Sastra Melayu

(Dialihkan dari Sastra Melayu klasik)

Sastra Melayu adalah karya sastra yang bermula pada abad ke-16 Masehi. Semenjak itu sampai sekarang gaya bahasanya tidak banyak berubah. Dokumen pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik adalah sepucuk surat dari raja Ternate, Sultan Abu Hayat kepada raja João III di Portugal dan bertarikhkan tahun 1521 Masehi.

Jenis-jenis sastra Melayu yaitu

sunting

Gurindam

sunting

Gurindam adalah salah satu jenis puisi yang memadukan antara sajak dan peribahasa. Jumlah baris pada gurindam hanya dua dengan rima a-a. Gurindam berisi ajaran yang berkaitan dengan budi pekerti dan nasihat keagamaan. Baris pada gurindam disebut sebagai syarat dan akibat. Syarat merupakan baris pertama dan akibat sebagai baris kedua.[1] Baris pertama membahas tentang persoalan, masalah atau perjanjian, sedangkan baris kedua memberitahukan jawaban atau penyelesaian dari bahasan pada baris pertama.[2]

contoh:

Pabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang

Dengan ibu hendaknya hormat
Supaya badan dapat selamat

Gurindam Dua Belas

sunting

Kumpulan gurindam yang dikarang oleh Raja Ali Haji dari Kepulauan Riau. Dinamakan Gurindam Dua Belas oleh karena berisi 12 pasal, antara lain tentang ibadah, kewajiban raja, kewajiban anak terhadap orang tua, tugas orang tua kepada anak, budi pekerti dan hidup bermasyarakat.

Hikayat

sunting

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa yang berisikan tentang kisah, cerita, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Salah satu hikayat yang populer di Riau adalah Yong Dolah.

Karmina

sunting

Karmina adalah pantun yang terdiri dari dua baris. Karmina adalah versi pendek dari pantun.[3] Nama lain dari karmina adalah pantun kilat atau pantun dua seuntai. Karmina merupakan sastra lisan yang merupakan bagian dari sastra Melayu. Penyusunan bait pada karmina tidak memiliki jumlah dan bentuk yang tetap.[4] Fungsi karmina adalah sebagai sarana mengungkapkan perasaan dan gagasan, sarana memberi nasihat, sebagai selingan percakapan, dan lain sebagainya. Karmina hanya sesekali digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk menyampaikan nasihat secara jenaka, berolok-olok, atau untuk menyindir secara halus sembari bergurau. Karmina hanya dipakai sebagai lelucon atau hiburan saat santai atau mengisi waktu senggang sehingga tidak populer seperti pantun.[5]

Contoh

Sudah gaharu cendana pula

Sudah tahu masih bertanya pula

Pantun

sunting

Pantun merupakan salah satu bentuk puisi lama.[6] Pantun sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "penuntun".

Contoh Pantun

Kayu cendana di atas batu

Sudah diikat dibawa pulang

Adat dunia memang begitu

Benda yang buruk memang terbuang

Seloka

sunting

Seloka adalah pantun yang mempunyai beberapa bait saling sambung-menyambung. Nama lain dari seloka adalah pantun berkait atau pantun berantai. Baris pertama dan ketiga pada bait kedua menggunakan isi yang sama dengan baris kedua dan keempat dari bait pertama. Pola ini digunakan secara terus-menerus pada bait berikutnya.[7] Kata "seloka" merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu sloka. Seloka merupakan salah satu jenis puisi Melayu klasik yang berisikan pepatah atau perumpamaan. Pesan yang disampaikan di dalam seloka dapat berupa candaan, sindiran atau ejekan. Seloka umumnya ditulis dalam bentuk pantun atau syair dengan empat baris. Selain itu, ada juga seloka yang ditulis lebih dari empat baris.[8] Fungsi Seloka yaitu untuk mengkritik semua sikap negatif dari anggota masyarakat tanpa harus menyinggung perasaan dari anggota masyarakat tersebut. Seloka juga bisa menjadi panduan atau pengajaran bagi individu yang terkait. Selain itu, fungsi seloka sangat bergantung kepada isinya yaitu untuk menyindir, mengejek, menempelak, melahirkan rasa benci karena sikap manusia, memberi pengajaran dan panduan, serta sebagai alat protes sosial.[9]

contoh seloka lebih dari 4 baris:
Baik budi emak si Randang
Dagang lalu ditanakkan
Tiada berkayu rumah diruntuhkan
Anak pulang kelaparan
Anak dipangku diletakkan
Kera dihutan disusui

Syair adalah salah satu jenis puisi klasik yang memperoleh pengaruh kebudayaan Arab.[10] Jumlah baris pada syair adalah empat baris dengan jumlah suku kata antara delapan hingga sepuluh suku kata. Bagian syair secara keseluruhan hanya memuat isi dan tidak memiliki sampiran. Rima yang digunakan pada syair berpola a-a-a-a. Isi syair dapat berupa kisah romantis, peristiwa sejarah, ajaran agama. Syair juga dapat berisi kiasan atau saduran.[8]

Salah satu contoh syair dalam sastra Melayu adalah Syair Tabut yang ditulis pada tahun 1864 di Singapura.

Talibun

sunting

Talibun adalah pantun yang memiliki susunan genap antara enam hingga sepuluh baris. Pada talibun, tiap bait dibagi menjadi sampiran dan isi. Pembagian baris sampiran dan baris isi ditentukan oleh jumlah baris keseluruhan yang kemudian dibagi menjadi dua.[7] Talibun umumnya digunakan dalam acara berbalas pantun sebagai pengganti pantun empat larik seuntai. Penggunaan talibun di dalam acara berbalas pantun memudahkan pengungkapan gagasan dalam bentuk dialog.[11] Talibun merupakan perluasan dari pantun untuk mengungkapkan kesatuan ide yang lebih lengkap. Maka dari itu, talibun sering disebut pantun panjang yang pengulangan katanya sampai enam larik atau delapan larik seuntai. Teknik pengulangan merupakan sesuatu yang sangat lumrah dalam talibun. Pengulangan ini biasanya di awal larik dan Ietaknya cukup bervariasi, bisa jadi pengulangan di larik di awal, tengah, maupun larik akhir baik di bagian sampiran maupun isi.[12]

Contoh Talibun:

Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu

Lain-lain

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Kosasih 2008, hlm. 13.
  2. ^ Sumaryanto 2010, hlm. 11.
  3. ^ Dinni Eka Maulina. "Keanekaragaman Pantun di Indonesia". Semantik (1): 109. ISSN 2252-4657. 
  4. ^ Sumaryanto 2010, hlm. 33.
  5. ^ Sugiarto 2016, hlm. 41.
  6. ^ Abdul Hasim (2016). "Menelusuri Nilai-Nilai Karakter Dalam Pantun". Pedagogia. 14 (3): 401. ISSN 1693-5276. 
  7. ^ a b Kosasih 2008, hlm. 11.
  8. ^ a b Sumaryanto 2010, hlm. 13.
  9. ^ Lubis, dkk. (2020). Mengenal Lebih Dekat Puisi Rakyat. Medan: Guepedia. hlm. 76. ISBN 978-623-270-029-1. 
  10. ^ Kosasih 2008, hlm. 14.
  11. ^ Sumaryanto 2010, hlm. 36.
  12. ^ Sugiarto 2016, hlm. 84.

Daftar pustaka

sunting
  1. Kosasih, E. (2008). Apresiasi Sastra Indonesia (PDF). Jakarta: Nobel Edumedia. ISBN 978-602-8219-57-0. 
  2. Sugiarto, Eko (2016). Pantun dan Puisi Lama Melayu. Yogyakarta: Grup Khitah Publishing. ISBN 978-602-99121-8-0. 
  3. Sumaryanto (2010). Mengenal Pantun dan Syair. Semarang: PT. Sindur Press. ISBN 978-979-067-054-9. 

Lihat pula

sunting

Puisi Syair dan Pantun Diarsipkan 2014-10-04 di Wayback Machine.