Sarip Tambak Oso
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Sarip Tambak Oso adalah sebuah legenda populer di Jawa Timur yang sering dipentaskan dalam pertunjukan Ludruk, terutama di daerah Surabaya dan Sidoarjo. Kisahnya tentang seorang pencuri budiman bernama Sarip yang berani menentang pemerintahan kolonial Hindia Belanda di daerahnya.
Dalam budaya ludruk, Sarip Tambak Oso sebenarnya adalah cerita rakyat yang mengisahkan perjuangan pemuda asal Madura dalam melawan kesewenangan penjajah Belanda yang dibumbui konflik sosial masyarakat. Meski secara garis besar cerita Sarip Tambak Oso selalu sama, yakni perjuangan sang pendekar kampung yang pada akhirnya mati diterjang peluru serdadu Belanda, Sarip justru masih hidup dan berhasil menikam tewas serdadu Belanda dengan belatinya
Kisah
suntingDusun Tambak Oso dibagi menjadi 2 wilayah yang dibatasi oleh sebuah sungai, wilayah tersebut biasa disebut Wetan kali dan Kulon Kali. Masing-masing wilayah mempunyai Jagoan (orang yang disegani karena kesaktiannya). Wilayah Kulon kali di kuasai oleh seorang jagoan bernama Paidi, dan Wetan kali dikuasai oleh Sarip.
Paidi adalah seorang pendekar yang berprofesi sebagai Kusir Dokar yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang yang terkenal dengan sebutan Jagang Baceman.
Sarip adalah pemuda jagoan dari desa Tambak Oso yang berhati keras, mudah marah, namun sangat menyayangi kaum miskin, terutama kepada ibunya yang seorang janda. Di tengah kemiskinan dan kebodohan, Sarip bertindak sebagai maling budiman yang mencuri di rumah-rumah orang Belanda, saudagar kikir, dan para lintah darat, untuk dibagi-bagikan kepada warga miskin.
Sarip selalu menjadi Target Operasi Government Belanda, karena perbuatannya yang dianggap membuat keonaran dan memprovokasi masyarakat untuk menentang kebijakan Belanda.
Suatu hari, sarip mendapati Ibunya sedang dihajar oleh Lurah Gedangan karena ibunya tidak dapat membayar pajak tanah garapan berupa tambak. Melihat hal tersebut Sarip marah dan langsung menghabisi nyawa Lurah Gedangan dengan sebilah pisau dapur yang menjadi senjata andalannya.
Di lain hari diceritakan Saropah (adik misan Sarip) hendak pulang dari menagih pada orang-orang yang terpaut hutang dengan orang tuanya, di tengah jalan bertemu dengan Sarip dan pada saat itu Sarip bermaksud meminjam uang pada Saropah, karena belum mendapat izin dari orang tuanya, Saropah tidak mengabulkan permintaan Sarip. Sarip yang punya perangai kasar tidak sabar dan memaksa Saropah untuk menyerahkan arloji yang sedang dipakainya, dan disaat terjadi perseteruan tersebut muncullah Paidi yang hendak menjemput Saropah. Oleh Orang tua Saropah Paidi memang telah dipercaya untuk menjaga Saropah agar aman dari ancaman orang2 yang tidak senang.
Setelah terjadi perang mulut antara Sarip dan Paidi, terjadilah duel antara dua pendekar tersebut. Sebilah pisau dapur ternyata tidak lebih mempan dibanding Jagang Baceman yang notabene lebih panjang, akhirnya Sarip tewas dalam perkelahian tersebut dan mayatnya dibuang di sungai Sedati.
Dibagian hilir sungai Sedati, Ibunda Sarip "Mbok e Sarip" tengah mencuci pakaian, entah kenapa pikirannya gundah gulana memikirkan anak keduanya itu. Dia berhenti mencuci karena ada warna merah darah yang mengalir di sungai itu, dia berjalan mencari sumber darah tersebut, alangkah terkejutnya dia ketika didapatinya sumber warna merah tersebut adalah mayat anaknya. Spontanitas dia menjerit seraya berteriak "Sariiip durung wayahe Nak....." (Terjemah: Sarip, belum waktunya, Nak). Anehnya Sarip bangkit dari kematiannya dan segera berlari menemui ibunya, kemudian menanyakan kepada ibunya tentang hal apa yang terjadi pada dirinya dan kenapa dia tidur di sungai.
Kemudian ibunya bercerita, ketika Sarip masih dalam kandungan, Ayahnya bertapa di Goa Tapa (daerah Sumber Manjing)selama beberapa waktu, dan ayahnya kembali pada saat anak keduanya telah lahir dengan membawa sebongkah kecil tanah merah "Lemah Abang". Selanjutnya tanah tersebut dibelah dan diberikan pada Sarip dan Ibunya untuk dimakan. Dikatakan oleh ayah Sarip, bahwa Sarip akan dapat bangkit dari kematian apabila ibunya masih hidup, meskipun ia terbunuh 1.000 kali sehari.