Sastra hijau adalah sastra yang merepresentasikan kepedulian dan keberpihakan pengarang pada kelestarian ekologi, dengan mengangkat tema-tema lingkungan hidup dan kesejahteraan bersama dalam karya-karya sastra mereka[1]. Representasi tersebut bisa tergambar di dalam penokohan, alur, dan latar (prosa dan drama), di dalam diksi atau untaian kata-kata, seperti di dalam puisi. Para sastrawan dan penulis hadir untuk memberi ajakan untuk bersama menjaga dan menyelamatkan bumi dengan karya-karya sastra hijau[2]. Ide yang dimunculkan pada umumnya merupakan bentuk tanggapan mereka ketika melihat, mengalami, dan merasakan pengalaman dari lingkungan sekitar atau tempat yang mereka tinggali. Pengalaman dan perenungan tersebut mereka tuangkan dalam tulisan yang dikemas dalam bentuk sastra hijau. Sastra hijau menjadi salah satu interdisipliner dalam bidang sastra dan ekologi (lingkungan). Sejak tahun 70-an, sastra hijau sudah digaungkan oleh aktivis lingkungan di Amerika Latin, khususnya Brazil akibat perusakan hutan oleh para pengusaha kayu. Pada awal tahun 90-an, literatur barat menyebut ini dengan istilah ecocriticism. Sastra hijau memiliki tujuan untuk menyadarkan penghuni bumi agar dapat mengubah gaya hidup perusak bumi menjadi pemelihara bumi.

Tokoh Sastra Hijau

sunting

Cheryll Glotfety adalah profesor sastra dan lingkungan di Fakultas Sastra Universitas Nevada, Reno, Amerika Serikat (AS) merupakan tokoh pertama dan utama yang mengangkat isu lingkungan hidup. Ia menjadi salah satu aktivis lingkungan yang mengawali diskusi tentang sastra dan lingkungan hingga membuatnya sebagai disiplin ilmu baru dengan istilah ecocriticism. Ia bersama beberapa kawannya kemudian mendirikan perkumpulan yang bergerak di bidang literasi dan mencakup isu lingkungan bernama Association for the Study of Literature and Environment (ASLE)[3]. Asosiasi ini menerbitkan jurnal Interdisciplinary Studies in Literature and Environment (ISLE). Jurnal tersebut selain berisi tentang sastra dan lingkungan, juga memuat kritik sastra lingkungan yang ada kaitannya dengan ecocriticism.

Karya Sastra Hijau di Indonesia

sunting

Beberapa sastrawan Indonesia yang menulis karya dengan muatan sastra hijau, antara lain Ahmad Tohari dalam cerpennya Paman Doblo Merobek Layang-Layang (1997), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), dan novel karya Martin Aleida Jamangilak Tak Pernah Menangis (2004)[4].

Ciri-Ciri

sunting

Beberapa kriteria karya sastra yang ditulis oleh sastrawan dan masuk dalam kategori sastra hijau, yaitu bahasa dalam karya sastra banyak memuat diksi ekologi, seperti kepekaan terhadap lingkungan, perlawanan ketidakadilan dari perusakan bumi, menyuarakan ketertindasan akan eksploitasi alam.

Referensi

sunting
  1. ^ SP, RANANG AJI (2021-03-30). "Sastra Hijau Sastra Berpihak". kompas.id. Diakses tanggal 2024-02-25. 
  2. ^ Sholihah, Risa Yanuarti (2021). "Sastra Hjau Penyelamat Bumi". BASA Journal of Language and Literature. 1: 44. doi:https://doi.org/10.33474/basa.v1i2.13603 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ "The Association for the Study of Literature and Environment (ASLE)". Environment & Society Portal (dalam bahasa Inggris). 2017-08-03. Diakses tanggal 2024-02-25. 
  4. ^ SP, RANANG AJI (2021-03-30). "Sastra Hijau Sastra Berpihak". kompas.id. Diakses tanggal 2024-02-21.