka, ternyata kelapa sawit tumbuh subur di Deli, Sumatera Utara, pada tahun 1870-an, sehingga bibit-bibit kelapa sawit dari daerah ini terkenal dengan nama kelapa sawit "Deli Dura".[6]
Era Hindia Belanda
suntingSemula, orang-orang Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka lebih mengenal minyak kelapa. Namun, revolusi industri (1750–1850) yang terjadi di Eropa, mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa sawit di beberapa tempat. Percobaan penanaman kelapa sawit pertama kali dilakukan di Karesidenan Banyumas antara tahun 1856 hingga 1870, namun tidak menghasilkan minyak yang baik meski berbuah empat tahun lebih cepat dibandingkan di Afrika yang membutuhkan waktu 6–7 tahun. Selanjutnya, percobaan penanaman kedua dilakukan pemerintahan Hindia Belanda di Palembang, di Muara Enim tahun 1869, Musi Ulu tahun 1870, dan Belitung tahun 1890. Namun, hasilnya masih kurang baik, karena cuaca di Palembang, yang tidak cocok. Hal yang sama juga terjadi di Banten, meski coba dilakukan perkebunan kelapa sawit pada tahun 1895.[3]
Kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan asing juga didorong oleh pemberlakuan UU Agraria (Agrarisch Wet) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini memberikan konsesi berupa hak guna usaha atau hak erfpacht kepada para pemodal asing.[7]
Perintis
suntingPerkebunan kelapa sawit berskala besar kemudian dibuka untuk pertama kalinya pada tahun 1911 oleh perusahaan yang didirikan oleh Adrien Hallet asal Belgia dan K. Schadt di Pantai Timur Sumatra (Deli) dan Sungai Liat, Aceh, melalui perusahaannya yang bernama Sungai Liput Cultuur Maatschappij,[3] dengan luas 5.123 hektare.[6]
Pada tahun 1911 tercatat ada tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni Onderneming Soengei Lipoet, Onderneming Kuala Simpang, N.V Moord Sumatra Rubber Maatschappij, Onderneming Soengei Ijoe, Tanjung Suemanto', Batang Ara, dan Mopoli, yang sebagian besar memiliki kebun-kebun karet. Di Aceh Timur pada tahun 1912 terdapat 18 konsesi perkebunan karet dan kelapa sawit dan kembali bertambah menjadi 20 perusahaan perkebunan pada tahun 1923, dengan rincian 12 adalah perusahaan perkebunan karet, tujuh perkebunan kelapa sawit dan satu perkebunan kelapa.[8]
Pada tahun 1910, organisasi perusahaan perkebunan bernama Algemene Vereneging voor Rubberpalnters ter Oostkus van Sumatera (AVROS), berdiri di Sumatera Utara dan Rantau Panjang, Kuala Selangor.[6] AVROS merupakan organisasi yang menaungi berbagai macam perusahaan perkebunan dengan didasari kepentingan yang sama, yakni menyikapi persoalan yang timbul, seperti kekurangan pekerja perkebunan, menjalin hubungan dengan sesama pengusaha dan komunikasi dengan pemerintah, dan permasalahan transportasi.[9]
AVROS kemudian mendirikan pusat penelitian perkebunan bernama Algemeene Proefstation der AVROS atau APA pada tanggal 26 September 1916. Awalnya, APA didirikan untuk penelitian mengenai budidaya karet, namun berkembang meneliti juga kelapa sawit dan teh. Selain itu, Handle Vereeniging Amsterdam (HVA) juga mendirikan Balai Penelitian Sisal di Dolok Ilir dan berhasil menghasilkan varietas unggul jenis Psifera. Pada tahun 1921, APA mendapat penghargaan pada ajang 5th International of Exhibition Rubber and Other Tropical Products di London dan pada 1924 kembali mendapat penghargaan pada ajang serupa di Brussels.[10]
Ekspor kelapa sawit pertama terjadi pada tahun 1919 yang berasal dari perkebunan di Pesisir Timur Sumatra. Namun, memasuki Perang Dunia Pertama, produksi kelapa sawit berjalan lambat dan baru setelah Depresi Besar tahun 1921, aktivitas penanaman kelapa sawit kembali bergairah. Pada tahun 1924, luas area perkebunan kelapa sawit meningkat dari 414 hektare menjadi 18.801 hektare. Di Jawa juga muncul pabrik-pabrik minyak kelapa sawit berskala kecil yang memproduksi sabun dan mentega.[3]
Pada tahun 1925, lahan kelapa sawit yang telah ditanami di Sumatra mencapai 31.600 hektare dan terus bertambah menjadi 75.000 hektare pada tahun 1936[1] dari hanya seluas 6.920 hektare tahun 1919. Produksi kelapa sawit dari tahun 1919 ke tahun 1937 melonjak drastis dari 181 ton menjadi 190.627 ton minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dan 39.630 ton minyak kernel.[11]
Di Aceh Timur, produksi kelapa sawit berhasil melampaui produksi karet pada tahun 1935 dan pada tahun 1939 perkebunan di wilayah tersebut mampu menghasilkan kelapa sawit sebanyak 2.627 ton. Pada umumnya, perusahaan perkebunan menanam tidak hanya satu komoditas saja tapi mencampurnya dalam satu area lahan perkebunan dengan tanaman karet dan kelapa sawit. Kehadiran perkebunan besar turut mendorong munculnya perkebunan-perkebunan rakyat di sekitarnya.[8]
Hingga tahun 1940 total area luas perkebunan kelapa sawit di Hindia Belanda telah mencapai 100.000 hektare yang dimiliki oleh 60 perusahaan. Kapal-kapal tanker berisikan minyak kelapa sawit terus-menerus dikirim dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda, untuk memenuhi kebutuhan pabrik sabun dan margarin di Eropa.[3]
Perkembangan pesat perkebunan ini tidak terlepas dari sistem rekrutmen kuli-kuli yang didasari tiga peraturan, yakni pertama koeli Ordonantic (1880, 1884, dan 1893). Dengan adanya peraturan koeli Ordonantic, manajer atau mandor-mandor perkebunan memiliki kewenangan hukum yang efektif atas kuli selama masa kontraknya masih berlaku. Peraturan kedua adalah Poenalic Sancfie yang memuat pasal sanksi di dalam kontrak untuk menghukum kuli-kuli yang melanggar kontrak, berupa penangkapan bagi mereka yang melarikan diri dan dipaksa kembali bekerja atau dihukum dengan cara lain. Ketiga, melalui perkumpulan pengusaha perkebunan bernama Deli Planters Vereeniging yang dibentuk tahun 1879 agar tidak terjadi perebutan kuli-kuli.[9]
Perkebunan kelapa sawit tertua
suntingSime Darby Plantation
suntingKehadiran Sime Darby Plantation terjadi pada tahun 1907, ketika Crosfield, Lampard & Co, mengakuisisi lahan perkebunan di Malacca, Selangor, dan Perak, seluas 6.673 hektare dan mengakuisisi lahan perkebunan Begerbang di Sumatra. Sebelumnya, Harrisons & Crosfield mengakuisisi Pataling Company, perusahaan perkebunan karet di Selangor, pada tahun 1903. Pada tahun yang sama, Guthrie & Co kemudian bekerja sama dengan Scott & Co mendirikan perusahaan patungan bernama Guthrie and Company Ltd dengan modal sebesar RM 1 juta.[12]
Pada tahun 1910, William Middleton Sime, Henry d'Esterre Darby dan Herbert Milford Darby mendirikan Sime, Darby & Co di Malacca. Pada tahun 1912, Guthrie menjadi agen perkebunan di Borneo (Kalimantan) dan Sumatra, termasuk perusahaan asuransi, bank, distributor sepeda motor, mobil dan Singapore Electric Tramway Company. Baru pada tahun 1920, Guthrie and Co mengakuisisi lahan perkebunan di Mengkibol, Johor, dan menanaminya dengan kelapa sawit.[13]
Socfin Indonesia
suntingPerusahaan perkebunan yang kini bernama Socfin Indonesia (Socfindo) didirikan pada tahun 1908 oleh seorang teknisi agronomi asal Belgia bernama Adrien Hallet (1867–1925). Setelah sukses menjadi pengusaha perkebunan di Kongo, Afrika, Hallet memutuskan pergi ke Malaysia. Di negeri tersebut, Hallet mendirikan perusahaan bernama La Compagnie du Selangor pada tahun 1906.[14]
Hallet lalu memutuskan pergi ke Hindia Belanda, persisnya ke Sumatra, kemudian mendirikan dan menjadi direktur perusahaan bernama Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij yang mengelola lahan perkebunan karet seluas 1.500 hektare di Tamiang, Aceh. Pada tahun 1909, Hallet turut menjadi salah satu pendiri perusahaan Société Financière des Caoutchoucs Societé Anonyme (Socfin SA) yang tercatat di Brussels, Belgia.[15] Setahun kemudian dia bekerja sama dengan Rivaud Group untuk mencari lokasi ideal di Indochina untuk menanam karet dan pada tahun 1919, saham perusahaan Socfin S.A diambil alih oleh Rivaud Group.[14]
Baru pada tahun 1911, Hallet membuka lahan perkebunan kelapa sawit di atas area lahan seluas 5.123 hektare.[6] Fasilitas penelitian dan pengembangan didirikan pada tahun 1918 di Medan.[14] Setelah itu, Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij kemudian berturut-turut membuka area perkebunan lainnya di Sumatera Utara, yakni di Mata Pao tahun 1927, Negeri Lama tahun 1928, dan Tanah Bersih (1937). Di Aceh, area perkebunan sawit yang dibuka adalah di Seunagan (1930), Seumanyam (1936), dan Lae Butar (1938).[15]
Hallet sendiri meninggal dunia pada tahun 1925 dengan meninggalkan sejumlah perusahaan yakni Socfin S.A and Banco yang beroperasi di Afrika, Indochina dan Asia Tenggara. Area perkebunan yang dimiliki pada saat itu sudah mencaai 73 ribu hektare perkebunan karet, 29 ribu hektare perkebunan kelapa sawit dan 21 ribu hektare perkebunan kopi. Generasi penerusnya, yakni Robert Hallet, kemudian mengambil alih kepemimpinan perusahaan dan bisnis perusahaan terus berkembang pesat.[14]
Sebelum meninggal pada tahun 1947, Robert Hallet berhasil mengembangkan perusahaan dengan total luas area mencapai 350 ribu hektare pada tahun 1940, terdiri atas 73 ribu hektare perkebunan karet, 31 ribu hektare perkebunan kelapa sawit, dan 36 ribu hektare perkebunan kopi. Grup perusahaan berhasil memproduksi 6% dari pasar karet internasional dan 20% pasar kelapa sawit dunia pada saat itu dan secara bertahap mulai meninggalkan perkebunan kopi.[14]
Di Indonesia, perusahaan ini kemudian terkena nasionalisasi pada tahun 1965 berdasarkan Peraturan Presiden No 6 tahun 1965 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Dari empat kelompok Perusahaan Perkebunan Negara Ex Perkebunan Asing (PPN Expera), Socfin masuk kelompok kedua.[16] Baru pada tahun 1968, Presiden Soeharto mengembalikan perusahaan-perusahan asing ke pemiliknya, termasuk PT Socfin Indonesia yang kemudian didirikan melalui kerja sama patungan antara Plantation Nord Sumatra (PNS Ltd) sebesar 60% dan Republik Indonesia sebesar 40%. Setelah itu, Socfindo baru kembali membuka lagi area perkebunan baru di Sumatera Utara, yakni di Bangun Bandar/Tanjung Maria dan Aek Loba/Padang Pulo (1970), Aek Pamienke (1979), dan Tanah Gambus/Lima Puluh (1982).[15] Kepemilikan saham tersebut kembali berubah menjadi PNS Ltd 90% dan Republik Indonesia sebesar 10% pada tahun 2001.[15]
PP London Sumatra Indonesia
suntingPerusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia (dikenal dengan Lonsum) berdiri pada tahun 1906 oleh Harrisons & Crosfield Plc yang berbasis di London, Inggris. Meski sudah memiliki diversifikasi perkebunan tanaman karet, teh, dan kakao, Lonsum pada awal kemerdekaan masih mengkonsentrasikan lini bisnisnya pada tanaman karet, sedangkan kelapa sawit baru mulai produksi pada tahun 1980-an.[17]
Pada tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual 100% kepemilikan sahamnya di Lonsum kepada PT Pan London Sumatra Plantation. Indofood Agri Resources Ltd melalui PT Salim Ivomas Pratama kemudian menguasai Lonsum pada Oktober 2007.[17]
Bakrie Sumatera Plantations
suntingBakrie Sumatera Plantations adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berdiri pada tahun 1911 dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij, yang awalnya adalah perusahaan perkebunan karet. Pada tahun 1957, nama perusahaan berganti nama menjadi PT United States Rubber Sumatera Plantations setelah diakuisisi oleh Uniroyal Inc.[18]
Selanjutnya, pada tahun 1965, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap PT United States Rubber Sumatera Plantations. Pada tahun 1985, nama perusahaan berganti menjadi PT Uniroyal Sumatera Plantations (UNSP) dan setahun kemudian sebanyak 75% saham perusahaan diakuisisi oleh PT Bakrie & Brothers. Nama perusahaan pun berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations dan tahun 1992 kembali berganti nama menjadi PT Bakrie Sumatera Plantations.[18]
Meski awalnya adalah perusahaan perkebunan karet, PT Bakrie Sumatera Plantations pada tahun 2019 hanya memiliki area kebun karet seluas 16.532 hektare di Sumatera Utara melalui PT BSP Kisaran, Bengkulu seluas 2.610 hektare melalui PT AMR, dan di Lampung seluas 3.331 hektare melalui PT HIM.[18]
Per September 2019, PT Bakrie Sumatera Plantations memiliki area perkebunan inti kelapa sawit yang telah ditanami seluas 43.262 hektare di Sumatera Utara melalui PT BSP Kisaran (9.924 hektare) dan PT GLP (7.626 hektare); di Sumatera Barat melalui PT BPP (8.820 hektare) dan PT CCI (1.965 hektare); di Jambi melalui PT AGW (4.387 hektare) dan PT SNP (6.111 hektare); dan di Kalimantan Selatan melalui PT MIB seluas 4.429 hektare. Adapun perkebunan plasma seluas 14.976 hektare, dengan rincian seluas 6.347 hektare di Sumatera Barat melalui PT BPP, 7.701 hektare di Jambi melalui PT AGW, dan 928 hektare di Jambi melalui PT SNP.[18]
Perusahaan memiliki lima pabrik pengolahan kelapa sawit, berkapasitas 225 metrik ton, masing-masing dua pabrik di Sumatera Utara, satu pabrik di Sumatera Barat, dan dua pabrik di Jambi. Selain itu ada lima pabrik pengolahan oleo chemical, yakni satu pabrik pengolahan Fatty Acid FSC berkapasitas 52.800 metrik ton per tahun di Tanjung Morawa, Sumatera Utara dan empat pabrik pengolahan fatty acid di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, yakni fatty acid I berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty alcohol I berkapasitas 33 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty acid II berkapasitas 82.500 metrik ton/tahun, dan pabrik pengolahan fatty alcohol II berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun.[18]
Era pendudukan Jepang
suntingPada zaman pendudukan Jepang (1942–1945), perkebunan kelapa sawit Indonesia menurun tajam. Jumlah lahan perkebunan kelapa sawit menyusut 16% yang membuat produksi minyak sawit anjlok menjadi 56 ribu ton pada tahun 1948/1949, padahal pada tahun 1940, Indonesia dapat mengekspor sebanyak 250 ribu ton dan baru meningkat kembali menjadi 200 ribu ton pada tahun 1950-an.[19]
Ketika itu, Jepang juga mengambil alih penguasaan perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur dari pengusaha-pengusaha kecil, sehingga mengubah struktur kepemilikan. Oleh Jepang, hasil kelapa sawit bukan untuk diekspor namun untuk memenuhi kebutuhan perang. Sayangnya, blokade yang dilakukan pasukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang di Selat Malaka membuat Jepang tidak bisa mengirim hasil kelapa sawit hingga menumpuk di gudang-gudang perkebunan.[4]
Era Kemerdekaan
suntingSepanjang periode 1945 hingga tahun 1950, pemerintah Indonesia belum terlalu fokus pada pembangunan ekonomi. Perkebunan-perkebunan besar dan perusahaan lainnya masih dikuasai oleh perusahaan Hindia Belanda. Selain itu, pemerintah Indonesia juga masih disibukkan dengan pemberontakan-pemberontakan berskala kecil di berbagai daerah dan konflik memperebutkan Irian Barat.[8]
Pada 13 Desember 1957, KASAD Mayor Jenderal AH Nasution selaku penguasa perang pusat (Peperpu) mengeluarkan surat perintah bahwa proses pengambilalihan perusahaan asing di bawah kontrol militer. Setahun kemudian, Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia baru diterbitkan dan peraturan ini berlaku surut sejak tahun 1957. Seluruh perusahaan yang dinasionalisasi kemudian dikelola oleh Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) yang dibentuk tahun 1959, yang disertai dengan pembayaran ganti rugi kepada pemilik perusahaan yang diambil alih.[8]
Sebanyak 76 perusahaan perkebunan berumur panjang dinasionalisasi, baik yang berada di Sumatera Utara maupun Aceh, dengan rincian 54 merupakan perusahaan perkebunan karet, 13 perkebunan kelapa sawit, lima perkebunan teh, dan empat perkebunan sisal dan tanaman berserat lainnya. Beberapa perusahaan besar yang terkena nasionalisasi adalah United Deli Company yang memiliki 12 perkebunan, empat perkebunan milik Senembah Maatschappij, HVA (empat perkebunan), Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam (12 perkebunan), dan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) empat perkebunan. Pada awal tahun 1960 sudah ada 101 dari 217 perusahaan perkebunan di Sumatera Utara yang beralih kepemilikannya kepada pemerintah Indonesia.[8]
Namun, proses nasionalisasi ini belum mampu meningkatkan produksi kelapa sawit secara besar-besaran mengingat masih terjadinya beberapa pemberontakan di daerah dan keterbatasan pengetahuan petani.[3]
Jumlah perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada awalnya adalah perusahaan perkebunan tembakau berjumlah 38 perusahaan, kemudian ditambah lagi 205 perusahaan perkebunan dengan mayoritas adalah perkebunan karet, disusul teh, kopi, tebu berikut pabrik gulanya, kelapa, kelapa sawit, cengkih dan lain sebagainya. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia kembali menasionalisasi 22 perusahaan perkebunan pala. Seluruh perusahaan perkebunan hasil nasionalisasi kemudian disatukan di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru yang berdiri pada tahun 1957.[20]
PPN-Lama yang berjumlah 40 perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi pada September 1950, kemudian digabungkan dengan PPN-Baru di bawah naungan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN) dengan pembagian berdasarkan komoditas, yakni karet, gula, tembakau, dan aneka tanaman, dengan total keseluruhan 88 PPN. Pada tahun 1967, BPU-PPN dibubarkan dan pemerintah mengubah status perusahaan perkebunan PPN menjadi perseroan terbatas dengan membaginya menjadi PT Perkebunan (PTP) I hingga PT Perkebunan IX dan selanjutnya dipisahkan menjadi PTPN I hingga PTPN XIV.[20]
PT Perkebunan Nusantara I adalah perusahaan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan swasta milik Hindia Belanda dan Jepang. Perusahaan hasil nasionalisasi ini diberi nama PPN Kesatuan Aceh berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 142 tahun 1961 dan berganti nama menjadi PNP-1 berdasarkan PP No 14 Tahun 1968. Baru pada 2 Mei 1981, perusahaan berganti nama menjadi PT Perkebunan-I dan menjadi PT Perkebunan Nusantara I pada tanggal 14 Februari 1996, hasil penggabungan PT Perkebunan I, PT Cot Girek Baru, PT Perkebunan V dan PKS Cot Girek PT Perkebunan IX.[21]
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit baru terjadi pada tahun 1980-an. Pada awal tahun 1980-an, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 200.000 hektare, yang umumnya adalah kebun-kebun peninggalan kolonial Hindia Belanda. Melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Transmigrasi dan program kredit Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN), perkebunan kelapa sawit berkembang pesat.[5]
Pemerintah mengembangkan empat tipe program Perkebunan Inti Rakyat, yakni pertama, PIR khusus dan lokal tersebar di 12 provinsi pada tahun 1980. Hasilnya tercipta lahan perkebunan kelapa sawit baru seluas 231.535 hektare, terdiri atas 67.754 hektare perkebunan inti dan 163.781 hektare perkebunan plasma. Kedua adalah program PIR Transmigrasi yang dimulai pada tahun 1986 di 11 provinsi. Program ini menghasilkan perkebunan kelapa sawit baru seluas 566 ribu hektare terdiri atas 70% perkebunan plasma dan 30% berupa perkebunan plasma. Ketiga adalah program PIR Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (PIR-KKPA) dengan melibatkan 74 Koperasi Unit Desa. Keempat adalah PIR Revitalisasi Perkebunan yang dimulai pada tahun 2016 melalui PMK No 117/PKM.06/2006 dengan memberikan subsidi bunga kredit untuk pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan rakyat. Program PIR ini menghasilkan peningkatan area perkebunan kelapa sawit milik rakyat dari 6 ribu hektare pada tahun 1980 menjadi 5,81 juta hektare tahun 2019.[22]
Program Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN) dirintis pada tahun 1977 dan terbagi menjadi tiga tahapan, yakni PBSN I periode 1977-1981, PBSN II periode1981-1986 dan PBSN III periode 1986-1990.[23]
Luas lahan perkebunan sawit pada tahun 1979-1980 tercatat masih 289.526 hektare yang didominasi oleh perusahaan perkebunan besar. Luas lahan tersebut kemudian bertambah menjadi 5,958 juta hektare pada tahun 2006, dengan rincian perkebunan rakyat seluas 2.120.338 hektare, perkebunan besar negara seluas 696.699 hektare, dan perkebunan besar swasta seluas 3.141.02 hektare. Adapun produksi CPO yang dihasilkan mencapai 14,2 juta ton.[24]
Sebaran lahan perkebunan
suntingPada tahun 2006, lahan perkebunan kelapa sawit sudah tersebar di 21 provinsi, dengan lima provinsi yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas berada di Riau 1,3 juta hektare, Sumatera Utara 964,3 ribu hektare, Sumatera Selatan 532,4 ribu hektare, Kalimantan Barat 466,9 ribu hektare, dan Jambi 466,7 juta hektare.[24]
Perkebunan kelapa sawit terbesar
suntingAstra Agro Lestari
suntingPer Desember 2018, Astra Agro Lestari memiliki 285 ribu hektare perkebunan kelapa sawit tersebar di Sulawesi seluas 50,6 hektare (17,8%), Kalimantan 129,8 hektare (45,5%), Sumatra 104,6 hektare (36,7%). Area perkebunan kelapa sawit inti yang dimiliki perusahaan adalah seluas 218,4 hektare (76,6%) dan sisanya seluas 66,6 hektare dimiliki oleh petani plasma.[25]
Astra Agro Lestari berdiri pada 3 Oktober 1988 oleh kelompok usaha Astra International dengan nama PT Suryaraya Cakrawala dan kemudian berganti nama menjadi PT Astra Agro Niaga pada Agustus 1989. Nama perusahaan berganti nama menjadi Astra Agro Lestari pada 30 Juni 1997 ketika terjadi merger antara PT Suryaraya Bahtera dengan PT Astra Agro Niaga. Perusahaan berhasil memproduksi satu juta ton minyak kelapa sawit (crude palm oil) untuk pertama kalinya pada tahun 2009.[26]
Sampoerna Agro
suntingPer Desember 2018, Sampoerna Agro memiliki 170 ribu hektare lahan perkebunan yang telah ditanami baik kelapa sawit, karet dan sagu dari total kepemilikan seluas 363 ribu hektare. Khusus kelapa sawit, perusahaan memiliki 137 ribu hektare lahan yang telah ditanami dari total area perkebunan kelapa sawit yang dimiliki seluas 242 ribu hektare. Perusahaan juga memiliki delapan pabrik kelapa sawit berkapasitas 515 ton per jam. Area perkebunan tersebar di Sumatera Selatan seluas 120 ribu hektare (87 ribu hektare telah ditanami) dan Kalimantan seluas 122 ribu hektare (50 ribu hektare telah ditanami).[27]
Sampoerna Agro memiliki perusahaan di bawah naungannya pada tahun 1976, yakni PT Aek Tarum, kemudian pada tahun 1989 mulai melakukan penanaman kelapa sawit di kebun Mesuji dan Belida, di Sumatera Selatan. Pada tahun 1992, PT Binasawit Makmur didirikan dengan fokus untuk memproduksi bibit kelapa sawit. Baru pada tahun 1993, PT Selapan Jaya berdiri yang kemudian berganti nama menjadi PT Sampoerna Agro setelah diakuisisi oleh Grup Sampoerna pada tahun 2007.[28]
Perusahaan melalui PT Binasawit Makmur mengembangkan varietas bibit unggul kelapa sawit. Setelah pada tahun 1994 perusahaan melalui Binasawit Makmur memperoleh izin mendatangkan bibit kelapa sawit baru dari Kosta Rika bernama DxD, TxP, dan DxP, pada tahun 2004 , perusahaan kemudian meluncurkan bibit bernama DxP Sriwijaya 1-5 yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri ketika itu. Pada tahun 2014, BSM memperkenalkan tiga bibit varian baru bernama DxP Sriwijaya Semi Klon dan disetujui oleh Kementerian Pertanian tahun 2015.[28]
Sinar Mas Agro Resources and Technology
suntingPT Sinar Mas Agro Resources & Technology (SMART) memiliki lahan perkebunan kelapa sawit seluas 137.900 hektare per Desember 2018, terdiri dari perkebunan inti seluas 106.324 hektare dan perkebunan plasma seluas 31.304 hektare. Perusahaan juga memiliki 16 pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 4,2 juta metrik ton tandan buah segar per tahunnya.[29]
SMART bekerjasama dengan Centre de cooperation Internationale en Recherche Agronomique pour le Development (CIRAD) di bidang penelitian dan pengembangan kelapa sawit. PT Ivo Mas Tunggal, perusahaan afiliasi, memiliki kebun bibit Dami Mas berkapasitas 24 juta bibit per tahun. Pada tahun 2017, perusahaan meluncurkan bibit tanam baru berkualitas unggul yang dinamakan Eka 1 dan Eka 2. Perusahaan berdiri pada tahun 1962 dengan nama PT Maskapai Perkebunan Sumcama Padang Halaban.[29]
BLU kelapa sawit
suntingBerdasarkan amanat UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, pemerintah membentuk Badan Layanan Umum Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di bawah naungan Kementerian Keuangan, dengan tujuan menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan untuk digunakan mendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. BLU Kelapa Sawit resmi dibentuk pada 10 Juni 2015.[30]
Sejak berdiri tahun 2015 hingga 2021, BLU kelapa Sawit telah mengumpulkan penerimaan sebesar Rp 144,7 triliun. Hampir 50 persen atau setara Rp 72,45 triliun penerimaanya diperoleh pada tahun 2021 akibat tingginya harga CPO. Secara terperinci, penerimaan yang masuk ke BLU Kelapa Sawit pada tahun 2015 adalah sebesar Rp 6,97 triliun, 2016 Rp 12,3 triliun, 2017 Rp 14,79 triliun, 2018 Rp 15,46 triliun, 2019 Rp 1,48 triliun, dan 2020 Rp 21,27 triliun.[31] Pada semester I-2022, penerimaannya mencapai Rp 25,22 triliun.[32]
Regulasi dan isu-isu
sunting- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. UU ini mengharuskan adanya kewajiban memiliki izin usaha perkebunan dari gubernur dan bupati/walikota bagi yang akan melakukan usaha perkebunan, baik budidaya tanaman perkebunan maupun industri pengolahan hasil perkebunan dengan luasan dan kapasitas produksi tertentu. Selain itu, perusahaan perkebunan juga diharuskan melakukan kemitraan minimal selama tiga tahun.[24]
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Peraturan Menteri Pertanian ini mengatur luasan lahan yang harus mendapat izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) adalah lahan perkebunan di atas 25 hektare. Peraturan ini juga mengharuskan perusahaan mengalokasikan minimal 20% dari luas total area perkebunan yang dimilikinya untuk masyarakat, yang bisa dilakukan melalui pola kredit, hibah, atau bagi hasil. Surat izin usaha perkebunan untuk pengolahan (IUP-P) diharuskan bagi perusahaan yang mendirikan pabrik pengolahan berkapasitas minimal 5 ton tandan buah segar per jam.[24]
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1/Permentan/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun.[33]
Kontribusi
suntingPada tahun 2003, kelapa sawit pernah dipakai oleh pemerintah Indonesia untuk imbal dagang dalam pengadaan 4 pesawat berupa Sukhoi Su-27 dan Sukhoi Su-30. Imbal dagang mencakup 30 komoditas mulai dari kelapa sawit, karet, kakao, teh, kopi, tekstil, dan lainnya dengan total nilai US$ 192 juta; kelapa sawit berkontribusi sebesar US$ 15 juta. Komoditas tersebut harus dikapalkan ke Rusia pada bulan Mei-Juli dengan taksiran sekitar 37 ribu ton. Di tahun 2017, kelapa sawit juga digunakan dalam imbal dagang pengadaan 11 pesawat Sukhoi Su-35 senilai Rp 15,16 triliun. Imbal dagang tersebut dilakukan melalui PT Perusahaan Indonesia dengan Rostec Corporation.[34]
Pranala luar
suntingGabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (Indonesia Oil Palm Research Institute)
Daftar referensi
sunting- ^ a b c John D Watts, Silvia Irawan (Desember 2018). "Oil Palm in Indonesia" (PDF). Profor. Diakses tanggal 3 April 2020.
- ^ "Industri Minyak Sawit Indonesia Menarik Perhatian Dunia". Palm Oil Association of North Sumatera | GAPKI Sumatera Utara (Sumut). 2019-07-06. Diakses tanggal 2020-04-04.[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b c d e f g "Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia". Historia. Diakses tanggal 2020-04-04.
- ^ a b "Manis Pahit Kelapa Sawit". Historia. Diakses tanggal 2020-04-04.
- ^ a b "Sejarah Kelapa Sawit Indonesia". Indonesian Palm Oil Association (GAPKI IPOA) (dalam bahasa Inggris). 2017-11-28. Diakses tanggal 2020-04-03.
- ^ a b c d e Farocha. "Kelapa Sawit Tertua di Kebun Raya Bogor". ANTARA News. Diakses tanggal 2020-04-04.
- ^ "Tanah untuk Rakyat". Historia. Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ a b c d e Halimatussa’diah Simangunsong, Suprayitno (2019). "Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing di Aceh Timur (1945-1968)". Sindang, jurnal pendidikan sejarah dan kajian sejarah. 1 (2): 70. ISSN 2623-2065.
- ^ a b Suprayitno, Indera (10 Februari 2004). "Pengaruh Pertumbuhan Industri Karet Terhadap Kuli Kontrak Di Sumatera Timur 1904-1920" (PDF). Usu.ac.id. Diakses tanggal 10 April 2020.
- ^ "Sejarah Terbentuknya PPKS". IOPRI. 2016-02-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-12. Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ Budidarsono, Suseno; Susanti, Ari; Zoomers, Annelies (2013-01-23). Fang, Zhen, ed. Biofuels - Economy, Environment and Sustainability (dalam bahasa Inggris). InTech. hlm. 176. doi:10.5772/53586. ISBN 978-953-51-0950-1.
- ^ "History". Sime Darby Plantation (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-05. Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ "History | Sime Darby Berhad". www.simedarby.com. Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ a b c d e "Key dates Socfin". www.socfin.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-05.
- ^ a b c d "Socfindo Sustainability Report 2018" (PDF). Socfin.com. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-18. Diakses tanggal 5 April 2020.
- ^ Halimatussa’diah Simangunsong, Suprayitno (2019). "Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing di Aceh Timur (1945-1968)". Sindang, jurnal pendidikan sejarah dan kajian sejarah. 1 (2): 70. ISSN 2623-2065.
- ^ a b "Profil Lonsum". www.londonsumatra.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-04-04.
- ^ a b c d e "Materi Paparan Publik UNSP" (PDF). www.idx.co.id. 29 November 2019. Diakses tanggal 4 April 2020.
- ^ "Sekilas Perjalanan Sawit di Indonesia". Indonesian Palm Oil Association (GAPKI IPOA). 2016-09-09. Diakses tanggal 2020-04-04.
- ^ a b "Inilah Bidang-bidang Usaha yang Dinasionalisasi". Historia. Diakses tanggal 2020-04-08.
- ^ "Sejarah PTPN 1". PTPN1.co.id. Diakses tanggal 4 April 2020.
- ^ Redaksi (2020-03-30). "PIR Sawit? Sejarahnya Gimana, Sih?". Warta Ekonomi. Diakses tanggal 2020-04-06.
- ^ "Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan (Bagian XXV)". Majalah Sawit Indonesia. 2018-09-16. Diakses tanggal 2020-04-03.
- ^ a b c d "Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit" (PDF). KPPU.go.id. Diakses tanggal 10 April 2020.
- ^ "Materi Paparan Publik Astra Agro Lestari" (PDF). www.idx.co.id. 10 April 2019. Diakses tanggal 4 April 2020.
- ^ "Laporan Tahunan 2019 Astra Agro Lestari" (PDF). www.idx.co.id. 17 Maret 2020. Diakses tanggal 4 April 2020.
- ^ "Materi paparan publik tahun 2019" (PDF). www.idx.co.id. Diakses tanggal 12 April 2020.
- ^ a b "Laporan Tahunan 2019" (PDF). www.idx.co.id. Diakses tanggal 12 April 2020.
- ^ a b "Laporan Tahunan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology" (PDF). www.idx.co.id. Diakses tanggal 12 April 2020.
- ^ "Sekilas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit". situs resmi Badan Pengelola Dana Perkebunan. 2020-03-16. Diakses tanggal 2022-09-28.
- ^ "BLU Kelapa Sawit Kumpulkan Penerimaan Rp 144,7 Triliun Sejak 2015". Katadata. 2022-03-21.
- ^ Habibah, Astrid Faidlatul (2022-08-04). Yunianto, Faisal, ed. "Kemenkeu: Pendapatan BLU turun imbas penurunan pengelolaan dana sawit". ANTARA News.
- ^ "Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit". Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit. 12 Juli 2018. Diakses tanggal 29 Januari 2021.
- ^ "Pesawat Sukhoi Rasa Minyak Sawit". Historia. Diakses tanggal 2020-04-10.