Rendang belut
Rendang belut (dari bahasa Minang: randang baluik) adalah variasi rendang berbahan belut. Masakan ini merupakan masakan tradisional khas Minang yang terutama terdapat di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Rendang belut dihidangkan bersama-sama dengan masakan lain dalam perhelatan adat Minang, seperti upacara pernikahan, turun mandi, khitanan, batagak pangulu, dan sebagainya.[1][2]
Belut yang akan dimasak terlebih dahulu dibersihkan lendirnya dan dibakar di atas api sehingga kering. Secara umum, proses pembuatan rendang belut sama seperti rendang daging, hanya berbeda pada penggunaan banyak macam daun saat memasak. Bumbu-bumbu dimasukkan ke dalam santan dan diaduk hingga santal mengental. Setelah itu, belut dimasukkan bersama daun-daun sambil terus diaduk hingga hingga kuah santan kering dan warnanya menjadi gelap.[2][1]
Hidangan rendang belut memiliki tekstur gurih dengan rasa asam dan pedas. Rendang belut disajikan dengan daun-daun yang digunakan saat memasak. Daun-daun tersebut dimakan, sedangkan tulang belut tidak dimakan.[2][1]
Bahan
suntingBelut
suntingBagi masyarakat Minangkabau di Tanah Datar, belut dapat diolah sebagai makanan dengan proses memasak rendang. Oleh sebab itu, hidangan ini disebut sebagai randang baluik. Belut merupakan sumber protein. Menurut gizinya, belut memiliki kandungan protein yang tinggi melebihi kandungan protein yang ada pada ikan.[3] Karena permukaan tubuh belut dilapisi dengan selaput lendir, belut yang akan dimasak terlebih dahulu dibersihkan lendirnya.[2]
Belut umumnya diperoleh dari areal persawahan. Areal pesawahan memungkinkan berkembang biaknya belut. Ada alat tradisional yang digunakan untuk menangkapa belut yaitu lukah, seperti bubu. Selain ditangkap dari areal persawahan, ada pula yang melakukan usaha budi daya belut untuk mengimbangi permintaan konsumen yang semakin tinggi.[1]
Bumbu dan dedaunan
suntingBumbu yang diperlukan untuk membuat rendang belut, yakni kelapa, sipadeh (jahe), langkueh (lengkuas), bawang merah, bawang putih, ketumbar, garam, cabe merah, cabe rawit, dan beberapa macam daun-daunan. Untuk 1 kg belut, diperlukan empat kelapa. Daun-daunan berfungsi sebagai penyedap rasa. Ada banyak macam daun-daun yang digunakan di antaranya: daun surian, daun asam batang, daun kantuik-kantuik, daun kasambi, daun aka katidiang, daun kapeh, daun asam kudo, daun aka baluik, daun kunyit, daun salam, dan daun jeruk purut.[1]
Pengolahan
suntingPengolahan rendang belut tak berbeda dengan pengolahan rendang pada umumnya. Bahan utamanya, yakni belut. Sebelum diolah dan dimasak dengan bumbu rendang, belut dibersihkan terlebih dahulu agar lendir pada belut hilang. Caranya, yakni dengan menggosok belut pada daun sarai, daun jambu biji, atau abu dapur (abu dari tungku) dan menyiramkan air panas. Adapun untuk menghilangkan bau amis, belut dibakar di atas api menyala.[2][1]
Belut yang sudah bersih digoreng menggunakan minyak hingga rapuh atau garing, tetapi tidak terlalu lama agar belut tidak kering. Pengeringan belut dapat pula dilakukan dengan cara dijemur, tetapi membuat belut keras. Pengeringan belut tergantung pada kebiasaan masing-masing orang.[2][1]
Sementara itu, bumbu-bumbu dihaluskan dan daun-daun diiris untuk dimasukkan ke dalam santan sambil diaduk. Proses pengadukan terus dilakukan hingga warna kuah santan menjadi gelap. Setelah itu, belut dimasukkan dan diaduk hingga kuah kering.[2][1]
Referensi
suntingDaftar pustaka
sunting- Ensiklopedi Makanan Tradisional Indonesia (PDF). Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004.
- Reno Andam Suri (2012). Rendang Traveler: Menyingkap Bertuahnya Rendang Minang. Terrant Ink. ISBN 979-3750-45-6.
- "Si Licin Belut Kuatkan Tulang". Kompas.com. 7 November 2008.