Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang memiliki arti “menyusun kembali”. Rekonstruksionisme merupakan satu paham filsafat yang bertujuan melanjutkan gerakan progresivisme. Para kaum rekonstruksionis menentang para kaum progresif yang hanya berfokus dan melibatkan diri kepada masalah-masalah yang sekarang.[1]

John Dewey in 1902

Filsafat rekonstruksionisme pada dasarnya hampir sepaham dengan perenialisme yang hendak mencoba mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja, jalan yang ditempuh memiliki perbedaan, perenialisme memilih untuk kembali ke kebudayaan lama yang sudah teruji dan terbukti mampu mengatasi krisis, sedangkan rekonstruksionisme mencoba membina konsensus secara luas yaitu dengan mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama.[2]

Filsafat rekonstruksionisme juga merupakan elaborasi lanjutan dari gerakan progresivisme. Para kaum rekonstruksionis meyakini bahwa peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Mereka juga menekankan tentang perbedaan terhadap individual seperti kaum progresif, akan tetapi rekonstruksionisme lebih menekankan terhadap pemecahan masalah, berpikir kritis dan sejenisnya.[3]

Kaum rekonstruksionis juga memiliki pandangan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan sebuah dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang diatur atau dikuasai oleh golongan-golongan tertentu. Menurut mereka, cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya dalam teori, tetapi harus diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, serta keamanan di tengah masyarakat, tanpa ada pembedaan terhadap warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat yang bersangkutan.[4]

Tujuan

sunting

Tujuan rekonstruksionisme yaitu memiliki rasa keinginan untuk membangun masyarakat baru yang pantas dan adil. Karena tujuan tersebut, kaum rekonstruksionis mencoba melakukan kesepakatan antar tiap-tiap manusia agar mereka ikut mengatur tata kehidupan manusia di dalam satu tatanan serta lingkungan. Oleh karena itu, menurut kaum rekonstruksionis, lembaga pendidikan perlu melakukan tatanan ulang susunan yang telah lama dan membangun kembali tatanan hidup dengan dasar kebudayaan yang baru.[1]

Sejarah

sunting

Pada mulanya rekonstruksionsime muncul dikarenakan terbitnya karya John Dewey yang berujudul Reconstruction in Philosophy pada tahun 1920. Ulusan tersebut mendapat perhatian oleh George Counts dan Harold Rugg untuk membuat gerakan sekitar tahun 1930-an, melalui keinginan George Counts dan Harold Rugg untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai suatu media yang bertujuan menkonstruksi masyarakat. George Count dalam tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order? mencoba mencari tau bagaimana sistem sosial dan ekonomi pada masa itu telah menjadi masalah yang mendasar bagi masyarakat. George Count berpandangan bahwa pendidikan harus menjadi suatu agen perubahan untuk rekonstruksi sosial. Ia juga mengkritik model pendidikan progresivisme yang dianggap telah gagal dalam mengembangkan teori kesejahteraan sosial dan bahkan dengan tegas bahwa pendidikan yang berpusat terhadap anak (the child centered approach) tidak memiliki jaminan untuk menciptakan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.[1]

Prinsip-prinsip

sunting

Penciptaan tatanan sosial mendunia

sunting

Menurut kaum rekonstruksionis, umat manusia hidup di masyarakat dunia yang kemampuan teknologi bisa membinasakan kehidupan manusia itu sendiri bahkan keperluan-keperluan material tiap-tiap orang. Menurut mereka, banyak para pengkhayal yang sangat muncul di tengah masyarakat dikarenakan komunitas internasional yang secara bersama-sama bertanding dari kesibukan untuk menghasilkan dan mengupayakan kekayaan material menuju ke dalam tingkat yang mana keperluan dan kepentingan manusia dianggap hal yang paling penting. Dalam kondisi masyarakat semacam itu di dunia, maka orang-orang selanjutnya akan berkonsentrasi untuk menjadi manusia yang lebih baik (secara material) sebagai tujuan akhir.[1]

Pendidikan formal sebagai agen utama dalam tatanan sosial

sunting

Dari perspektif kaum rekonstruksionis, pendidikan dapat menjadi salah satu instrumen yang mampu mengaburkan tuntunan mendesak transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan atau bahkan dapat menjadi instrumen yang mengkonstruk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihan ke masa yang akan datang. Kalangan rekonstruksionis di satu sisi tidak memandang bahwa sekolah mempunyai kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial pada masyarakat. Disisi lain kaum rekonstruksionis percaya bahwa sekolah dapat menjadi agen kekuatan utama untuk menyentuh kehidupan seluruh aspek masyarakat, karena sekolah meyantuni anak-anak didik selama usia mereka yang paling peka. Oleh karena itu, sekolah dapat menjadi penggerak utama untuk mencerahkan masalah-masalah sosial dan agitator utama perubahan sosial.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Purnamasari, Lin (2015). "Rekonstruksionisme-futuristik dalam pendidikan di Indonesia". Jurnal Ilmiah CIVIS. 5 (2): 834. 
  2. ^ Mubin, Ali (2018-03-05). "PENGARUH FILSAFAT REKONSTRUKSIONISME TERHADAP RUMUSAN KONSEP PENDIDIKAN SERTA TINJAUAN ISLAM TERHADAPNYA". Rausyan Fikr (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 69. ISSN 1979-0074. 
  3. ^ Kristiawan, Muhammad (2016). Filsafat Pendidikan The choice is yours. Jogjakarta: Valia Pustaka. hlm. 237. ISBN 978-602-71540-8-7. 
  4. ^ Fajar Ento, Feri (2020). "Desain gaya mengajar konstruktif melalui kontemplasi filsafat pendidikan rekonstruksionisme". ANTUSIAS: Jurnal Teologi dan Pelayanan. 6 (1): 6.