Sakera atau Sadiman juga dikenal tokoh fiktif, Sagiman adalah seorang tokoh pejuang legenda anti kolonialisme di Pasuruan, Jawa Timur. Ia berjuang melawan praktek KKN yang terjadi di perkebunan tebu dan pabrik gula Hindia Belanda sekitar permulaan abad ke-19. Sakera dikenal sebagai seorang ahli bela diri yang melawan pemerintahan Belanda di perkebunan tebu di daerah Bangil sehinga dikenal Sang Kerah. Karena perlawanannya terhadap Belanda, Sakera akhinya ditangkap setelah dikhianati oleh salah satu rekannya sendiri. Ia dimakamkan di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, Daerah paling selatan di Kota Bangil, Pasuruan.


Sadiman dikenal Sakerah karena pandai kerah atau bertarung sehingga dikenal dengan Sang Kerah oleh masyarakat sekitar dan buruh tebu. Sakera memperjuangkan hak-hak para buruh yang mayoritas orang Madura, hasil dari agresi Cakraningrat Madura yang memindahkan pendudukanya ke pulau Jawa, tertutama Pasuruan utara. Ditempat yang baru orang-orang Madura mendapatkan penindasan dari Kolonial Belanda tanpa ada perlindungan dari Cakraningrat, Melihat Sakera menjadi mandor baik dan penolong buruh Madura, sehingga dikenal sebagai pahlwan orang Madura.

Banyak mengaitkan Sakera berasal dari bangsawan Madura, tetapi hal ini dibantah oleh pihak keraton Madura yang bernama Rizky Aditya. Pendapat lain Sagiman atau Sakera masih keturunan Bathoro Katong. Terkait Sakera identik dengan Madura karena memperjuangkan hak-hak buruh perkebunan tebu dan pabrik gula yang banyak memperkerjaan orang-orang Madura. Namun ada juga yang berpendapat Sakera berasal dari Tanah Merah Madura yang merupakan kalangan kaum Blater. Kaum Blater di Madura identik sebagai kaum jawara dan adakalanya juga memiliki profesi strategis serta juga dihormati oleh kalangan Bangsawan dan Penjajah. Sebab kaum Blater mampu menggerakkan masyarakat dan sangat disegani. Kaum Blater juga selain menjadi tokoh masyarakat juga pandai dalam beragama, mengingat pesantren di Madura selain mengajarkan agama juga mengajarkan bela diri untuk membela masyarakat dan agama dalam hal kebaikan. Itu lah mengapa permintaan terakhir Sakera adalah sholat 2 raka'at sebelum akhirnya dieksekusi Belanda.

Ada juga yang berpendapat bahwa Sakera adalah bangsawan Jawa bergelar Mas. Namun hal ini juga perlu bukti sebab apabila memiliki gelar bangsawan pasti memiliki catatan silsilah keluarga bangsawan sebagaiman ungkapan dari pihak kraton Madura (Bangkalan).

Sementara itu dari pendapat lain bahwa Sakera merupakan keturunan Yaman yang berasal dari Madura [1] yang bernama Omar Bawazir. Hal tersebut berdasarkan pada sumber dari Museum Tropeen di Belanda. Berdasarkan penuturan cicit Sakera yakni Bayu Iskandar Dinata, ayah Omar Bawazir yakni Yusuf Bawazir menikahi gadis Madura yang merupakan ibu dari Omar Bawazir alias Sakera.

Sejarah Perjuangan

sunting

Sakera menjadi pejuang melawan penjajah Belanda, Sakera bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu di Kancil Mas Bangil yang dikelola oleh orang Belanda. Sakera punya dua orang istri pertama bernama Ginten, sementara yang kedua bernama Marlena. Juga menghidupi keponakannya yang bernama Brodin. Kehidupan yang nyaman sebagai mandor dan orang terpandang hilang ketika sakera dituding sebagai seorang pembunuh. Dia menjadi buronan Kompeni Belanda setelah berani melawan kepemimpinan Belanda saat itu.[2]

Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda ambisius untuk membeli lahan perkebunan yang seluas-luasnya dan dengan harga semurah-murahnya. Dengan cara yang licik, orang Belanda itu menyuruh Carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru untuk Perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dengan iming-iming harta dan kekayaan. Sehingga Carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang pun menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan.

Sakera pun selalu membela rakyat, karena sikap ketidakadilan yang berkali kali dilakukan oleh Carik Rembang. Sehingga Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari pekerja sedang istirahat di perkebunan, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang mengetahui hal ini, marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, ia dikeroyok oleh Carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka, Sakera akhirnya menyerah, dan dimasukkan ke penjara Di Bangil.

Siksaan demi siksaan dilakukan polisi Belanda kepada Sakera setiap hari. Selama dipenjara Sakera selalu merindukan keluarganya dirumah. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, sementara Sakera ada dipenjara. Perlawanan pun tetap dimulai, Carik Rembang dibunuh dan dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tangannya dengan celurit senjata khas yang digunakan Sakera.

Dengan cara yang licik pula polisi Belanda mendatangi teman seperguruan Sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh pemeritah Belanda di Bangil. Aziz menjebak Sakera dengan licik, akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya dengan memukulkan "Jamur Kuning" ke badannya. Lagi-lagi Belanda berhasil menangkap kembali Sakera yang kemudian diadili oleh pemeritah Belanda di Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung. Sakera gugur digantung di Penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan, daerah paling selatan Kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.

Semangat perjuangan yang dilakukan Sakera tidak pernah terdokumentasikan bagi masyarakat, dan belum masuk di dalam kategori Pahlawan Nasional Indonesia. Di karenakan Sakera termasuk salah satu dari banyaknya Pahlawan Di Indonesia. Yang memperjuangkan daerahnya sendiri dari keganasan penjajahan Belanda. Sehingga Nama dan Jasa-jasanya Sakera, hanya bisa di dengar di daerahnya sendiri.

Senjata andalan

sunting

Meski banyak keterbatasan, Pak Sakera membangkitkan semangat juang masyarakat untuk melawan penindasan kolonial. Pak Sakera selalu menggunakan sabit Monteng sebagai senjata untuk menumpas kediktatoran Belanda, Konon sabit Monteng ini merupakan peralatan pertanian dalam panen tebu. Kedengarannya sederhana namun nyatanya bisa membuat Belanda kewalahan. Pengguna arit yang dilakukan inilah yang menimbulkan stigma kekerasan di kalangan masyarakat Madura. Stereotip ini dibentuk oleh pengaruh belanda pengaruh Belanda yang bertujuan merusak nama baik Pak Sakera. Falktanya, Pak Sakera hanya "Garang" dalam perlakuannya terhadap Belanda namun dianggap berwibawa oleh rakyat. Dan kami mengetahui bahwa Pak Sakera juga seorang yang religius. Bahkan konon Pak Sakera meminta izin untuk mennunaikan Shalat subu menjelang kematiannya di tangan Belanda[3]

Pahlawan yang jarang dikenal

sunting

Berbeda dengan pahlawan nasional lainnya, nama Pak Sakera cukup asing di telinga masyarakat kecuali masyarakat Jawa Timur dan Pulau Madura. Sepanjang hidupnya, pak Sakera selalu mengenakan baju bergaris merah putih dan celana hitam, digambarkan sebagai pahlawan pemberani yang tidak takut melawan penjajah. Selain dianggap sebagai pahlawan yang dapat membantu masyarakat mendapatkan kembali hak-hak nya, Pak Sakera juga dianggap sebagai simbol keberagaman. Meski mayoritas orang jawa, namun penduduk Pasuruan juga sangat terbuka dengan kedatangan Pak Sakera. Hingga munculnya budaya Pendalungan ciri khas masyarakat Tapal kuda Jawa Timur didominasi oleh perpaduan budaya Jawa dan Madura.

Inilah kisah Pak Sakera, pendekar asal Pasuruan yang menjadi korban adu domba dan godaan kekayaan kolonial belanda, Meski namanya masih asing di telinga sebagian orang, namun semangat juangnya patut apresiasi dan dikenal banyak khalayak. Oleh karena itu, stereotip yang diterima secara umum oleh masyarakat Madura tidak diperlakukan dengan cara yang sama.[4]

Dalam Budaya Modern

sunting

Kisah Sakera diangkat pada film layar plebar dengan judul Pak Sakerah tahun 1982 yang diperankan oleh W.D Mochtar. Fim ini menceritakan mengangkat ceita Ludruk tentang Sakerah, pria yang digambarkan sebagai jagoan alim, beristri dua, kaya, sayang ibunya dan senang tayub. Ada juga pertentangan karakter dengan Brudin, ponakan yang diangkat anak oleh Soleh. Kisah yang menceritakan perlawanan terhadap Belanda, Sakerah berkhianat memihak Belanda.

Berkembang menjadi Kesenian

sunting

Meski kejadian Sakera terjadi di Pasuruan, namun namnya mashyur dan dikenang oleh para buruh perkebuban tebu hingga menyebar baik karena budaya tutur maupun dipentasakan dalam Ludruk. Untuk mengenang kepahlawanan Sakera, sekitar tahun 2002 orang-orang keturunan Madura di Malang dan Batu membuat kesenian tari tradisional kreasi baru dengan tajuk Sakeraan dan Sanduk, tarian ini merupakan kreasi sederhana dengan mengadopsi gerakan Warok Ponorogo, sebagian kelompok Sakeraan mengeneakan pakaian Pesa'an madura atau pakaian Penadon Ponorogo dengan sabuk kulit othok Ponorogo yang lebar.

Referensi

sunting

[1] [2][pranala nonaktif permanen] [3][pranala nonaktif permanen]

  1. ^ analisapost (2024-05-31). "Dibalik SAKERA Pejuang Rakyat Tertindas, Siapakah Dia Sebenarnya?". analisapost. Diakses tanggal 2024-10-13. 
  2. ^ "Legenda Sakera Jawara Berdarah Madura Dari Bangil Pasuruan". TribunusAntara.com. 2023-06-21. Diakses tanggal 2023-10-14. 
  3. ^ "Mengenal Pak Sakera, di Balik Stigma Carok Kekerasan Orang Madura". suara.com. 2021-09-02. Diakses tanggal 2023-10-14. 
  4. ^ Paragram.id (2020-06-29). "Mengenal Sakera, Pahlawan Islam Asal Madura yang Gak Banyak Dikenal Orang". Paragram.id. Diakses tanggal 2023-10-14.