Raja menganggur
Raja menganggur atau raja malas (bahasa Prancis: roi fainéant, pengucapan bahasa Prancis: [ʁwa fɛneɑ̃]) adalah julukan bagi raja-raja terakhir dari wangsa Meroving yang tampak sudah kehilangan semangat juang para leluhurnya. Raja-raja yang dijuluki demikian adalah raja-raja yang naik takhta sesudah Raja Dagobert I mangkat pada 639 (mulai dari Raja Teuderik III yang naik takhta pada 673) sampai dengan Raja Kilderik III yang dimakzulkan oleh Pipin Si Pendek pada 751.
Julukan ini diciptakan oleh Einhard, pujangga Franka yang menulis Vita Karoli Magni, Riwayat Karel Agung. Einhard meriwayatkan bahwa raja-raja terakhir dari wangsa Meroving hanyalah raja-raja yang "tinggal nama semata",
Tak ada lagi apa-apa yang perlu dikerjakan sang raja selain berpuas diri dengan sebutan raja, dengan rambutnya yang panjang terurai, serta janggutnya yang tumbuh menjuntai, dan bersemayam di atas singgasana dengan lagak penguasa, menerima sembah para duta yang berdatangan dari segala penjuru, serta memperkenankan mereka untuk undur diri, seakan-akan atas kewenangannya sendiri, dengan ucapan yang sesungguhnya disarankan atau bahkan dipaksakan padanya untuk diujarkan. Ia tak punya apa-apa yang dapat ia sebut milik sendiri selain gelar raja yang hampa dan nafkah tak menentu yang diberikan sang pembesar istana sekehendak hatinya, di luar dari penghasilan yang ia terima selaku penguasa sebuah desa, itu pun sangat kecil jumlahnya.[1]
Pada zaman raja menganggur, raja-raja wangsa Meroving lambat laun semakin dikendalikan oleh para pembesar istana mereka. Pada abad ke-6, pembesar istana hanyalah seorang kepala rumah tangga istana, namun pada abad ke-7 telah merangkak naik menjadi penguasa sesungguhnya "di balik singgasana" yang membatasi peran raja menjadi sekadar suatu jabatan seremonial belaka.
Di kemudian hari, raja terakhir dari wangsa Karoling, yakni Louis V dari Prancis, juga dijuluki Le Fainéant ("Si Penganggur" atau "Si Pemalas"), karena ia hanya benar-benar berkuasa penuh di Laon dan sekitarnya.
Rujukan
sunting- ^ "Neque regi aliud relinquebatur, quam ut regio tantum nomine contentus crine profuso, barba summissa, solio resideret ac speciem dominantis effingeret, legatos undecumque venientes audiret eisque abeuntibus responsa, quae erat edoctus vel etiam iussus, ex sua velut potestate redderet; cum praeter inutile regis nomen et precarium vitae stipendium, quod ei praefectus aulae prout videbatur exhibebat, nihil aliud proprii possideret quam unam et eam praeparvi reditus villam, in qua domum et ex qua famulos sibi necessaria ministrantes atque obsequium exhibentes paucae numerositatis habebat.'"
- M. Christian Pfirter, "La Gallia sotto i franchi merovingi: vicende storiche" dalam Storia del mondo medioevale, Jilid I, 1999, hlmn. 688-711.
- Marie-Nicolas Bouillet, Alexis Chassang, "Rois fainéants" dalam Dictionnaire universel d’histoire et de géographie, 1878.
- Jean Verseuil, Les rois fainéants - De Dagobert à Pépin, Paris, 1946.