Richardus Kardis Sandjaja
Richardus Kardis Sandjaja[1] (20 Mei 1914 – 20 Desember 1948) adalah seorang pastor (romo) Projo yang berkarya dan terbunuh pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Riwayat hidup
suntingSandjaja (dibaca: Sanjoyo) dilahirkan di desa Sedan, Muntilan, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1914. Ayahnya bernama Willem Kromosendjojo, bekerja sebagai pembantu perawat di sebuah klinik Katolik yang dipimpin oleh misionaris Yesuit di Muntilan. Ibunya bernama Richarda Kasijah, dari keluarga katolik. Sandjaja mempunyai dua kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki. Salah satu dari kakak perempuannya menjadi suster Fransiskan.
Sejak masa kanak-kanak Sandjaja sangat terkenal disekolahnya karena kepandaiannya. Dia masuk di SD Katholik yang dipimpin oleh para Bruder. Karena kecerdasannya, maka ia dikenal lebih suka belajar daripada bermain dalam hari-hari senggangnya. Sandjaja seorang yang berkepribadian sederhana, rendah hati, jujur dan terbuka terhadap satu sama lain. Sandjaja sangat suka memperhatikan hidup doanya, rajin mengikuti misa harian di gereja, dan sering mengunjungi gua Maria di Desa Sendangsono, untuk berdoa dan berefleksi. Ketertarikannya untuk menjadi imam berkembang ketika ia masih di SD.
Sandjaja diterima di seminari setelah dia lulus dari SMA. Ia hidup dalam kesucian yang luar biasa selama di seminari. Sandjaja ditahbiskan sebagai imam diosesan pada tanggal 13 Januari 1943 di Muntilan. Setelah pentahbisannya, ia terpilih sebagai pastor paroki di Muntilan. Sandjaja mendapat banyak kesulitan karena situasi perang, namun demikian ia sangat kuat dan percaya akan penyelenggaraan Ilahi, dan dengan alasan itulah dia dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik sebagai pastor paroki yang sangat bijaksana dan disukai oleh seluruh umat paroki Muntilan. Untuk beberapa kali bangunan Gereja dirusak oleh tentara perang yang tidak senang dengan karya missi. Walau begitu, ia tetap tabah dan disemangati oleh umat parokinya untuk memperbaiki dan membangun kembali gereja mereka. Bagi umat parokinya, Sandjaja selalu menunjukan kesederhanaannya, bijaksana dan memperhatikan sesama dalam seluruh hidupnya sebagai seorang pastor paroki. Meskipun banyak kesulitan, ia dapat menjaga hubungan baik dengan pemerintah resmi (penjajah Belanda).
Selama penjajahan Jepang tahun 1942 - 1945, banyak gereja yang dirusak dan kekayaan mereka dirampas. Dalam situasi seperti itu, Sandjaja harus melarikan diri dan bersembunyi di desa-desa untuk keselamatan sampai keadaan membaik. Selanjutnya, ia dapat kembali ke parokinya untuk membangun kembali gerejanya. Kemudian, ia mendapat tugas baru untuk mengajar di Seminari Tinggi di Yogyakarta, dan untuk membantu paroki tetangga di Magelang. Pada tahun 1948 terpilih sebagai guru dan Rektor di Seminari Menengah di Muntilan. Sandjaja selalu menunjukkan sikap kesediaannya untuk membantu Gereja dimanapun dan bagaimanapun kondisinya, dan ia melakukannya dengan baik.
Tragedi
suntingKondisi revolusi kemerdekaan Indonesia membuat rakyat Indonesia selalu waspada dengan segala bentuk hubungan dengan pemerintah Belanda. Kedekatan Romo Sandjaja (yang sebetulnya seorang pribumi) dengan pemerintah Belanda menjadikan ketidaksukaan para pejuang kepadanya, sehingga beberapa perilaku kejam tentara kolonial Belanda dalam membungkam para pejuang serta keluarganya diduga oleh para pejuang ada hubungannya dengan Romo Sandjaja. Pada tanggal 20 Desember 1948, ia menyelamatkan hidup teman imamnya dan seminaris dalam Seminarinya dengan menyerahkan dirinya kepada kelompok pemberontak pemerintah Belanda yang tidak menyukai sikap Romo Sandjaja. Hizbullah merusak sebagian dari komplek persekolahan di Muntilan. Delapan pemuda Hizbullah itu menculik imam dan frater. Dia adalah Romo Sandjaja, Pr dan Frater Herman A. Bouwens, SJ.
Bersama seorang seminaris Yesuit dari Belanda itu mereka diinterogasi, lalu dibunuh di lapangan terbuka di daerah pinggiran Muntilan. Jenazahnya bergelimpangan di sawah antara desa Kembaran dan Patosan. Dengan cepat Bapak Willem dan anaknya, Yohanes Redja pergi ke tempat tersebut. Jenazah mereka disapu dengan handuk kemudian dikubur di situ juga. Makamnya tidak dalam. Pemakaman ini dilakukan sekadar untuk menghilangkan jejak saja. Jenazah keduanya lalu dimakamkan kembali secara besar-besaran pada tanggal 5 Agustus 1950 di Kerkhop Muntilan. Dengan khidmat peti-peti mayat diusung oleh pramuka dan anggota-anggota Angkatan Udara dan dimakamkan di tempat pendiri Gereja di antara orang Jawa, yaitu Romo van Lith yang sudah beristirahat sejak tahun 1926.
Romo Sandjaja menjadi salah satu martir pertama yang sangat terkenal di Pulau Jawa. Sandjaja telah menjadi symbol ketabahan, kesucian, kesederhanaan, dan kesetiaan bagi umat Katolik.