Pemerintahan Nasional Direorganisasi Republik Tiongkok

(Dialihkan dari Republik China-Nanjing)

Pemerintahan Nasional Direorganisasi Republik Tiongkok, atau secara Umum di Tiongkok di sebut sebagai "Rezim Wang Jingwei" secara singkat disebut sebagai Republik Tiongkok adalah nama pemerintahan kolaborator yang didirikan di Tiongkok dari tahun 1940-1945.[3] Pemerintahan dan negara ini dipimpin oleh mantan anggota Kuomintang sekaligus Kolaborator Wang Jingwei.

Pemerintahan Nasional Direorganisasi Republik Tiongkok
中華民國改組後國民政府
Zhōnghuá Mínguó Gǎizǔhòu Guómínzhèngfǔ
Chūkaminkoku Saihen-go Kokumin Seifu

ᠪᠦᠭᠦᠳᠡ
ᠨᠠᠶᠢᠷᠠᠮᠳᠠᠬᠤ
ᠬᠢᠲᠠᠳ ᠤᠯᠤᠰ
ᠥᠭᠡᠷᠡᠴᠢᠯᠡᠨ
ᠪᠠᠶᠢᠭᠤᠯᠤᠭᠳᠠᠰᠤᠨ
 ᠤ ᠳᠠᠷᠠᠭ᠎ᠠ
ᠦᠨᠳᠦᠰᠦᠨ ᠦ
ᠵᠠᠰᠠᠭ ᠤᠨ ᠭᠠᠵᠠᠷ

Бүгд Найрамдах Хятад Улс өөрчлөн байгуулагдсаны дараа үндэсний засгийн газар
(Bahasa Jepang, Bahasa Mandarin, Bahasa Mongol)
1940–1945
Bendera Republik Tiongkok
Bendera
1940 - 1943
Semboyan和平反共建國
"Perdamaian, Anti-Komunisme, Pembangunan Nasional"
Rezim Wang Jingwei (Merah tua) dan Mengjiang (Merah muda) di dalam territori jajahan Kekaisaran Jepang (Pink)
Rezim Wang Jingwei (Merah tua) dan Mengjiang (Merah muda) di dalam territori jajahan Kekaisaran Jepang (Pink)
StatusNegara dan Rezim boneka daripada Kekaisaran Jepang
Ibu kotaNanking
Kota terbesarShanghai
Bahasa resmiBahasa Mandarin
Bahasa Jepang
Bahasa Mongol
PemerintahanRepublik kesatuan satu-partai
di bawah sistem Kediktatoran fasis[2]
Presiden 
• 1940–1944
Wang Jingwei
• 1944–1945
Chen Gongbo
Wakil Presiden 
• 1940–1945
Zhou Fohai
Era SejarahPerang dunia II
• Didirikan
30 March 1940
• Di akui oleh Jepang
20 November 1940
• Dibubarkan
16 Augustus 1945
Didahului oleh
Digantikan oleh
Pemerintahan Direformasi Republik Tiongkok
Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok
Pemerintahan Otonom Mengjiang Serikat
Republik Tiongkok
Sekarang bagian dariRepublik Rakyat Tiongkok
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Wang Jingwei adalah pemimpin sayap-kiri dari faksi Kuomintang yang dinamakan Kaum Reorganisasi. Kelompok ini sering bertentangan dengan kebijakan Chiang Kai-shek. Setelah jatuhnya ibu kota Nanjing ke tangan tentara Kekaisaran Jepang, pemerintahan Nasionalis terpaksa melarikan diri ke Chongqing. Pada tanggal 30 Maret 1940, pemberontak-pemberontak yang berada di bawah pengawasan tentara Jepang membentuk pemerintah kolaborator yang sekaligus diproklamirkan sebagai perwakilan yang sah dari Republik Tiongkok. Pemerintah Direorganisasi Nasional dibentuk dari pemerintahan kolaborator sebelumnya yang ada di Tiongkok utara dan tengah, yaitu Pemerintahan Direformasi Republik Tiongkok yang berbasis di Tiongkok timur, Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok di Tiongkok utara, dan pemerintah Mengjiang yang ada di Mongolia Dalam, meskipun dalam kenyataannya Tiongkok Utara dan Mongolia Dalam relatif bebas dari pengaruh Nanjing. Meskipun menggunakan simbol-nama dan simbol negara yang sama dengan Pemerintahan Nasionalis di Chongqing, namun pemerintah Nanjing hanya mendapat pengakuan internasional oleh negara pentandatangan Pakta Anti-Komintern, sedangkan Pemerintahan Nasionalis terus diakui oleh seluruh dunia sebagai satu-satunya representasi Republik Tiongkok yang sah.

Republik Tiongkok yang dipimpin Pemerintahan Reorganisasi Nasional secara efektif adalah salah satu dari beberapa negara boneka dibawah kendali Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua (1937-1945), dan PRN dimaksudkan untuk menyaingi legitimasi Pemerintah Nasionalis. Pemerintahan Reorganisasi Nasional menyatakan perang terhadap Sekutu pada tanggal 9 Januari 1943. Pada akhirnya, negara ini dan pemerintahannya dibubarkan menyusul kekalahan militer Jepang di akhir perang pada Agustus 1945.

Etimologi

sunting

Rezim ini juga secara tak resmi dikenal sebagai Pemerintahan Nasionalis Nanjing (Hanzi: ; Pinyin: Nánjīng Guó Mín Zhèng), Rezim Nanjing, atau dinamakan sesuai nama pemimpinnya Rezim Wang Jingwei (Hanzi: ; Pinyin: Wāng Jīngwèi Zhèngquán). Nama lain yang digunakan adalah Republik Tiongkok-Nanjing, Tiongkok-Nanjing, atau Tiongkok Baru.

Batas-batas politik

sunting

Secara teori, Pemerintahan Reorganisasi menguasai seluruh wilayah Tiongkok dengan pengecualian Manchukuo, yang diakui sebagai negara merdeka. Pada kenyataannya, Pemerintahan Reorganisasi hanya menguasai Jiangsu, Anhui, dan sektor utara Zhejiang, dimana semuanya awalnya menjadi wilayah yang dikuasai Jepang setelah 1937.

Oleh karena itu, batas-batas sebenarnya Pemerintah Reorganisasi berubah jika Jepang menguasai wilayah baru dalam perang. Selama serangan Jepang pada Desember 1941, Pemerintah Reorganisasi meluaskan kekuasaanya atas Hunan, Hubei, dan bagian provinsi Jiangxi. Pelabuhan Shanghai dan kota-kota Hankou dan Wuchang juga di bawah kendali Pemerintahan Reorganisasi setelah 1940.

Provinsi yang dikendalikan oleh Jepang seperti Shandong dan Hebei, secara teoretis adalah bagian dari PRN, meskipun sebenarnya daerah ini dikuasai oleh Komandan Front Utara Jepang dan berada dibawah pemerintahan yang dikendalikan Jepang secara terpisah dan berpusat di Beijing. Seperti Front Utara, sektor selatan memiliki komandan militer dan pemerintahan dari Jepang sendiri yang berpusat di Guangzhou. Setiap front bertindak sebagai unit militer sendiri, dengan administrasi politik dan ekonomi sendiri, juga serta komandan militer Jepang sendiri.

  • Jiangsu: 41,818 mi² (108,308 km²); ibu kota: Zhenjiang
  • Anhui: 51,888 mi² (134,389 km²); ibu kota: Anqing (juga termasuk ibu kota negara Nanjing)
  • Zhejiang: 39,780 mi² (103,030 km²); ibu kota: Hangzhou

Menurut sumber lain, jumlah ekspansi wilayah PRN selama periode 1940-an adalah 1,264,000 km².

Selama perang, Angkatan Darat Kekaisaran Jepang melakukan berbagai kekejaman di wilayah yang dikendalikan oleh Pemerintah Reorganisasi, seperti operasi "pembersihan" untuk menakut-nakuti rakyat. Jenderal Toshizō Nishio, Panglima Pasukan Ekspedisi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di daratan Tiongkok, kemudian digantikan oleh Jenderal Yasuji Okamura. Pada tanggal 9 September 1945, menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, pasukan Jepang di daerah ini menyerah kepada Jenderal Dia Yingqin dari tentara Chiang Kai-shek, Tentara Revolusioner Nasional.

Pemerintah, ekonomi, pendidikan dan kehidupan sehari-hari

sunting
 
Wang Jingwei, kepala Pemerintahan Reorganisasi Nasional

Administrasi politik dan pemerintah

sunting

Struktur administrasi Pemerintah Reorganisasi meliputi Legislatif Yuan dan Eksekutif Yuan. Keduanya berada dibawah presiden dan kepala negara Wang Jingwei. Namun, kekuatan politik yang nyata tetap berada ditangan Panglima Tentara Jepang Front Tiongkok Tengah dan lembaga politik Jepang yang dibentuk oleh penasihat Jepang. Jepang juga mendirikan berbagai partai dan gerakan nasionalis lokal untuk mendukung keinginan mereka.

Setelah memperoleh persetujuan Jepang untuk membentuk pemerintahan nasional, Wang Jingwei memerintahkan Kongres Perwakilan Kuomintang Keenam untuk mendirikan pemerintahan ini di Nanjing. Dedikasi terjadi di Ruang Konferensi, dan dua bendera yaitu bendera nasional "biru-langit putih-matahari merah-bumi" dan bendera "biru-langit putih-matahari" Partai Nasionalis diperkenalkan, mengapit potret besar Sun Yat-sen.

Pada hari pemerintahan baru dibentuk, dan sebelum sidang "Konferensi Politik Pusat" dimulai, Wang mengunjungi makam Sun di Gunung Ungu Nanjing dalam upaya untuk membangun legitimasi kekuasaannya sebagai pengganti Sun. Wang telah menjadi pejabat tingkat tinggi Pemerintah Nasionalis dan sebagai orang yang dekat dengan Sun, ia mentranskrip wasiat terakhir Sun, yaitu Perjanjian Zongli. Agar mendiskreditkan legitimasi pemerintah Chongqing, Wang mengadopsi bendera Sun dengan harapan hal ini dapat membuatnya sebagai penerus sah Sun dan membawa pemerintah kembali ke Nanjing.

Pemerintahan Nanjing dan Tiongkok Utara

sunting

Pemerintah Beijing (Administrasi Otonom Anti-Komunis Yi) berada di bawah panglima Front Jepang Tiongkok Utara sampai daerah Sungai Kuning jatuh dalam lingkup pengaruh Front Tiongkok Tengah. Selama periode yang sama, daerah tengah Zhejiang hingga Kanton dikuasai oleh Front Tiongkok Selatan. Terdapat juga wilayah-wilayah kecil, dimana sebagian besar wilayah ini independen serta memiliki mata uang dan pemimpin lokalnya sendiri. Wilayah-wilayah kecil ini sering bertentangan.

Wang Jingwei pergi ke Tokyo pada tahun 1941 untuk pertemuan dengan pengawas Jepangnya. Di Tokyo, Menteri Pemerintahan Nanjing dan Wakil Presiden Chou Fo-hai berkomentar kepada Asahi Shimbun bahwa lembaga yang dibentuk Jepang hanya membuat sedikit kemajuan di daerah Nanjing. Pernyataanya ini menimbulkan kemarahan dari Kumataro Honda, Duta Besar Jepang dan Konsulat di Nanjing. Chou Fo-hai mengajukan petisi untuk kontrol total provinsi sentral Tiongkok oleh PRN. Sebagai tanggapan, Letnan Jenderal AD Kekaisaran Jepang Teiichi Suzuki diperintahkan untuk memberikan bimbingan militer untuk rezim Wang Jingwei di Nanking, dan menjadi bagian dari kekuatan sebenarnya yang ada di balik pemerintahan Wang.

Dengan izin dari tentara Jepang, kebijakan monopoli umum diterapkan, untuk kepentingan zaibatsu Jepang dan perwakilan lokalnya. Meskipun perusahaan-perusahaan ini diduga diperlakukan sama seperti perusahaan-perusahaan lokal oleh pemerintah, Presiden Legislatif Yuan di Nanjing, Cheng Kung-po, menganggap bahwa pendapat Kaizo Jepang tidaklah benar. Pemerintahan Nanjing juga membuat kedutaan besarnya sendiri di Yokohama, Jepang (seperti yang dilakukan negara boneka Manchukuo).

Orang-orang penting

sunting
 
Wang Jingwei, Hideki Tojo dan Subhas Chandra Bose di Tokyo (1943)
 
Chen Gongbo, gubernur Shanghai dan Kepala Pemerintahan 1944-1945

Adminstrasi lokal:

  • Liang Hongzhi: Presidenn dan Kepala Negara pada masa-mas awal
  • Wang Jingwei: Presiden dan Kepala Negara
  • Chen Gongbo: Presiden dan Kepala Negara setelah kematian Wang, juga presiden Legislatif Yuan dan Gubenur daerah pendudukan Shanghai.
  • Zhou Fohai: Wapres dan Menteri keuangan di Legislatif Yuan
  • Jiang Kanghu: Kepala Yuan Pendidikan.
  • Kumataro Honda: Penasehat sipil dan politik PRN dan Duta Besar Jepang di Nanjing
  • Nobuyuki Abe: Penasehat politik Jepang di pemerintahan PRN
  • Teiichi Suzuki: Penasehat politik dan militer pemerintahan PRN
  • Bao Wenyue: Menteri Masalah Militer
  • Ren Yuandao: Menteri Angkatan Laut
  • Xiao Shuxuan: Kepala Staf Umum
  • Yang Kuiyi: Menteri Pelatihan Militer
  • Li Shiqun: Kepala No. 76, dinas rahasia PRN yang ditempatkan di Jalan Jessefield No. 76, Shanghai
  • Kaya Okinori: Nasionalis Jepang, pedagang, dan penasihat komersial PRN
  • Chu Minyi: Duta Besar PRN di Yokohama, Japan
  • Tao Liang: Pemilik tanah terkenal di Tiongkok dan pejabat pemerintah PRN
  • Chao Kung: (Ignaz Trebitsch-Lincoln), pemimpin agama Buddha yang diakui

Perwakilan asing dan personel diplomatik:

Ekonomi

sunting

Ekonomi lokal dikelola terutama untuk Tentara Front Sentral Jepang. Perencana militer memberlakukan "ekonomi pendudukan" dengan uang perang (Yen militer dan Yuan Tiongkok), dan Bank Sentral Tiongkok yang seharusnya adalah entinitas Tiongkok, tetapi malah dikelola oleh penasehat Jepang dan tentara Jepang di daerah ini. Tiongkok dibawah rezim PRN memiliki akses yang lebih besar untuk mendapat barang mewah di masa perang, dan pihak Jepang dapat menikmati benda-benda seperti korek api, beras, teh, kopi, cerutu, makanan dan minuman beralkohol, yang semuanya langka di Jepang. Hiburan tambahan, seperti pelacuran, kasino dan bar, dikelola oleh fungsionaris Jepang dan lokal untuk kepentingan militer. Tujuan dari kontrol ini diduga untuk menghambat depresiasi moneter dari yen, sehingga dapat menjaga kekuatan mata uang Jepang di wilayah ini.

Di wilayah yang diduduki Jepang, harga kebutuhan pokok naik secara substansial. Di Shanghai pada tahun 1941, harga barang naik hinga sebelas kali lipat. Inflasi serupa terjadi di Manchukuo, meskipun kendali ekonomi sangat terpusat oleh Jepang.

Pendidikan

sunting

Pendidikan yang dilakukan serupa seperti di semua wilayah yang diduduki Jepang. Strateginya adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang cocok untuk pabrik-pabrik dan tambang, serta untuk tenaga kerja manual. Jepang juga berusaha untuk memperkenalkan budaya dan pakaian mereka ke Tiongkok. Keluhan-keluhan seperti di Manchukuo, menuntut dan menyerukan pengembangan pendidikan yang lebih bermakna Tiongkok. Kuil Shinto dan pusat kebudayaan yang sama dibangun untuk menanamkan budaya dan nilai-nilai Jepang. Kegiatan ini terhenti pada akhir perang.

Kehidupan shari-hari

sunting

Kehidupan sehari-hari sering sulit di Tiongkok yang dikuasai PRN, dan semakin sulit saat kondisi perang berbalik melawan Jepang (sek. 1943). Penduduk setempat terpaksa melakukan pasar gelap untuk mendapatkan barang-barang yang diperlukan atau untuk mempengaruhi lembaga yang berkuasa. Kempetai dan Tokko Jepang, polisi korlaborator Tiongkok, dan warga negara Tiongkok yang bekerja di lembaga-lembaga/orang Jepang, semua bekerja untuk menyensor informasi, memantau oposisi, dan menyiksa musuh dan pembangkang. agen rahasia "dalam negeri" Tewu, dibentuk dengan "penasihat" tentara Jepang.

Jepang juga mendirikan pusat-pusat penahanan tawanan perang, kamp-kamp konsentrasi, dan pusat pelatihan Kamikaze untuk mengindoktrinasi pilot sebagai anggota Angkatan Laut Kōkūtai Shanghai (dilengkapi dengan Mitsubishi A6M Reisen, Yokosuka K5Y, Nakajima B5N dan beberapa pesawat amfibi). Nakajima/Kugisho L3Y1/2 dari Skuadron Pangkalan Tsingtao, dipisahkan di Tsingtao sebagai bagian dari Shina Homen Kantai' (Armada Wilayah Tiongkok) di antara Angkatan Darat I/II Chutai dari Hiko Sentai ke-85 dan Senai ke-9 (dilengkapi dengan Ki-44 Shoki/Ki-84 Hayate). Kedua unit tersebut dipusatkan di Shanghai dan Nanjing.

Kontrol media

sunting
 
Dinding rumah dengan slogan berbunyi: "Dukung Tuan Wang Jingwei!"

Pemerintahan Nanjing membentuk "Biro Manajemen Surat Kabar" dibawah "Departemen Propaganda" pada bulan Oktober 1940. Empat lembaga pers dibentuk pada tahun 1941, meskipun semuanya secara resmi dikendalikan oleh dan disensor oleh Departemen Propaganda.

Populasi

sunting

Populasi mungkin jumlahnya hampir mirip dengan angka dari tahun 1937-1938 yang berasal Kementerian Luar Negeri, dengan tidak memperhitungkan dari daerah luar atau daerah yang diduduki setelah kemenangan perperangan:

  • Jiangsu: 15,804,623
  • Anhui: 23,354,188
  • Zhejiang: 21,230,749

Populasi kota-kota besar meliputo:

  • Nanjing: 1,100,000
  • Shanghai: 3,703,430 (termasuk 75,000 orang asing)
  • Suzhou: 576,000
  • Hangzhou: 389,000
  • Shaoxing: 250,000
  • Ningbo: 250,000
  • Hankow: 804,526 (saat penguasaan sementara)

Penghitungan populasi lain menghasilkan:

  • Shanghai: 3,500,000
  • Hankow: 778,000

Sumber lain pada tahun 1940 melaporkan bahwa jumlah penduduk bertambah menjadi 182,000,000.

Pertahanan Nasional

sunting
 
Presiden Wang Jingwei saat parade militer pada ulang tahun ketiga pembentukan pemerintahan

Tentara Jepang mengorganisasi tentara lokal, yang bertujuan untuk menlindungi Tiongkok dibawah Rezim Nanjing (PRN). Pada kenyataannya, tentara berfungsi sebagai garis kedua serangan dan keamanan internal sebagai bagian dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Sebuah angkatan udara kolaborator ("Angkatan Udara Pemerintah Reformasi Tiongkok" (1938), yang kemudian berganti nama menjadi "Angkatan Udara Pemerintahan Nasional Tiongkok" pada tahun 1940) dibentuk, dimana pada awalnya hanya diberikan glider untuk tujuan pelatihan. Kemudian, AU ini dilengkapi dengan:

Untuk Angkatan Darat Kolaborator, Jepang menyediakan:

Untuk AL Kolaborator, AL Jepang menyediakan (semuanya hasil sitaan):

  • Gunboat Suma (bekas HMS Moth)
  • Gunboat Tatara (bekas USS Wake)
  • Gunboat Karatsu (bekas USS Luzon)
  • Gunboat Narumi (bekas RM Ermanno Carlotto)
  • Gunboat Okitsu (bekas RM Lepanto)
  • Gunboat Nan-Yo (bekas AL Tiongkok Teh Hsing)
  • Patrol Boat PB-102 (bekas USS Stewart)
  • Patrol Boat PB-101 (bekas HMS Thracian)
  • Light Cruiser Isojima (bekas AL Tiongkok Ning Hai)
  • Light Cruiser Yasojima (bekas AL Tiongkok Ping Hai)
 
Bendera Perang Republik Tiongkok-Nanjing sejak 1 Mei 1942.

Rezim juga memiliki kekuatan berupa polisi reguler di bawah kendali Jepang. Para politisi dan media lokal secara konsisten memberikan propaganda pro-Jepang, memuji "upaya heroik pasukan Imperial", dan berpendapat "untuk pertahanan nasional terhadap komunisme dan kepentingan Barat".

Pasukan Chiang Kai-shek menangkap sejumlah anggota militer Wang Jingwei selama pertempuran militer. Tahanan musuh dari peringkat rendah dibujuk untuk berkhianat dan berjuang bersama pasukan anti-Jepang, tapi tahanan tingkat tinggi dieksekusi. Para pemimpin militer termasuk:

  • Menteri Masalah Militer: Bao Wenyue (鮑文樾)
  • Menteri Angkatan Laut: Ren Yuandao (任援道)
  • Kepala Staf Umum: Yang Kuiyi (楊揆一)
  • Menteri Pelatihan Militer: Xiao Shuxuan (蕭叔萱)


Lihat juga

sunting

Referensi

sunting

Sitasi

sunting
  1. ^ Japanese Newsreel with the national anthem di YouTube
  2. ^ Larsen, Stein Ugelvik (ed.). Fascism Outside of Europe. New York: Columbia University Press, 2001. ISBN 0-88033-988-8. p. 255.
  3. ^ Narangoa, Li; Cribb, R.B. (2003). Imperial Japan and national identities in Asia, 1895–1945. Routledge. hlm. 13. ISBN 0-7007-1482-0. 

Bibliografi

sunting
  • Martin, Brian G. (2003-01-01). "'in My Heart I Opposed Opium': Opium and The Politics of the Wang Jingwei Government, 1940–45". European Journal of East Asian Studies. 2 (2): 365–410. doi:10.1163/157006103771378464. JSTOR 23615144. 
  • So, Wai Chor (January 2011). "Race, Culture, and the Anglo-American Powers: The Views of Chinese Collaborators". Modern China. 37 (1): 69–103. doi:10.1177/0097700410382542. JSTOR 25759539. 
  • Zanasi, Margherita (June 2008). "Globalizing Hanjian: The Suzhou Trials and the Post-World War II Discourse on Collaboration". The American Historical Review. 113 (3): 731–751. doi:10.1086/ahr.113.3.731 . JSTOR 30223050. 
  • Bate, Don (1941). Wang Ching Wei: Puppet or Patriot. Chicago, IL: RF Seymour. 
  • Barrett, David P.; Shyu, Larry N., ed. (2001). Chinese Collaboration with Japan, 1932–1945: The Limits of Accommodation. Stanford University Press. 
  • Behr, Edward (1987). The Last Emperor. Recorded Picture Co. (Productions) Ltd and Screenframe Ltd. 
  • Boyle, John H. (1972). China and Japan at War, 1937–1945: The Politics of Collaboration. Harvard University Press. 
  • Brodsgaard, Kjeld Erik (2003). China and Denmark: Relations since 1674. Nordic Institute of Asian Studies. 
  • Bunker, Gerald (1972). The Peace Conspiracy: Wang Ching-wei and the China War, 1937–1941. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. ISBN 978-0674-65915-5. 
  • Ch'i, Hsi-sheng (1982). Nationalist China at War: Military Defeats and Political Collapse, 1937–1945. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press. 
  • Chiang, Kai-Shek (1957). The Soviet Russia in China. 
  • Chiang, Wego W. K. How the Generalissimo Chiang Kai Shek gained the Chinese-Japanese eight years war, 1937–1945. 
  • Cotterel, Arthur (2009). Western Power in Asia: Its Slow Rise and Swift Fall, 1415–1999. Wiley. 
  • Dorn, Frank (1974). The Sino-Japanese War, 1937–41: From Marco Polo Bridge to Pearl Harbor. Macmillan. 
  • Hsiung, James C.; Levine, Steven I., ed. (1992). China's Bitter Victory: The War with Japan, 1937–1945. Armonk, NY: M. E. Sharpe. 
  • Jowett, Phillip S. (2004). Rays of The Rising Sun, Armed Forces of Japan's Asian Allies 1931–45, Volume I: China & Manchuria. Solihull, West Midlands, England: Helion & Co. Ltd. 
  • MacKinnon, Stephen; Lary, Diana (2007). China at War: Regions of China, 1937–1945. Stanford University Press. 
  • Max, Alphonse (1985). Southeast Asia Destiny and Realities. Institute of International Studies. 
  • Mote, Frederick W. (1954). Japanese-Sponsored Governments in China, 1937–1945. Stanford University Press. 
  • Newman, Joseph (March 1942). Goodbye Japan. New York, NY. 
  • Pollard, John (1014). The Papacy in the Age of Totalitarianism, 1914–1958 . Oxford University Press. ISBN 0199208565. 
  • Smedley, Agnes (1943). Battle Hymn of China. 
  • Wang, Wei (2016). China's Banking Law and the National Treatment of Foreign-Funded Banks. Routledge. 
  • Young, Ernest (2013). Ecclesiastical Colony: China's Catholic Church and the French Religious Protectorate. Oxford University Press. hlm. 250–251. ISBN 978-0199924622. 

Pranala luar

sunting