Sayuti Melik

politisi Indonesia
(Dialihkan dari Sajoeti Melik)

Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (25 November 1908 – 27 Februari 1989) adalah seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia yang tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dan juga mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang menjabat dari tahun 1971-1982.

Sayuti Melik
Sayuti Melik
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Masa jabatan
28 Oktober 1971 – 1 Oktober 1982
Daerah pemilihanDKI Jakarta
(1971—1977)
Bali
(1977—1982)
Informasi pribadi
Lahir
Mohamad Ibnu Sayuti

(1908-11-25)25 November 1908
Sleman, Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal27 Februari 1989(1989-02-27) (umur 80)
Jakarta, Indonesia
MakamTaman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Partai politikGolkar
Suami/istri
(m. 1938; meninggal 2008)
Anak2
Orang tuaPartiprawiro (Ayah)
Sumilah (Ibu)
Pekerjaan
  • Wartawan
  • Politisi
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Sayuti merupakan suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan pada zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.

Masa muda

sunting

Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta.[1] Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.

Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau. Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan Haji Misbach di Kauman, seorang ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Haji Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.

Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).

Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah. Pada tahun itu juga mereka mendirikan surat kabar Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.

Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu diawasi oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.

Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung Karno.[2]

Anggota PPKI

sunting

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya, tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik.[3]

Peristiwa Rengasdengklok

sunting

Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.[4]

Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.[5] maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.[6] Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.[7]

Teks Proklamasi

sunting
 
Teks asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional

Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda.[1] Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.

Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".

Era setelah kemerdekaan

sunting

Setelah Indonesia Merdeka Sayuti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, Sayuti ditangkap oleh Pemerintah Republik Indonesia karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan, serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946". Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, Sayuti dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Sayuti ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Sayuti dibebaskan setelah selesai Koferensi Meja Bundar. Pada tahun 1950, Sayuti diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil Cendekiawan.[8]

Menentang Soekarno

sunting

Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Hal ini terbukti dengan Sayuti yang menjadi anggota PNI.[9] Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom, Sayutilah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sayuti mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Sayuti juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan majalah, yang kemudian dilarang.[10] Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika itu, Sayuti melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung Karno.

Sayuti Melik tidak setuju dengan Soekarno yang menjadi presiden seumur hidup dan berbalik mengkritik PKI lewat tulisan-tulisannya. Sejak Hatta turun dari kursi wakil presiden pada tahun 1956, Soekarno tampil sebagai satu-satunya orang yang memimpin di pemerintahan. Sejak tahun 1959, Soekarno menetapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Hal tersebut berhubungan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan sistem seperti ini, kekuasaan Soekarno selaku presiden menjadi lebih kuat. Sayuti Melik menentang sistem Demokrasi Terpimpin yang diprakarsai oleh Soekarno.[11]

Masa Orde Baru

sunting

Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat, mewakili partai Golongan Karya pada Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

Kematian

sunting
 
Foto nisan makam Sayuti Melik di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan

Sayuti Melik meninggal dunia pada tanggal 27 Februari 1989 dalam usia tahun setelah setahun sakit dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.

Penghargaan

sunting

Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputera Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).

Referensi

sunting
  1. ^ a b Sayuti Melik Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine., majalah.tempointeraktif.com
  2. ^ S. K. Trimurti saksi proklamasi, qizinklaziva.com
  3. ^ Ensiklopedia Jakarta Diarsipkan 2013-02-06 di Wayback Machine., www.jakarta.go.id
  4. ^ "Tujuan Peristiwa Rengasdengklok". 
  5. ^ Achmad Subarjo Diarsipkan 2012-02-09 di Wayback Machine., dawarwangi.com
  6. ^ Seputar Proklamasi 3, sejarahkita.com
  7. ^ "Peran Achmad Soebardjo dan Rengasdengklok". 
  8. ^ Sayuti Melik di Ensiklopedia Jakarta Diarsipkan 2012-02-25 di Wayback Machine., www.jakarta.go.id
  9. ^ Umum, Indonesia Lembaga Pemilihan (1973). Riwajat hidup anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum 1971. Lembaga Pemilihan Umum. 
  10. ^ Badan pendukung Sukarnoisme, alwishahab
  11. ^ Raditya, Iswara N. "Sejarah Perjuangan Sayuti Melik Pengetik Teks Proklamasi RI". tirto.id. Diakses tanggal 2023-11-18.