Rais Latief (1900-1977)

sunting

SAAT Tanah Air masih berbalut kolonialisme, Lampung Barat awal abad ke-20 sudah mengembangkan tradisi intelektual muslim yang tergolong luar biasa; diukur masa sekarang sekalipun. Di kawasan Talangparis terdapat sekolah dan madrasah Muhammadiyah dengan deretan pengajar lulusan luar negeri. Salah satunya H. Rais Latief.
Lahir awal abad lalu, sekitar tahun 1900, di Gedung Asin, Liwa, saat ini merupakan Desa Sebarus, 1 km dari Pasar Liwa. Setelah menyelesaikan sekolah rakyat di Liwa, Rais muda melanjutkan pendidikan ke sekolah agama Thawalib di Padang Panjang. Karena ketiadaan biaya, mereka kemudian kembali ke kampung membantu sang ayah berdagang kopi dan hasil bumi lain.
Setelah memiliki cukup biaya transportasi, berangkatlah Rais menuju Kairo melanjutkan pendidikan dan tujuh tahun bermukim di sana. Selesai sekolah di Kairo, berangkat Rais ke Mekah memperdalam ilmu hadis. Di Mekah bermukim empat tahun sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, Rais singgah di Singapura, dan mengajar di madrasah Sultan (kini di kompleks masjid Sultan di Arab Street Singapura).
Sepulang mengajar dari Negeri Singa, Rais langsung kembali ke Tanah Air di Batavia (Betawi). Bersama-sama dengan alumnus dari Kairo seperti H. Sulaiman Rasyid (almarhum pengarah buku fikih berbahasa Indonesia yang pertama)--kebetulan berasal dari kampung yang sama—lalu mendirikan sekolah Mualimin di Gang Sentiong Batavia. Sekolah ini terkenal pada masanya dan mampu bersaing dengan sekolah setara yang dipimpin para pastor bangsa asing saat itu.
Menjelang Perang Dunia II, Rais kembali ke Lampung dan mengabdi di tanah tercinta. Pada masa tersebut, dia mendirikan sekolah di Talangparis, daerah Liwa, dekat Bukit Kemuning kini. Salah satu muridnya K.H. Arief Mahya (diakui beliau dalam autobiografinya). Kemudian Rais mengajar di Wustho Mualimin Muhammadiyah di Liwa.
Di sekolah ini diperkenalkan sistem pendidikan modern dengan proses belajar-mengajar yang sangat progresif. Setiap awal hari didahului dengan senam dengan aba-aba menggunakan bahasa Arab sebelum memulai pelajaran. Para siswa diharuskan bercelana panjang dan bersepatu. Jika celana panjang kotor, diperbolehkan berkain dan bersandal. Semua pakaian harus bersih dan rapi. Semua itu amat maju untuk masyarakat kampung saat itu.
Saat mengajar di Whustho Mualimin inilah beliau dijodohkan dengan mantan muridnya, gadis sedesa. Setelah perang usai, keinginan kembali berkarya di Batavia kembali muncul. Pada 1949, setelah semua pegawai berkebangsaan Belanda kembali ke negerinya, Pemerintah RI yang masih muda membutuhkan banyak tenaga terdidik mengisi lowongan di semua jawatan (kini namanya departemen).
Pada 1950 diterima surat panggilan (kawat) untuk datang ke Jakarta mengisi lowongan di Jawatan Penerangan Agama yang kemudian menjadi Departemen Agama. Jawatan Penerangan Agama ini yang kemudian membenahi pendidikan agama di seluruh tingkatan sekolah. Karena banyak alumnus sekolah agama seperti pesantren tidak dilengkapi ijazah, diambil kebijakan melakukan ujian persamaan (ujian guru agama atau UGA) bagi mengisi lowongan guru agama di SD, SMP, dan SMA.
Seiring dengan itu, didirikan sekolah untuk mendidik guru-guru agama atau SGA (sekolah guru agama). Di bidang penyediaan buku dibentuk tim yang ditugaskan mengadakan buku agama yang berbahasa Indonesia. Ada yang ditugaskan menerjemahkan Alquran, ada pula yang ditugaskan menyusun terjemahan hadis sahih Bukhari; ada yang diminta menyusun fikih Islam (almarhum H. Sulaiman Rasyid); dan ada yang diminta menyusun terjemahan hadis sahih Muslim, yakni H. Rais Latief bersama dengan H. Abdul Razak (asal Kotabumi).
Buku-buku tersebut merupakan cikal-bakal buku-buku agama berbahasa Indonesia karya anak bangsa kemudian hari. Buku tersebut sangat populer beredar dan dicetak berulang-ulang di Malaysia dan Singapura.

Sekitar 1962 setelah pensiun sebagai pegawai tinggi Departemen Agama, ketimbang mengajar di perguruan tinggi agama Islam di Jakarta, beliau memilih pulang ke Lampung. Di Lampung Rais kembali memimpin Sekolah Tsanawiah Muhammadiyah Pekon Tengah Sebarus. Sekolah ini sampai kelas IV. Karena tidak ada aliah di Liwa, para alumnusnya melanjutkan di kota-kota lain seperti Yogya. Dengan kualitas memadai, lulusan tsanawiah ini bisa diterima di kelas II aliah atau SMA di Yogya.
Rais tetap mengajar sampai berusia 70 tahun. Beliau wafat pada usia 77 tahun dan dikebumikan di Desa Sebarus Liwa di dekat tempatnya mengajar dan di tengah masyarakat yang begitu dicintainya.
Sumber:

Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 9-11.