Suku Sunda adalah suku bangsa yang umumnya mendiami pulau Jawa bagian barat. Pada tahun 1998, suku Sunda berjumlah kurang lebih 33 juta jiwa,[1] dengan kebanyakan dari mereka mendiami Provinsi Jawa Barat dan Banten serta sekitar 3 juta jiwa mendiami di provinsi lain. Diantara mereka, masyarakat Sunda yang mendiami perkotaan mencapai 34,51%.

Sebagai suatu suku bangsa yang cukup besar, Sunda merupakan cikal-bakal berdirinya beberapa peradaban di Nusantara, dimulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, yakni Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang.[2]

Sistem kepercayaan

sunting

Suku Sunda tidak seperti kebanyakan suku lainnya di Nusantara; suku Sunda memiliki catatan lengkap, legenda, fabel bahkan mitos tentang penciptaan dan Pantun yang menjelaskan asal mula suku ini. Para peneliti, arkeolog, sejarawan, ahli bahasa dalam dan luar negeri pada abad 21 masehi bahkan mengidentifikasi dalam sejarah modern bahwa Teori kedatangan manusia ke pulau Nusantara, terbagi menjadi 3 (tiga). Yaitu Teori Out of Yunan, Teori Out of Africa dan Teori Out of Sundaland.

Dalam Gotrasawala / seminar Sejarah Nusantara di Keraton Cirebon pada abad 17 masehi, ketika Kesultanan Cirebon maupun Kesultanan Banten masih berdaulat penuh sebagai kerajaan. Maka kedatangan manusia Prasejarah ke Nusantara tertuang dalam naskah saduran berjudul Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa.

Naskah asli bertarikh selesai tanggal 9 Çuklapaksa Maghamasa (1605 Saka =1683 Masehi). Penyusun kitab asli terdiri dari 12 orang, yaitu tujuh orang jaksa kerajaan Cirebon, dan seorang pujangga dari Sunda, Arab, Banten dan seorang lagi. Mereka semua dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta. Kitab yang asli mulai dikerjakan pada tahun Saka sruti-sirna-ewahing-bhumi (1604 Saka = 1682 Masehi). Sementara naskah-naskah saduran dikerjakan sekitar tahun 1888 masehi terlihat dari sebuah naskah yang telah diuji fisiknya secara kimiawi. Pengujian yang dilakukan di Arsip Nasional menyimpulkan bahwa kertas yang digunakan untuk menuliskan naskah saduran umurnya sekitar 100 tahun (laporan tahun 1988).

Di Situs Dago Pakar di Bandung Utara, pada 120.000 tahun yang lalu telah ditemukan pemukiman manusia purba yang berperadaban. Kenyataan ini diperkuat dengan bukti hasil beberapa penemuan berupa artefak-artefak, seperti Batu Kapak dari bahan obsidian, anak panah (besi campuran) dan peralatan batu lainnya. Ternyata manusia Sunda Purba, sudah tinggi budayanya.

Untuk membuat mata anak panah ini, ternyata manusia purba Sunda pada jaman itu sudah mempergunakan sistem percampuran (cor).  Bahan-bahan mineralnya seperti silika amorf yang pada saat ini banyak ditemukan di daerah dataran Tinggi Bandung. Sistem percampuran mineral ini terlihat dari penemuan cetakan senjata (mata anak panah) terbuat dari perunggu.

Pakar yang jauhnya kira-kira 5 km dari pusat kota Bandung, merupakan pemukiman manusia pra sejarah, yang jauh lebih tua umurnya dari kerajaan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Situs Pasir Angin adalah salah satu situs arkeologi yang berada di Bogor. Situs ini merupakan salah satu situs yang pernah dihuni oleh manusia Sunda pada masa logam awal atau pada masa perundagian. Analisis C-14 terhadap arang yang ditemukan di situs Pasir angin yang telah dikirim Australia National University di Kota Canberra, empat buah yang dijadikan contoh telah menghasilkan tanggal absolut yang berkisar antara 1000 tahun sebelum Masehi sampai 1000 Masehi

Berdasarkan perkiraan itu, maka dapat disimpulkan adalah orang Sunda telah menguasai teknologi logam selama 2000 tahun yang lalu. Situs ini menjadi sangat penting juga karena menjadi bukti nyata bahwa manusia Sunda sudah menetap, yang berlangsung selama masa prasejarah, proto sejarah, dan masa sejarah. Sebentuk topeng yang terbentuk dari emas ditemukan di situs Pasir Angir, Bogor tersebut.

Situs Buni

Sementara di situs Buni ditemukan perhiasan emas berbentuk telor ikan, kembang kelapa, tali sepatu, songko haji berbahasa Arab bertuliskan ”Haji Saka”, corong lampu, pedang, kendi dan penutup mata emas. Bersamaan dengan ditemukannya  perhiasan emas, juga ditemukan tulang dan tengkorak manusia. Dari situ menunjukkan masyarakat Sunda kala itu juga menggunakan perhiasan sebagai bekal kubur  untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia.

Perkembangannya kemudian menunjukkan bahwa Buni bukan hanya sekedar sebuah situs kecil, melainkan suatu komplek kebudayaan yang cukup luas dengan cakupan di sepanjang pantai utara Jawa Barat, di daerah aliran Sungai Cisadane, Ciliwung, Bekasi, Citarum, dan Cipagare, sehingga dinamakan dengan komplek kebudayaan Buni.

Komplek ini mempunyai wilayah sebaran yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok Tanggerang, Kelompok Bekasi dan kelompok Rengasdengklok. Kelompok Tangerang terdiri atas situs-situs Serpong, Curug dan mauk.

Temuan Gerabah dari Kawasan Budaya Buni, diduga ada yang berasal dari Arikamendu (India Selatan) abad ke-4 M. Gerabah Arikamedu umumnya ditemukan pada kedalaman di atas 2 meter dan bercampur dengan Gerabah-gerabah Komplek Buni. Dari hasil analisis laboratorium, diketahui pula bahwa bahan pembuat tembikar Arikamedu berbeda dengan tembikar-tembikar lain yang ditemukan di Candi Blandongan, Situs Batujaya, Kabupaten Karawang.

Kelompok Bekasi terdiri atas atas Buni, Kerangkeng, Puloglatik, Pulo Rengas, Kedungringin, Bulaktemu, Rawa Menembe, Batujaya dan Tugu. Kelompok Rengasdengklok terdiri atas Babakan Pedes, Tegalkunir, Kampung

Krajan, PuloKlapa, Cibutek, Kebakkendal, Karangjati dan Cilogo.

Dengan demikian dapat diduga masyarakat Sunda kuno pendukung tradisi tembikar Komplek Buni (tradisi prasejarah) telah melakukan kontak dengan luar negeri (Indis) melalui pelayaran dan perdagangan yang kemudian berkembang menjadi sebuah masyarakat pendukung Budaya Buni.

Situs Buni menyimpan keunggulan peradaban dan kekayaan arkeologis yang berasal dari zaman neolitikum, paleometalik, hingga Kerajaan Tarumanegara yang membentang antara tahun 2300 SM - 800 Masehi.

Dalam dunia arkeologi Indonesia, Buni merupakan situs penting. Disebut sebagai Harta Karun Neolitikum. Situs Buni memiliki ciri-ciri budaya prasejarah dari masa perundagian, seperti bermacam-macam gerabah, beliung persegi, kapak batu, gelang batu, manik-manik batu, bandul jaring, artefak logam perunggu dan besi, serta tulang belulang.

Situs Batujaya Karawang

Peradaban Sunda di situs Batujaya menyimpan artefak berupa bekal kubur yang sangat kaya (berupa puluhan periuk, manik, dan perhiasan emas) namun ada juga yang hanya diberi beberapa wadah periuk. Salah satu artefak menarik yang termasuk jarang ditemukan adalah penutup mata yang terbuat dari emas.

Penutup mata ini ditemukan di sektor lempeng, Batujaya-Karawang yang tampaknya merupakan areal penguburan pada masa Buni karena lebih dari 25 individu telah ditemukan di sektor ini.

Penutup mata ini ternyata ditemukan pada seorang anak kecil (balita) yang dikuburkan. Hal ini menjadi menarik karena biasanya penutup mata emas ini digunakan oleh seorang dewasa. Temuan penutup mata emas dari Batujaya sebenarnya bukanlah yang pertama karena penutup serupa pernah dilaporkan pula ditemukan di Rengasdengklok oleh penduduk sekitar tahun 1970-an.

Menunjukkan bukti pada masa itu sudah ada kelompok masyarakat Sunda yang memiliki keahlian mengolah logam termasuk emas untuk membuatnya menjadi penutup mata. Secara teknik, lembaran emas dibuat dengan memukul emas dengan palu sampai menjadi lembaran emas yang tipis, menggoreskan atau memotongnya dengan alat yang tajam sesuai dengan keinginan.

Berdasarkan analisis radiometri karbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di Candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12 Masehi.

Luas kompleks Situs Batujaya mencapai 5 kilometer persegi atau 500 hektar yang merupakan kompleks percandian terluas dan tertua di Indonesia.

Dari hasil penelitian percandian Batujaya yang telah ada sejak abad kedua ini. Selain merupakan peninggalan dari Kerajaan Tarumanegara pada abad 4 hingga 7 masehi. Namun jauh sebelum itu, di wilayah percandian Batujaya juga ditemukan artefak dan fosil-fosil pra sejarah masyarakat buni dan pendahulunya.

Kepercayaan mereka membentuk fondasi dari apa yang kini disebut sebagai agama asli orang Sunda (Sunda Wiwitan). Meskipun tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti seperti apa kepercayaan tersebut, tetapi petunjuk yang terbaik ditemukan dalam puisi-puisi epik kuno (Wawacan) dan diantara suku Badui yang terpencil.

Sama seperti orang Sunda pada umumnya, suku Badui menyebut agama asli mereka sebagai Sunda Wiwitan. Bukan hanya suku Badui yang hampir bebas sama sekali dari elemen-elemen Islam, tetapi suku Sunda juga memperlihatkan karakteristik Hindu yang sedikit sekali. Beberapa kata dalam bahasa Sansekerta yang berhubungan dengan mitos masih tetap ada. Dalam monografnya, Robert Wessing mengutip beberapa sumber yang menunjukkan suku Sunda secara umum, "The Indian belief system did not totally diplace the indigenous beliefs, even at the court centers." Berdasarkan pada sistem tabu, agama suku Badui bersifat animistik. Mereka percaya bahwa roh-roh yang menghuni batu-batu, pepohonan, sungai, dan objek tidak bernyawa lainnya. Roh-roh tersebut melakukan hal-hal yang baik maupun jahat, tergantung pada ketaatan seseorang kepada sistem tabu tersebut. Ribuan kepercayaan tabu digunakan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari.

Pengaruh Hinduisme

sunting

Banyak Karya sastra Sunda salah satunya terkenal adalah Carita Parahyangan. Karya ini ditulis sekitar tahun 1000 M dan mengagungkan raja Jawa Sanjaya sebagai prajurit besar. Sanjaya adalah pengikut Shiwaisme sehingga kita tahu bahwa pengaruh dari India berupa agama Hindu telah berakar di Pulau Jawa dengan kuat sebelum tahun 700 M. Terbukti dengan banyaknya candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Di antara orang Sunda dan juga orang Jawa, ajaran Hinduisme dan Budha bercampur dengan penyembahan nenek moyang kuno. Namun orang Sunda juga telah mengenal peradaban Monoteisme (Islam) pada abad 6 masehi, sebagaimana kisah Rakean Sancang salah Putra Raja Tarumanagara yang telah menjadi murid Ali bin Abi Thalib. Kebiasaan perayaan hari-hari ritual setelah kematian salah seorang anggota keluarga masih berlangsung hingga kini. Pandangan Hindu tentang kehidupan dan kematian mempertinggi nilai ritual-ritual seperti ini. Dengan variasi-variasi yang tidak terbatas pada tema mengenai tubuh spiritual yang hadir bersama-sama dengan tubuh natural, orang Indonesia telah menggabungkan filsafat Hindu ke dalam kondisi-kondisi mereka sendiri. J.C. van Leur berteori bahwa Hinduisme membantu mengeraskan bentuk-bentuk kultural suku Sunda. Khususnya kepercayaan magis dan roh memiliki nilai absolut dalam kehidupan orang Sunda. Salah seorang pakar adat istiadat Sunda, Prawirasuganda, menyebutkan bahwa angka tabu yang berhubungan dengan seluruh aspek penting dalam lingkaran kehidupan perayaan-perayaan suku Sunda sama dengan yang ada dalam kehidupan suku Badui.

Pengaruh Sunda terhadap Kerajaan di Jawa

sunting

Kerajaan-kerajaan besar bangkit di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena pengaruh dari Kerajaan Sunda. Sebagaimana dalam naskah Wangsakerta, maka pendiri Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Sanjaya ini tertulis dalam prasasti di Gunung Wukir, merupakan Maharaja yang berasal dari Galuh. Berkuasa sebagai raja Sunda, raja Galuh sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya di Jawa tengah.

Sementara dalam Babad Tanah Jawi karya adiluhung dari Keraton Solo (Surakarta) tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa menyebutkan bahwa pendiri Majapahit bernama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Sementara naskah Wangsakerta dari Keraton Cirebon menyebutkan pendiri Majapahit adalah Raden Wijaya. Seorang putra dari Raja Sunda. Dan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengahdan Timur tersebut tidak terlepas dari peradaban Hindu yang lebih dulu berkembang di Jawa Barat yaitu kerajaan Tarumanagara dengan peninggalan tertua di Nusantara. Walaupun terbatas, pengaruh Hindu di antara orang-orang Sunda tidak sekuat pengaruhnya seperti di antara orang-orang Jawa. Pada zaman Airlangga di Jawa Timur kira-kira tahun 1020 M juga terjalin kekerabatan sebagai berikut.

Sri Jayabupati adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 – 1030 M). Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak - Sukabumi. Sementara dalam naskah Carita Parahiyangan, disebutkan seorang raja bernama Prabu Detya Maharaja yang berkuasa di Tanah Sunda selama 12 tahun dan di Galuh selama 7 tahun. Dalam naskah yang sama, Prabu Detya Maharaja juga disebut sebagai Raja Sunda yang ke-20 dengan nama lain Maharaja Sri Jayabuphati. Sang Maharaja berkuasa di Kerajaan Sunda sejak 1030 -1042 masehi, menggantikan ayahnya Prabu Sanghyang Ageung (1019-1030 m). Secara keseluruhan Jayabuphati tercatat memiliki tiga orang istri, yaitu Dewi Wulansari (puteri dari Sri Dharmawangsa Teguh/Kahuripan-Jawa Timur), Dewi Suddhiswari (puteri dari Kerajaan Sriwijaya), dan Bhatari Prethiwi atau Batari Pertiwi (puteri dari Kerajaan Galuh). Untuk kian memperkokoh persatuan dengan kerajaan-kerajaan tetangga, Sri Jayabuphati juga menikahkan adik-adiknya dengan raja-raja tetangga. Adik perempuan Jayabhupati diperisteri oleh Raja Wurawari dari Lwaram (sekarang Ngloram di sekitar Blora-Cepu Jawa Tengah). Ironisnya, Raja Wurawari adalah musuh dari Sri Dharmawangsa (mertua Jayabhupati) dan Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan.

Dari pernikahannya dengan Dewi Wulansari, Sri Jayabhupati dikaruniai empat orang anak, yaitu Prabu Darmaraja (menjadi Raja Sunda sepeninggal Sri Jayabhupati),  Panglima Suryanagara (Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sunda), Dewi Nirmala (dinikahi seorang menteri dari Kerajaan Bali), dan Dewi Sugara (dinikahi seorang menteri dari Kerajaan Kahuripan).

Kemolekan Tanah Sunda yang luarbiasa kita saksikan sendiri pada abad 20-21 masehi ini tidak pernah pudar. Maka berbagai bangsa dan negara berupaya menguasai dan menyerangnya. Sebagaimana klaim sepihak berbagai suku bangsa yang telah konon telah menaklukan Kerajaan Sunda. Pada masa Majapahit, terjadi beberapa kali serangan terhadap Sunda yang dilakukan Gajah Mada. Yang terbesar adalah Peristiwa Bubat, namun berakibat buruk. Selain tidak berhasil juga setelah peristiwa itu terdapat serangan balik Sunda, sebagaimana tertulis dalam Prasasti Horren. Setelah pemerintahan Kertanegara, raja-raja Majapahit memerintah hingga tahun 1478, tetapi mereka tidak penting lagi setelah tahun 1389. Ketika Majapahit runtuh tahun 1529 masehi oleh Kesultanan Demak, namun Kerajaan Sunda tetap berdiri tegak hingga tahun 1579 masehi. Pengaruh Islam terhadap Sunda yang terjalin sejak awal abad 6 masehi terus berlangsung hingga keturunan Sunda yaitu Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten dan Sumedang larang telah memiliki pemimpin Islam pada abad 14 hingga 17 masehi. Di Keraton Cirebon, Sultan memiliki permaisri dari keturunan Majapahit maupun Mataram Islam. Hingga Kesultanan Cirebon banyak menyimpan naskah-naskah Majapahit. Puncaknya adalah ketika budaya Wayang Sunda dan Batik diserap ke dalam budaya Mataram Islam yang kala itu dipimpin Sultan Agung Hanyokrokusumo. Maka terjadilah akulturisasi antara Sunda dan Jawa di Cirebon dan Banten. Mulai dari bahasa Sunda yang sebelumnya egaliter menjadi bahasa yang mengenal tingkatan bahasa. Seni budaya seperti wayang golek yang telah ada sejak zaman Sunda Pajajaran berupa Wayang Beber (koleksi kuno golek Pajajaran ada di Museum) diadaptasi oleh kesenian wayang kulit di Jawa. Kerajaan Sunda Pajajaran yang ratusan tahun lalu lebih dulu berdiri daripada Mataram Islam memberi pula pengaruh gamelan masuk ke kebudayaan Jawa. Selain itu, masih banyak lagi akulturasi bukti pengaruh budaya Sunda dan Jawa seperti baju tradisional Sunda dalam pernikahan, dan lain-lain karena hubungan kawin mawin tersebut. Dalam peta jalan yang dibangun Daendels bernama Jalan Pos dapat ditemukan bahwa abad 18-19 masehi, justru pusat industri batik ada di Cirebon. Disebelah barat Parahyangan terdapat pula Kesultanan Banten sebagai anak, cucu dan cicit Sunda-Pajajaran yang berkembang sebagai kerajaan modern dizamannya. Yang memiliki jalur perdagangan dengan bangsa-bangsa asing. Dengan gigih kerajaan Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa berjuang mengusir Kolonialisme Barat di Nusantara.

Pakuan Pajajaran

sunting

Pada tahun 1333 M, didirikan Pakuan Pajajaran di Kota Bogor sekarang sebagai ibukota Kerajaan Sunda. Di zaman itu, Sunda Kelapa merupakan pelabuhan penting di Nusantara, bahkan merupakan jalur perdagangan Asia. Hal tersebut menjadikan Sunda Kelapa didatangi oleh para pedagang dari Eropa dan Arab. Menurut sudut pandang dari Majapahit, Kerajaan Sunda dikalahkan oleh kerajaan Majapahit di bawah pimpinan perdana menterinya yang terkenal, Gajah Mada. Menurut cerita romantik Kidung Sunda, putri Sunda hendak dinikahkan dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit, tetapi Gajah Mada menentang pernikahan ini dan setelah orang-orang Sunda berkumpul untuk acara pernikahan, ia mengubah persyaratan. Ketika raja dan para bangsawan Sunda mendengar bahwa sang putri hanya akan menjadi selir dan tidak akan ada pernikahan seperti yang telah dijanjikan, mereka berperang melawan banyak rintangan tersebut hingga semuanya gugur akibat dari jumlah pasukan yang tidak seimbang (pasukan Sunda yang dikirim hanyalah pengawal rombongan pengantin). Meski permusuhan antara Sunda dan Jawa berlangsung selama bertahun-tahun setelah episode ini, tetapi pengaruh yang diberikan oleh orang Jawa tidak pernah berkurang terhadap orang Sunda.

Hingga saat ini, Kerajaan Sunda Pajajaran dianggap sebagai kerajaan Sunda tertua. Walaupun kerajaan ini hanya berlangsung selama tahun 1482-1579 M, banyak kegiatan dari para bangsawannya dikemas dalam legenda. Siliwangi, raja Sunda Pajajaran, digulingkan oleh orang Muslim dari Banten, Cirebon, dan Demak dalam persekongkolan dengan keponakannya sendiri. Dengan jatuhnya Siliwangi, Islam mengambil alih kendali atas sebagian besar wilayah Jawa Barat. Faktor kunci keberhasilan Islam adalah berkembangnya Islam di Cirebon kemudian menuju ke Banten dengan dukungan dari Demak dari ke Parahyangan sebelum tahun 1540 M. Dari sebelah timur menuju ke barat, Islam menguasai hingga ke Parahyangan (dataran tinggi Jawa Barat) dan mencapai seluruh wilayah Sunda.

Pengaruh Demak

sunting

Raden Patah menetap di Demak yang menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebelumnya di Cirebon telah berkembang komunitas Islam karena dukungan dari penguasa di Cirebon, hal ini bisa dilihat dengan adanya masjid pertama di Cirebon. Bernard Vlekke mengatakan bahwa Demak mengembangkan wilayahnya hingga Parahyangan karena politik Jawa tidak begitu berkepentingan dengan Islam. Pada waktu itu, Sunan Gunung Jati mengirim putranya Hasanuddin dari Cirebon, untuk mengubah orang-orang Sunda secara ekstensif kedalam Islam. Pada tahun 1526 M, baik Banten maupun Sunda Kelapa berada di bawah kontrol Sunan Gunung Jati yang menjadi Sultan Banten pertama. Penjajahan Cirebon dengan Demak ini telah menyebabkan Parahyangan berada di bawah kekuasaan Islam. Pada kuartal kedua abad ke-16, seluruh pantai utara Jawa Barat berada di bawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam dan penduduknya telah menjadi Muslim. Karena menurut data statistik penduduk tahun 1780 terdapat kira-kira 260.000 jiwa di Jawa Barat, dapat kita asumsikan bahwa pada abad ke-16 jumlah penduduk jauh lebih sedikit. Ini memperlihatkan bahwa Islam masuk ketika orang-orang Sunda masih merupakan suku kecil yang masyarakatnya mendiami pantai-pantai dan lembah-lembah sungai seperti Ciliwung, Citarum, dan Cisadane.

Pemurnian Islam

sunting

Ketika Islam masuk ke wilayah Sunda, memang ditekankan lima pilar utama agama, namun dalam banyak bidang yang lain dalam pemikiran keagamaan, sinkretisme berkembang dengan cara pandang orang Sunda mula-mula. Sejarawan Indonesia Soeroto yakin bahwa Islam dipersiapkan untuk hal ini di India. "Islam yang pertama-tama datang ke Indonesia mengandung banyak unsur filsafat Iran dan India. Namun justru komponen-komponen merekalah yang mempermudah jalan bagi Islam di sini." Para sarjana yakin bahwa Islam menerima kalau adat-istiadat yang menguntungkan masyarakat harus dipertahankan. Dengan demikian Islam bercampur banyak dengan Hindu dan adat istiadat asli masyarakat. Perkawinan beberapa agama ini biasa disebut "Kejawen" dalam masyarakat Jawa. Akibat percampuran Islam dengan sistem kepercayaan majemuk, yang sering disebut aliran kebatinan, memberi deskripsi akurat terhadap kekompleksan agama di antara suku Sunda saat ini.

Kolonialisme Belanda

sunting

Sebelum kedatangan Belanda di Indonesia pada 1596 M, Islam telah menjadi pengaruh yang dominan di antara kaum ningrat dan pemimpin masyarakat Sunda dan Jawa. Secara sederhana, Belanda berperang dengan pusat-pusat kekuatan Islam untuk mengontrol perdagangan di pulau Jawa dan hal ini menciptakan permusuhan yang memperpanjang konflik Perang Salib masuk ke Nusantara. Pada 1641 M, Belanda mengambil alih Malaka dari Portugis dan memegang kontrol atas jalur-jalur laut. Tekanan Belanda terhadap Kerajaan Mataram sangat kuat hingga mereka mampu merebut hak-hak ekonomi khusus di daerah pegunungan (Parahyangan) Jawa Barat. Sebelum 1652 M, daerah-daerah besar Jawa Barat merupakan persediaan mereka. Ini mengawali 300 tahun eksploitasi Belanda di Jawa Barat yang hanya berakhir pada saat Perang Dunia II.

Peristiwa-peristiwa pada abad ke-18 menghadirkan serangkaian kesalahan Belanda dalam bidang sosial, politik, dan keagamaan. Seluruh dataran rendah Jawa Barat menderita di bawah persyaratan-persyaratan yang bersifat opresif yang dipaksakan oleh para penguasa lokal. Contohnya adalah daerah Banten. Pada tahun 1750, rakyat mengadakan revolusi menentang kesultanan yang dikendalikan oleh seorang wanita Arab, Ratu Sjarifa. Menurut Ayip Rosidi, Ratu Sjarifa adalah kaki tangan Belanda. Namun, Vlekke berpendapat bahwa "Kiai Tapa", sang pemimpin, adalah seorang Hindu, dan bahwa pemberontakan itu lebih diarahkan kepada pemimpin-pemimpin Islam daripada kolonialis Belanda.

Pada pergantian abad ke-19, VOC gulung tikar dan Napoleon menduduki Belanda. Pada 1811 M, Inggris menjadi pengurus Hindia Timur Belanda. Salah satu inisiatif mereka adalah membuka negeri ini terhadap kegiatan misionaris. Walaupun demikian, hanya sedikit yang dilakukan di Jawa hingga pertengahan abad tersebut. Kendati demikian, beberapa fondasi telah diletakkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menjadi model bagi pekerjaan di antara orang Sunda.

Sistem kebudayaan

sunting

Kesalahan politik yang paling terkenal yang dilakukan Belanda dimulai pada tahun 1830 M. Kesalahan politik ini disebut sebagai "Sistem Budaya" (Cultuurstelsel), tetapi sebenarnya lebih tepat jika disebut sistem perbudakan. Sistem ini mengintensifkan usaha-usaha pemerintah untuk menguras hasil bumi yang lebih banyak yang dihasilkan dari tanah ini. Sistem budaya ini memeras seperlima hasil tanah petani sebagai pengganti pajak. Dengan mengadakan hasil panen yang baru seperti gula, kopi, dan teh, maka lebih besar lagi tanah pertanian yang diolahnya. Pengaruh ekonomi ke pedesaan bersifat dramatis dan percabangan sosialnya penting. Melewati pertengahan abad, investasi swasta di Jawa Barat mulai tumbuh dan mulai bermunculan perkebunan-perkebunan. Tanah diambil dari tangan petani dan diberikan kepada para tuan tanah besar. Menjelang tahun 1870 M, hukum agraria dipandang perlu untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah.

Pertumbuhan populasi di Jawa

sunting

Pada tahun 1851 M di Jawa Barat, suku Sunda berjumlah 786.000 jiwa. Dalam jangka waktu 30 tahun jumlah penduduk menjadi dua kali lipat. Parahyangan menjadi titik pusat perdagangan barang yang disertai arus penguasa dari Barat serta imigran-imigran Asia (kebanyakan orang Tionghoa). Pada awal abad ke-19 diperkirakan bahwa sepertujuh atau seperdelapan pulau Jawa merupakan hutan dan tanah kosong. Pada tahun 1815 M seluruh Jawa dan Madura hanya memiliki 5 juta penduduk. Angka tersebut bertambah menjadi 28 juta menjelang akhir abad tersebut dan mencapai 108 juta pada tahun 1990 M. Pertumbuhan populasi di antara orang Sunda mungkin merupakan faktor non-religius yang paling penting di dalam sejarah suku Sunda.

Konsolidasi pengaruh Islam

sunting

Karena lebih banyak tanah yang dibuka dan perkampungan-perkampungan baru bermunculan, Islam mengirim guru-guru untuk tinggal bersama-sama dengan masyarakat sehingga pengaruh Islam bertambah di setiap habitat orang Sunda. Guru-guru Islam bersaing dengan Belanda untuk mengontrol kaum ningrat guna menjadi pemimpin di antara rakyat. Menjelang akhir abad, Islam diakui sebagai agama resmi masyarakat Sunda. Kepercayaan-kepercayaan yang kuat terhadap banyak jenis roh dianggap sebagai bagian dari Islam. Kekristenan yang datang ke tanah Sunda oleh para penjajah pada pertengahan abad memberikan dampak yang sedikit saja kepada orang-orang Kristen Sunda yang berjumlah sangat sedikit.

Reformasi abad ke-20

sunting

Sejarah Sunda pada abad ke-20 dimulai dengan reformasi di banyak bidang. Pemerintah Belanda mengadakan kebijakan etis pada tahun 1901 karena dipengaruhi oleh kritik yang tajam di berbagai bidang. Reformasi ini terutama terjadi dalam bidang ekonomi, meliputi perkembangan bidang pertanian, kesehatan, dan pendidikan. Rakyat merasa diasingkan dengan tradisi ningrat mereka sendiri dan Islam menjadi juru bicara mereka menentang ekspansi imperialis besar yang sedang berlangsung di dunia melalui serangan ekonomi negara-negara Eropa. Islam merupakan salah satu agama utama yang mencoba menyesuaikan diri dengan dunia modern. Gerakan reformator yang dimulai di Kairo pada tahun 1912 M diekspor ke mana-mana. Gerakan ini menciptakan dua kelompok utama di Indonesia. Kelompok tersebut adalah Sarekat Islam yang diciptakan untuk sektor perdagangan dan bersifat nasionalis. Kelompok yang lain adalah Muhammadiyah yang tidak bersifat politik, tetapi berjuang untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan, kesehatan, dan keluarga.

Karakteristik sejarah Sunda

sunting

Yang menonjol dalam sejarah orang Sunda adalah hubungan mereka dengan kelompok-kelompok lain. Orang Sunda memiliki sangat banyak karakteristik dalam sejarah mereka sendiri, sebagaimana tertulis dalam abad 15 masehi Siksa Kanda Karesian dalam bahasa Sunda dan aksara Sunda. Salah satu tokoh yang berjuang sangat keras untuk melestarikan budaya, bahasa dan kesenian Sunda yaitu Ayip Rosidi. Beliau menyusun dan menerbitkan Ensiklopedi Manusia Sunda.

Secara historis, orang Sunda sangat memainkan peranan penting dalam urusan-urusan nasional. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bisa terlaksana dan terwujud di Jakarta. Jakarta adalah penamaan yang diberikan Jepang pada tahun 1942 masehi. Sebelum itu kota ini diberi nama Batavia oleh VOC dan Belanda sejak abad 17 masehi. Saat Jakarta direbut Banten pada abad 16 masehi dari Kerajaan Sunda-Pajajaran diberi nama Jayakarta. Saat Dibawah Kerajaan Sunda, nama Jakarta ini bernama Sunda Kalapa sebagaimana catatan Tome Pires, pelaut Portugis. Sementara abad 4 masehi, wilayah Jakarta dan Bekasi sebagai lokasi ibukota Kerajaan Tarumanagara dinamakan Sundapura. Banyak peristiwa dan keputusan penting di Jawa Barat yang berpengaruh secara nasional. Pembagian Pulau Jawa menjadi tiga provinsi menjadi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1925 terjadi di Tanah Sunda. Demikianpun ketika tanggal 18 Agustus 1945 diputuskan menjadi 8 provinsi saat Indonesia merdeka diputuskan di Tanah Sunda/Jakarta. Gotong royong, musyawarah, berbagi peran, saling emphati dan simpati merupakan ciri khas karakteristik Sunda. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa dipertahankan kemerdekaan walaupun demikian banyaknya pemberontakan setelah tahun 1945. Tahun 1904 Rd. Dewi Sartika, pelopor Pendidikan Perempuan Indonesia, Pendiri Sakola Kautamaan Istri (16 Januari 1904), Pahlawan Nasional Republik Indonesia menyerukan konsep : 1. "Di samping pendidikan yang baik, perempuan bumiputra harus dibekali pelajaran yang bermutu. Perluasan pengetahuan akan sangat berpengaruh bagi moral kaum perempuan bumiputra. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnya dari sekolah.” 2. "Hanya dengan Pendidikan kita akan tumbuh menjadi suatu bangsa.”

Memang hanya sedikit orang Sunda yang menjadi ditulis dengan tinta emas dalam buku-buku dan patung-patung sebagai pemimpin, baik dalam hal konsepsi maupun implementasi dalam aktivitas-aktivitas nasional. Mudah dipahami karena orang Sunda yang 99% beragama Islam sejak berabad-abad silam, tentu saja melarang berbangga-bangga dan menuliskan jasa-jasa apalagi merasa paling benar dan jumawa. Ditambah lagi karena prosesi dan perjuangan untuk menuju kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 terjadi di tanah Sunda selama ratusan tahun, maka tentu saja sangat banyak orang Sunda yang terlibat. Beda dengan saudara-saudara yang datang dari jauh ke Tanah Sunda untuk sekolah, bekerja dan berusaha mudah dikenal karena berbeda bahasa, adat, tabiat dari orang-orang di lingkungan sekitarnya. Tokoh Sunda berperan penting dan strategis dalam menentukan arah kepentingan nasional Indonesia saat ini.

Orientasi keagamaan abad ke-20

sunting

Agama di antara orang Sunda adalah seperti bentuk-bentuk kultural mereka yang lain yang pada umumnya, mencerminkan agama monoteisme dari Timur Tengah, sebagian kecil Hindu Budha orang Jawa, Katolik Protestan. Perbedaan yang penting adalah ketaatan yang lebih kuat kepada Islam dibanding dengan apa yang dapat ditemukan di antara orang Jawa. Dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Indonesia dengan pemeluk Islam 99% maka ketaatan bisa sebanding dengan suku Madura atau Bugis, tetapi cukup penting untuk mendapat perhatian khusus bila kita melihat sejarah orang Sunda.

Salah satu aspek yang juga sangat penting dalam agama-agama orang Sunda adalah dominasi kepercayaan-kepercayaan pra-Islam. Kepercayaan itu merupakan fokus utama dari mitos dan ritual dalam upacara-upacara dalam lingkaran kehidupan orang Sunda. Upacara-upacara tali paranti (tradisi-tradisi dan hukum adat) selalu diorientasikan terutama di seputar penyembahan kepada Dewi Sri (Nyi Pohaci Sanghiang Sri). Kekuatan roh yang penting juga adalah Nyi Roro Kidul, tetapi tidak sebesar Dewi Sri; ia adalah ratu Laut Selatan sekaligus pelindung semua nelayan. Di sepanjang pantai selatan Jawa, rakyat takut dan selalu memenuhi tuntutan dewi ini hingga sekarang. Contoh lain adalah Siliwangi. Siliwangi adalah kuasa roh yang merupakan kekuatan dalam kehidupan orang Sunda. Ia mewakili kuasa teritorial lain dalam struktur kosmologis orang Sunda.

Mantra-mantra magis

sunting

Dalam penyembahan kepada ilah-ilah, sistem mantra magis juga memainkan peran utama berkaitan dengan kekuatan-kekuatan roh. Salah satu sistem tersebut adalah Ngaruat Batara Kala yang dirancang untuk memperoleh kemurahan dari dewa Batara Kala dalam ribuan situasi pribadi. Rakyat juga memanggil roh-roh yang tidak terhitung banyaknya termasuk arwah orang yang telah meninggal dan juga menempatkan roh-roh (jurig) yang berbeda jenisnya. Banyak kuburan, pepohonan, gunung-gunung dan tempat-tempat serupa lainnya dianggap keramat oleh rakyat. Di tempat-tempat ini, seseorang dapat memperoleh kekuatan-kekuatan supranatural untuk memulihkan kesehatan, menambah kekayaan, atau meningkatkan kehidupan seseorang dalam berbagai cara.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Budayasunda (2017-04-26). "Asal Usul Sejarah Singkat Suku Sunda". Budaya Sunda (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-11-15. 
  2. ^ Bu, Bambang (2022-08-31). "Sejarah Sunda Cikal Bakal Berdirinya Peradaban di Nusantara. Melahirkan Peradaban Besar Dunia - Insiden 24". Sejarah Sunda Cikal Bakal Berdirinya Peradaban di Nusantara. Melahirkan Peradaban Besar Dunia - Insiden 24. Diakses tanggal 2022-11-15. 

Bacaan lebih lanjut

sunting
  • Roger L. Dixon, Veritas 1/2 (Oktober 2000), h. 203-213 (pdf Diarsipkan 2010-12-15 di Wayback Machine.)
  • Cosmology and Social Behavior in a West Java Settlement (Ohio University Center for International Studies, 1978) 16.
  • Edi S. Ekadjati, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984) 93.
  • Indonesia di Tengah-tengah Dunia dari Abad ke Abad Vol. 2 (1978) 177-178.
  • Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.
  • Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000
  • Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
  • Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
  • Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
  • Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Pranala luar

sunting