Sahwa (사화;士禍) adalah peristiwa dalam sejarah Korea yang merujuk kepada kejatuhan seonbi dan rangkaian pembersihan bersifat politik pada akhir abad ke-15 dan 16 dimana para sarjana sarim dieksekusi oleh rival politik mereka. Istilah Pembersihan Literati adalah terjemahan dari Sahwa oleh profesor Edward W.Wagner dari Universitas Harvard jurusan Sejarah Korea.

Politik semasa pertengahan zaman Dinasti Joseon umumnya ditandai dengan perebutan kekuasaan antara 2 kelompok bangsawan (yangban), yakni faksi Hungu dan sarjana Sarim yang disebut seonbi. Seonbi berasal dari sekolah-sekolah neo-Konfusian yang dikembangkan Kim Jong-jik dan tokoh agama Konghucu yang lain. Sarjana Sarim umumnya mengkritik kerajaan dan mempelajari agama Konghucu di daerah-daerah, terutama sejak naiknya Raja Sejo pada tahun 1455. Mereka mulai masuk ke dunia politik pada masa pemerintahan Raja Seongjong dan umumnya memegang posisi penting di Tiga Kantor, nama lain daripada Kantor Inspektur Jendral, (bertugas mengusut pejabat pemerintah yang korup dan melanggar hukum), Kantor Sensor (bertugas mengkritik kebijakan dan tindakan raja dan menteri-menteri) serta Hongmungwan (perpustakaan sekaligus lembaga penasihat yang mengajarkan raja sejarah dan ajaran Konghucu). Para sarjana Sarim juga menonjol di Kantor Musim Semi dan Gugur, dimana catatan-catatan negara disimpan dan penulis sejarah bekerja. Dari lembaga-lembaga yang dibuat untuk memantau raja dan pemerintahan, para sarjana Sarim berhadapan dengan faksi Hungu yang melaksanakan tugas-tugas negara di Dewan Kenegaraan dan Kantor Enam Menteri. Faksi Hungu ditentang oleh Sarim karena dicurigai melakukan banyak korupsi dan kecurangan.

Konflik yang berlanjut antara kelompok ini direkam dalam pembersihan berdarah antara tahun 1498 dan 1545.

Pembersihan Literati tahun 1498

sunting

Pembersihan Literati yang pertama dan kedua terjadi pada masa berkuasanya Yeonsangun, raja lalim keturunan Seongjong. Pembersihan Literati Pertama tahun 1498 dinamakan Muo Sahwa. Peristiwa ini dimulai sebagai dendam personal Yi Guk-don terhadap Kim Il-son yang pernah menghukumnya. Keduanya pernah bekerja merangkum catatan yang berkaitan dengan masa pemerintahan Seongjong untuk menyusun Babad Dinasti Joseon. Kim Il-son, murid Kim Jong-jik, memasukkan tulisan gurunya tersebut yang berisi tentang kritikan atas naiknya Sejo sebagai raja ke dalam kompilasi tersebut. Kim Jong-jik menuliskan kesedihannya atas pembunuhan Kaisar Yi dari Chu oleh Xiang Yu (sejarah Cina kuno) setelah ia mendengar pembunuhan Danjong yang diperintahkan Sejo. Yi Guk-don, senior Kim Il-son, marah setelah membaca tulisan ini. Kim Il-son dan murid-murid Kim Jong-jik yang lain dituduh melecehkan raja oleh Faksi Hungu, yang sebagian besar di antara mereka mendapatkan kekuasaan karena mendukung Sejo. Karena Yeonsangun masih keturunan Sejo, pandangan Sarim tentang kejahatan Sejo dianggap sebagai penghinaan. Yeonsangun adalah raja pembenci kaum pendidik dan dikenal karena menjadikan Seonggyungwan, sekolah tinggi Joseon, sebagai tempat pelacuran. Ia menjadikan alasan pelecehan itu sebagai kesempatan untuk membersihkan sarjana Sarim dan melemahkan Tiga Kantor. Kim Il-son dan 2 orang lain dihukum dengan cara ditarik bagian tubuhnya oleh sapi. Tiga yang lain dipenggal. Jenazah Kim Jong-jik dibongkar dari makam dan kepalanya dicabut. Sebanyak 18 orang lain diasingkan. Yeonsangun memerintahkan seluruh pejabat istana menyaksikan eksekusi dan bahkan menghukum mereka yang tidak hadir atau memalingkan wajah.

Pembersihan Literati Kedua tahun 1504

sunting

Pembersihan Literati Kedua tahun 1504 atau Gapja Sahwa terjadi ketika Yeonsangun akhirnya mengetahui bahwa ibu kandungnya bukanlah Ratu Junghyeon namun Permaisuri Yun (yang dieksekusi pada tahun 1482 karena meracuni salah satu selir Seongjong dan mencakar wajah raja). Ketika Yeonsangun mengetahui secara rinci kematian ibunya dan diperlihatkan kepadanya sepotong pakaian yang kena bercak darah setelah ia diberi minum racun, ia membunuh 2 orang selir Seongjong yang bertanggung jawab atas kematian ibunya dan memerintahkan eksekusi para pejabat yang menginginkan Permaisuri Yun mati. Kejadian ini ikut mengejutkan faksi Hungu dan Sarim, termasuk orang-orang yang bertanggung jawab pada peristiwa pembersihan literati pertama. Sebanyak 36 orang pejabat disuruh minum racun dan 8 jenazah mereka yang sudah meninggal dibongkar dan dimutilasi. Total kematian lebih besar karena keluarga para korban juga dihukum. Anggota keluarga yang laki-laki dieksekusi dan wanita dijadikan budak. Pada akhirnya, ada sebanyak 239 pejabat yang menjadi korban eksekusi, pengasingan, atau dicopot dari jabatan. Yeonsangun akhirnya disingkirkan oleh sisa-sisa faksi Hungu dan adiknya yang lain ibu naik tahta jadi Raja Jungjong pada tahun 1506.

Pembersihan Literati Ketiga tahun 1519

sunting

Pembersihan Literati Ketiga yang tahun 1519 disebut juga dengan Gimyo Sahwa adalah pembersihan literati yang paling banyak dibicarakan dalam sejarah Joseon. Pada saat ini Faksi Sarim sudah berhasil mendapatkan kekuatan politik dan sedang dalam proses kebangkitan.

Jungjong berusaha menyingkirkan para pendukung Yeonsangun dan mengembalikan kedamaian seperti masa Seongjong, namun kekuatannya terbatas dikarenakan munculnya tokoh-tokoh pemberontak Yeonsangun yang mendukungnya naik tahta. Baru ketika 3 orang di antara mereka meninggal karena usia lanjut atau sakit, Jungjong mulai memperkuat kedudukan dan mencari cara untuk menjatuhkan kekuatan Faksi Hungu. Ia kemudian bertemu dengan Jo Gwang-jo, pemimpin muda Sarim yang kemudian menjadi sahabat kepercayaannya. Jungjong sangat percaya kepadanya sehingga Jungjong membatalkan rencana perang meskipun Jo adalah satu-satunya penentang keputusan itu. Dengan dukungan Jungjong, Jo dijadikan Inspektur Jendral hanya setelah 4 tahun memasuki dunia politik dalam sebuah kenaikan jabatan yang tak dikira-kira. Hal ini membuat banyak para sarjana Sarim dari daerah pergi ke ibu kota. Di bawah kepemimpinannya, Faksi Sarim melaksanakan banyak pembaharuan dengan mendirikan sistem pemerintahan lokal sendiri bernama Hyangyak. Mereka juga membuat reformasi tanah dengan mendistribusikan lahan secara adil dan membatasi kepemilikan lahan oleh orang kaya. Selain itu, mereka juga menyebarluaskan pendidikan Konfusianisme dengan tulisan yang mudah dipahami dan mengurangi jumlah orang yang diperbudak. Jo Gwang-jo percaya bahwa orang-orang yang berpotensi termasuk budak berhak menjadi pejabat. Suatu saat Jo bertemu dengan tukang daging yang tak bernama atau tukang samak dari kelas rendah, mereka sama-sama berdiskusi tentang masalah negara. Rakyat jelata ini mendukung keputusan dan tindakan Jo. Berdasarkan Babad Dinasti Joseon, tak seorang pun pejabat yang berani menerima suap atau menguras harta rakyat pada masa ini dikarenakan peraturan yang diberlakukan oleh Kantor Inspektur Jendral. Ia dikagumi oleh rakyat jelata. Ketika ia muncul di jalan, orang-orang berkumpul dan menyambutnya “tuan kita sudah datang”, menurut sarjana Yi I.

Namun, reformasi radikal ini menimbulkan penolakan dari Faksi Hungu. Jo yang menghukum orang-orang yang dianggapnya menjadi “pahlawan” dalam pembersihan tahun 1506, menyebabkan lebih banyak orang yang menentang dan menjadi musuhnya. Mereka yang mengaku ikut berpartisipasi dalam pembersihan 1506 sebenarnya hanya ikut-ikutan. Hak-hak khusus yang mereka nikmati seperti keringanan pajak dan komisi yang cukup besar akhirnya dihapuskan oleh Jo. Pada awal tahun 1519, terungkap beberapa rencana pembunuhan Jo yang disusun oleh Faksi Hungu.

Karakter Jo Gwang-jo yang tegas dan permintaanya yang terlalu sering agar raja mendukung program radikalnya, lama kelamaan mengganggu sang raja. Lebih lanjut, Permaisuri Gyeong dari klan Park dan Permaisuri Hui dari klan Hong (putri Kepala Faksi Hungu, Hong Gyeong-ju) bersuara lantang memprotes Jungjong dan Jo Gwang-jo dengan mempertanyakan benarkah Jo setia kepada raja sementara dukungan populer tidak lagi didapat sang raja. Atas permintaan Hong Gyeong-ju, Menteri Upacara Nam Gon, Menteri Kehakiman Sim Jung, beserta tokoh Hungu lain memberitahukan kepada raja bahwa sebenarnya rakyat di luar sana mengatakan Jo Gwang-jo lah yang memimpin negara dan memintanya menjadi raja. “Walau ia setia, ia tidak akan dapat menghentikan para pendukungnya”, kata mereka kepada Jungjong.

Berdasarkan Babad Dinasti Joseon, Nam Gon kemudian menulis sindiran untuk Jo "Ju Cho akan menjadi raja" (주초위왕, 走肖爲王) dengan daun mulberi yang dilumuri madu dan air gula agar ulat-ulat datang. Ketika hanja ju (走) and cho (肖) disambung, akan membentuk huruf "jo" (趙) yang merupakan marga Jo Gwang-jo. Permaisuri Gyeong dan Hui menunjukkan sindiran ini kepada raja dan mempengaruhinya bahwa ini adalah peringatan Tuhan bahwa Jo akan merebut tahta setelah mengeliminasi Faksi Hungu. Raja Jungjong yang juga naik tahta karena pembalikan kekuasaan raja terdahulu, mulai terpengaruh cerita tersebut dan kehilangan kepercayaan terhadap Jo Gwang-jo. Kepercayaan seperti ini populer pada awal pembentukan Joseon ketika Goryeo jatuh. Ketika itu ada ungkapan "putra kayu akan memenangkan negara" (목자득국;木子得國) Ketika dua hanja yang bermakna kayu (木) dan putra (子) dikombinasikan, mereka membentuk huruf yi (李), yang merupakan marga Yi Seong-gye. Ia menyingkirkan raja Goryeo yang terakhir dan menggalang dukungan dengan mempergunakan ungkapan ini sebagai perintah dari Tuhan.

Merasa yakin bahwa Jungjong tidak percaya lagi kepada Jo Gwang-jo, Hong Gyeong-ju memasuki istana untuk mewanti-wanti raja bahwa istana akan dipenuhi para pendukung Jo dan tak seorangpun yang bisa menentangnya secara terbuka. Ketika Jo membuat petisi kepada raja agar memotong hak-hak khusus orang-orang berkontribusi palsu dalam pembersihan 1506, kecurigaan Jungjong semakin besar. Jungjong mengirim surat rahasia kepada Hong, mengungkapkan ketakutannya bahwa Jo Gwang-jo selanjutnya akan meligitimasi kekuasaan lewat kudeta dan berbalik melawannya. Jungjong memerintahkan agar anggota Faksi Hungu mengeksekusi Jo Gwang-jo dan memberitahukan kepadanya. Pada tanggal 15 November 1519, Faksi Hungu memasuki istana secara rahasia pada malam hari dan memberikan kepada raja permohonan tertulis: "Jo dan para pendukungnya telah mengelabui raja dan mengacaukan negara dengan membentuk kongsi dan menyalahgunakan kedudukan dengan mempromosikan pendukung mereka dan menyingkirkan para penentangnya". Inspektur Jo Gwang-jo, Menteri Kehakiman Kim Jung, dan keenam orang lain segera ditangkap dan menunggu dieksekusi tanpa investigasi ataupun diadili. Keseluruhan kejadian tampak seperti kudeta tetapi diperintahkan oleh sang raja sendiri.

Reaksi-reaksi

sunting

Keputusan untuk mengeksekusi Jo dan pendukungnya tidak disarankan oleh Menteri Perang Yi Jang-gon, yang juga ikut menangkap para sarjana Sarim. Ia menyarankan agar hal seperti ini dikonsultasikan dengan para menteri. Rapat kabinet keesokan hari yang membahas tentang ini ditulis secara lengkap di Babad Dinasti Joseon. Sebagian besar pejabat terkejut atas penangkapan Jo Gwang-jo dan maksud raja mengeksekusinya. Mereka berpendapat bahwa ia mungkin saja agak ekstrem dalam aksinya untuk memperbaiki negara namun tampak tidak mungkin menyimpan agenda pribadi. Perdana Menteri Jeong Gwang-pil, yang sering kali berbantahan dengan Jo dan bahkan pernah diminta dukungannya oleh Nam Gon berkata dengan berlinang air mata: "Saya telah sering kali menyaksikan malapetaka semasa Yeonsangun berkuasa, tetapi bagaimana bisa saya membayangkan hal seperti itu terjadi lagi bahkan setelah bertemu dengan raja yang bijaksana?" Perdana Menteri dan Enam Menteri menyayangkan keputusan eksekusi akan menghancurkan nama baik raja. Hong Sook, yang menjadi Menteri Kehakiman dalam semalam dan ikut menginterogasi Jo, melaporkan kepada raja bahwa ia tersentuh akan kesetian Jo kepada raja.

Inspektur Jenderal Yu Eun memprotes dengan kata-kata yang lebih keras: "Jika Jo Gwang-jo terbukti bersalah, ia harus dihukum secara terbuka dan cara yang adil... Namun, Yang Mulia memberikan hukuman seperti itu hanya karena kata-kata dari dua orang di tengah malam... Apakah begitu sulit untuk menghukum beberapa seonbi dengan kekuasaan raja sehingga Yang Mulia harus melakukannya secara diam-diam lewat pesan rahasia?... Jika ada perbuatan kriminal, hal itu harus diusut secara jelas dan adil, Yang Mulia tampaknya sangat mempercayai dan akrab dengan bawahan jika dilihat dari luar namun ternyata berpikir untuk mengeliminasi mereka". (Babad Dinasti Joseon, 18 November 1519). Sementara itu, 150 mahasiswa Seonggyungwan berdemo di istana untuk menyampaikan protes bahwa Jo Gwang-jo tidak bersalah. Mereka bahkan meminta agar dipenjara bersama-sama. Dukungan kepada Jo semakin membuat raja marah. Perdana Menteri Jeong, Wakil Perdana Menteri Ahn Dang dan bahkan Menteri Perang Yi Jang-gon diberhentikan karena menentang penangkapan Jo Gwang-jo.

Jo Gwang-jo masih kacau akibat berubahnya raja yang sangat cepat. Faksi Sarim baru saja mendapatkan kemenangan terbesar mereka 4 hari yang lalu ketika Jungjong mengabulkan petisi mereka untuk mencabut status istimewa 70 orang pejabat Hungu. Ia masih tetap percaya bahwa raja dikelabui oleh para pejabat Hungu yang licik. Ia yakin ia dapat mendapatkan kembali kepercayaan raja asalkan ia diizinkan bertatap muka pada saat interogasi. Ia menulis kepada raja tentang ketakutannya bahwa insiden ini dapat menjadi pembersihan berdarah. Ia juga meyakinkan bahwa ia tidak menyesal mati sepuluh ribu kali apabila ia diberi kesempatan bertemu raja. (Babad Dinasti Joseon, 16 November 1915, No.11 Namun, kesempatan itu tidak pernah ia dapatkan. Di tengah banyaknya petisi untuk pengampunan Jo, Jungjong meringankan hukuman mati menjadi hukum buang ke Neungju. Tapi, kurang dari seminggu kemudian, Jungjong memecat banyak menteri yang mendukung Jo dan memperbarui hukuman menjadi hukuman minum racun. Sebelum meminum racun, Jo menulis puisi kematian yang berisi tentang kesetiaannya dan membungkukkan diri 4 kali di depan istana (Babad Dinasti Joseon, 16 Desember 1519).

Pembersihan Literati Ketiga tahun 1519 secara luas dipandang oleh generasi rakyat Korea selanjutnya sebagai kesempatan yang meleset dalam memenuhi perikehidupan berdasarkan neo-Konnfusianisme dikarenakan perebutan kekuasaan dan kekacauan dalam istana. Para korban, yakni sarjana-sarjana Sarim dihormati sebagai "orang bijak Gimyo" dan dipuja sebagai orang suci dalam Konfusianisme Korea.