Muhammad Adnan

(Dialihkan dari Raden Muhammad Adnan)

Prof. K.H.R. Muhammad Adnan merupakan pendiri PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), kini UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekaligus menjadi rektornya yang pertama. Ia juga merupakan Anggota Konstituant RI mewakili Partai Masyumi.[1]

Muhammad Adnan
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1
Masa jabatan
1951 – 1959
Informasi pribadi
Lahir(1889-05-16)16 Mei 1889
Surakarta, Hindia Belanda
Meninggal24 Juni 1969
, Yogyakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
ProfesiUlama
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Masa Kecil dan Keluarga

sunting

Muhammad Adnan, lahir pada hari kamis Kliwon tanggal 6 Ramadhan 1818 atau tanggal 16 Mei 1889, di dalam rumah "pengulon" (tempat kediaman Penghulu) di kampung Kauman, tengah-tengah kota Surakarta, Jawa Tengah. Nama lain Muhammad Adnan pada waktu kecil adalah Muhammad Shauman.

Orang tuanya Muhammad Adnan adalah almarhum Kanjeng Raden Penghulu Tafsir Anom V (lima), seorang ulama bangsawan sebagai abdi dalem (pegawai) keraton Surakarta. Penghulu Tafsir Anom V (lima) dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabiul Awal tahun Jimakir 1786 Jawa 1854 M dan wafat pada tanggal 21 september 1933, dalam usia 79 tahun. Penghulu Tafsir Anom V (lima) memangku jabatan pengulu (qadli) ketika Sri susuhunan Paku Buwana IX (1861-1893) berkuasa.

Kiai pengulu Tafsir Anom V adalah keturunan kanjeng kiai pengulu Tafsir Anom IV, yang menjabat penghulu semasa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana (PB) VII-IX. Jadi Muhammad Adnan adalah keturunan dari tafsir anom IV yang secara turun-temurun menjabat pengulu (qadhi) di keraton kasunanan Surakarta. Kalau di turut silsilahnya maka akan sampai pada Sultan Syah Alam Akbar III (R. Trenggono), sultan Demak terakhir.

Adapun putra dan putri Kiai Tafsir Anom V (lima) ayah Muhammad Adnan berjumlah 10 orang yaitu:

  1. Raden Ngabei Diprodipuro alias Muhammad Qomar.
  2. Raden Ngabei Tondhodipuro (Raden Ketib Cendhono), alias Muhammad Ridwan.
  3. Raden Nganten Mursoko alias Mardiyah.
  4. Kiai Haji Raden Muhammad Adnan, alias Shauman.
  5. Kiai Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu Tafsir Anom VI. Sebelum bergelar Raden Ketib Winong, dan nama kecilnya Sahlan.
  6. Raden Ngabei Darmosuroto alias Muhammad Thohar, nama kecilnya Muhammad Ishom.
  7. Raden Nganten Maknawi.
  8. Raden Nganten Sumodiharjo, alias Siti Maryam.
  9. Raden Nganten Projowiyoto alias Marfu'ah.
  10. Raden Nganten Condrodiprojo alias Marhaman.

Melihat dari silsilah di atas Muhammad Adnan adalah putra yang ke 4 dari Tafsir Anom V (lima), saudara dari Pengulu Tafsir Anom VI sebagai pengganti Pengulu Tafsir Anom V, adik kandung atau saudara nomor lima. Muhammad Adnan dilahirkan dan dibesarkan di kampung Kauman dan tinggal di rumah tradisional Jawa berbentuk joglo serta berpendapa besar. Mengenai bentuk rumah di Jawa yang ditentukan oleh bangunan atapnya, ada yang dinamakan rumah limasan, rumah serotong, rumah joglo, rumah penggangepe, rumah rumah daragepak, rumah macan jerum, rumah klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom. Dari sekian banyak macam bentuk rumah tersebut rumah limasan adalah yang paling sering ditemui dan menjadi tempat kediaman keturunan penetap desa pertama, di samping rumah serotong. Adapun rumah joglo seperti yang di tempati Muhammad Adnan adalah porotipe rumah bangsawan. Pada masa kecil dan remajanya suasana hidup yang meliputinya masih dipengaruhi oleh feodalisme; tradisi Kasunanan Surakarta sangat tampak sifat kefeodalannya.

Stratifikasi masyarakat Jawa tempo dulu dalam kenyataannya hanya dibagi menjadi tiga bagian; raja (pangeran), bangsawan, dan petani. Feodalisme Jawa berada pada puncaknya bertepatan dengan pengaruh Belanda yang telah masuk bukan saja dalam arti geografis, melainkan juga masuk kedalam struktur masyarakat Jawa. Sepanjang zaman itu empat tingkat dapat dibedakan; pertama para raja (monarkhi), kedua para kepala daerah (provinsi) lebih kurang setaraf dengan para bupati modern, ketiga para kepala desa, dan keempat massa penghuni desa. Dapat dicontohkan pada penampilan ayahanda Muhammad Adnan, yakni Tafsir Anom V, dalam kesehariannya sering memakai jubah dan bersorban sebagaimana umumnya busanana ulama pada masa itu. Namun ia sebagai pejabat kraton, kiai kanjeng pengulu ini memakai kain batik, berjas beskap hitam berenda-renda dan punggungnya diselipkan keris sebagai kelengkapan busana tradisional jawa. Tutup kepalanya bercorak khusus, kombinasi model udheng jawa dan serban yang berwarna putih. Pakaian model ini dipakai dalam tugas dinas ke kantor Yogaswara (departemen Urusan Agama Kraton), atau menghadap Sri Susuhunan ke kraton, selain itu ia diiringi oleh para pembantunya yang membawa payung kebesaran yang berwarna hijau kuning keemasan. Orang-orang yang berjumpa dengan iring-iringan pisowanan itu biasanya lalu berjongkok, kadang-kadang disertai sembah (hormat) dengan tangan yang dirapatkan ke hidung.

Muhammad Adnan tinggal bersama orang tuanya di rumah pengulon (tempat pengulu), selain sebagai rumah juga dipakai semacam "kantor" yang mengurusi NTR (nikah, talak, rujuk) dan masalah keagamaan Islam, terutama yang menyangkut keluarga kasunanan. Rumah pengulon berada di kampung Kauman di sebelah utara masjid Agung. Letak yang demikian itu sesuai dengan tradisi kota di Jawa pada umumnya dan tata kota di ibu kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta pada khususnya, yakni istana (kraton), raja (bupati) disebelah selatan, dengan alun-alun di mukanya dan masjid disebelah baratnya, di sekitar Masjid (kauman) tinggal para agamawan (pemimpin, kiai dan santrinya).

Kebijaksanaan meletakkan tempat ulama dan para santrinya dekat dan kraton adalah usaha untuk menjalin hubungan yang dekat antara raja (pemimpin pemerintahan atau umara) dengan ulama (pemimpin agama). Rumah-rumah paman Muhammad Adnan berada di sekeliling rumah induk pengulon.

Pendidikan

sunting

Muhammad Adnan pertama kali mengenal huruf-huruf Al-Qur'an (huruf Arab) melalui ayahnya sendiri Tafsir Anom V. Waktu itu belum banyak sekolah yang didirikan, apalagi sekolah yang memberikan baca tulis huruf Al-Qur'an. Sedangkan sekolah Rakyat baik yang dinamakan Volksscool (sekolah desa) mapun HIS (Hollands Inlandse School) bisa dihitung dengan jari. Pengetahuan menulis dan membaca Jawa di peroleh di sekolah partikulir di Solo. Sedangkan pengetahuan baca tulis huruf latin dan pengetahuan umum lainnya mula-mula diperoleh dengan belajar secara pribadi dengan mengundang guru dirumahnya. Dengan memperhatikan bahwa ayah Muhammad Adnan adalah seorang kanjeng raden penghulu Tafsir Anom V (lima), seorang ulama bangsawan sebagai abdi dalem (pegawai) kraton Surakarta maka tidak mengherankan jika darah perjuangan mengalir kepadanya. Dengan dukungan pendidikannya tentang agama, baik di lingkungan keluarga maupun di pesantren, sehingga dapat membentuk jiwanya dengan nilai-nilai agama di kumudian hari, menjadikannya sebagai seorang pejuang untuk nusa, bangsa dan agama. Tetapi kemudian Adnan berkesempatan juga memperoleh pendidikan formal di sekolah rakyat, dan sesudah berdiri Madrasah Manba'ul Ulum, diapun belajar disana sampai selesai. Selain di Madrasah Manbaul Ulum, pada usia 13 tahun Muhammad Adnan juga belajar dan memperdalam ilmu agama Islam di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Antara lain, pesantren “Mojosari” Nganjuk pada Kyai Zaenuddin, pesantren “Mangunsari” pada Kiai Imam Bukhari, pesanten “Tremas” Pacitan pada Kyai Dimyati Abdullah, lalu kembali ke Surakarta berguru kepada Kiai Idris di Pondok Jamsaren. Pondok Jamsaren ketika itu merupakan pesantren yang besar dan terkenal, dengan kiainya yang masyhur, dan yang juga mendapat simpati dari Sri Susuhunan. Di Pondok Jamsaren Muhammad Adnan mempelajari sampai hafal kitab nahwu Alfiyah, karya Ibnu Malik. Alfiah adalah kitab gramatika bahasa Arab yang ditulis dalam bentuk puisi yang terdiri dari 1.000 bait. Keadaan kamar pondok pada waktu itu dinding penyekat kamar bukan dari batu bata merah melainkan dari gedhek (bambu yang di anyam). Jadi kalau ada anak yang menghafal dengan suara nyaring, maka di kamar sebelahnya akan mendengarnya dengan jelas. Untuk alat penerangan belum digunakan listrik melainkan lampu teplok, yakni lampu minyak tanah yang bisa digantungkan di dinding atau diletakan di meja. Para santri hidupnya sangat sederhana. Tidurnya tidak ada yang berkasur, senin dan kamis mereka berpuasa sunnat. Secara formal bersekolah di Madrasah Manbaul Ulum, madrasah yang sangat populer pada masa itu, tamat 21 April 1906, yang selama dua tahun telah lulus dengan mendapat ”Syahadah Islamiyah” No. I. Kamudian melanjutkan mengaji, memperdalam Agama Islam ke Hejaz, Makkah dan Madinah selama 8 tahun. Pada tahun 1908 ayahanda, pengulu Tafsiranom V berkeinginan agar di antara putra-putrinya ada yang memperdalam ilmu agama Islam di tanah suci Makkah Al-Mukarromah. Pilihan ayahnya jatuh pada tiga putranya yakni: Muhammad Adnan Ali as-Shauman, Sahlan, dan Ishom alias Muhammad Thohar. Berangkatlah ketiga putranya itu ke Makkah Al-Mukarramah untuk mengaji, meningkatkan ilmu agama Islam, waktu itu Muhammad Adnan berusia 17 tahun. Di Makkah Muhammad Adnan bersama kedua saudaranya belajar di Madrasah Darul Ulum dan berguru kepada beberapa kiai dan biaya belajar ditanggung orang tuanya sendiri, Pengulu Tafsir Anom V. Di antaraguru-gurunya di Makkah adalah: Kiai Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919) dari Tremas Pacitan yang menjadi ulama di Makkah, telah mendapat ijazah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama Islam dari para pengarang kitab yang hidup sebelum abad XV. Kiai Mahfudz at-Tirmisi sebagai ulama yang memiliki otoritas dalam bidang hadis memiliki silsilah dari gurunya, Abu Bakar ibnu Muhammad Syata al-Makki sampai al-Bukhari. Kiai Idris, Syaikh Syatho dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui (1855-1916) lahir di Bukit Tinggi dan pada tahun 1876 dibawa ayahnya ke Makkah dan kemudian bermukim di sana, serta memiliki kedudukan yang tinggi dalam mengajarkan agama, yaitu sebagai imam mazhab Syafi’i di Masjid al-Haram. Ia memiliki keahlian dalam bidang ilmu berhitung dan ilmu ukur, terutama digunakan dalam bidang hukum Islam. Dengan beberapa alasan ia menentang tarekat dan juga menentang harta pusaka menurut garis matrineal yang berlaku pada adat Minangkabau dalam hukum waris. Muhammad Adnan bersama kedua saudaranya mengaji dengan tekun dan hidup sederhana sebagai layaknya santri. Ditengah-tengah masa studinya di Makkah ayahnya memerintahkan salah satu di antara ketiga bersaudara mau belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Atas persetujuan bersama, yang berangkat ke al-Azhar adalah saudara mudanya yaitu Muhammad Isham. Menjelang tahun 1914 karena suasana dunia internasional genting, yaitu setelah terbunuhnya orang penting di Sarajevo yang menjadi penyebab perang dunia pertama, dan pada waktu di Arabia timbul bahaya kekurangan makan. Ayahnya memerintahkan agar putra-putranya kembali ke tanah air. Dimungkinkan ada kekhawatiran, jika nanti timbul peperangan besar, maka hubungan antara jazirah Arab dan Indonesia menjadi terputus dan dapat menyebabkan para mukimin Indonesia di Makkah telantar hidupnya. Oleh karena itu Muhammad Adnan bersaudara memutuskan untuk memenuhi perintah ayahnya pulang ke tanah air. Dengan naik kapal laut mereka kembali ke tanah air dan pada tahun 1916 tiba dengan selamat. Sekembali ke Indonesia ia masih belajar lagi di madrasah Manbaul Ulum Solo. Karena ketekunannya dalam mencari ilmu, Muhammad Adnan sampai mendapatkan gelar Profesor dalam ilmu Fiqh.

Membina Rumah Tangga

sunting

Muhammad Adnan ketika belajar di Makkah kenal dengan Kiai Haji Akram, seorang saudagar berasal dari Laweyan Surakarta dan haji Akram akhirnya menjadi kakak mertua Muhammad Adnan. Haji Akram memilih cucunya untuk dijodohkan dengan Muhammad Adnan. Cucu H. Akram adalah Siti Maimunah putri kedua H. Shafawi, yang dilahirkan di Surakarta tahun 1907. Dengan persetujuan kedua keluarga Tafsir Anom V dan H. Shafawi, dilangsungkan pernikahan antara Muhammad Adnan dan Siti Maimunah Keduanya saling mebantu dan melengkapi, Muhammad Adnan seorang yang alim dalam ilmu agama Islam, sedangkan Maimunah keturunan saudagar muslim, dan terdidik taat beragama. Sesudah pernikahannya dengan Siti Maimunah, kemudian Muhammad tidak lagi tinggal di rumah mertua H. Syafawi akan tetapi Muhammad Adnan tinggal dirumah yang terpisah.. Rumah itu terletak di jalan Bumi 9, kampung Tegalsari. Di sebelah jalan Bumi 9 berdiri sebuah masjid yang didirikan atas usaha Haji Shafawi dan Muhammad Adnan, serta dibantu oleh masyarakat muslim Tegalsari. Dari perkawinannya dengan Siti Maimunah, Allah menganugrahkan amanah (titipan) 15 orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak pertama sampai yang keenam atas kehendak Allah tidak diberi umur panjang. Putra-putri Muhammad Adnan yang pertama sampai keenam meninggal pada usia antara 1 sampai 2 tahun. Pada tanggal 21 April 1930 Muhammad Adnan dianugrahi anak laki-laki yang ketujuh dan diberi nama dengan salah satu nama dari asma'ul husna, yakni Abdulhayi (Hamba Allah yang bersifat hidup). Berturut-turut lahirlah putranya yag lain. Adapun jumlah putra-putri Muhammad Adnan berjumlah delapan orang yaitu:

  1. Abdul Hayi (1930-2003) dengan istri Masadah, dikaruniai 6 orang anak.
  2. Abdulllah (1931-1999) dengan istri Maryati, dikaruniai 8 orang anak.
  3. Abdul Basit (1933-2003) dengan istri Makrifah, dikarunia 6 orang anak.
  4. Muhtaromah (1936-2002) dengan istri M. Ishom, dikaruniai 5 orang anak.
  5. Abdul Hakim (1937-1996) dengan istri Siti Maemunah, berputra 3 orang anak.
  6. Abdul Nur (1938) dengan istri Bidayah, berputra 3 orang anak
  7. Abdul Hadi (1940) dengan istri Ita Siti Khatijah, dikaruniai 3 orang anak
  8. Abdul Latif (1943) dengan istri Normala, dikarunia 3 orang anak.

Selain sebagai ibu rumah tangga Maimunah istri Muhammad Adnan juga menjadi pengusaha batik dan tenun. Ketika usaha tenunnya berkembang, Muhammad Adnan bersama istrinya pindah ke rumahnya sendiri, di Jalan Bumi 1, sebelah selatan madrasah Ta’mirul Islam, tidak jauh dari rumah mertuanya. Pada 1940 ketika Muhammad Isa, ketua Hoofd Voor Islamitische Zaken meninggal dunia, Gubernur menunjuk Muhammad Adnan sebagai gantinya. Berhubung dengan jabatan baru itu, ditinggalkannya jabatan sebagai Hoofd Pengulu Landraad Surakarta. Pada bulan Desember 1941 berangkatlah Muhammad Adnan bersama keluarganya ke Jakarta yang pada waktu itu masih bernama Betawi. Ketika tinggal di Jalan Kramat Raya, istri Muhammad Adnan mangandung putranya yang bungsu. Pada tanggal 6 Muharram 1363 Hijri atau bertepatan dengan 13 Januari 1943, Maimunah melahirkan putranya yang ke-9 (bungsu), bernama Abdul Latif lahir dalam keadaan selamat, akan tetapi ibunya Maimunah mengalami pendaharan terlalu banyak yang akhirnya jiwanya tak tertolong lagi. Almarhumah dimakamkan pada tanggal 13 Januari 1943, dipemakaman Umum "Kawi-Kawi" di kawasan Gang Sentiong, Jakarta. Setelah tenggang waktu satu tahun dari wafatnya almarhumah Maimunah, Ibu Nyai Pengulu Tafsiranom V menganjurkan kepada putranya Adnan, agar menikah lagi dengan Nyonya Salamah, seorang Janda yang dahulu menjadi istri almarhum adiknya, Muhammad Ishom yang meninggal pada tahun 1941. Muhammad Adnan (57 tahun) menerima anjuran ibundanya, dan melangsungkan pernikahannya dengan Salamah binti Masyhuri, yang dilahirkan pada 10 Agustus 1911. Pernikahan berlangsung pada bulan Desember 1943.

Pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Peristiwa ini disambut gembira oleh seluruh rakyat Indonesia, dan juga keluarga Muhammad Adnan. Sejak proklamasi kemerdekaan itu rumah dan kantor Mahkamah Islam Tinggi tempat Muhammad Adnan bekerja tiada lagi dikibarkan bendera “hinomaru”. Sebagai gantinya, sang Merah Putih dikibarkarkan di rumahnya di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia. Sebagai wakil sekutu, kedatangan tentara Inggris untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang Sekutu tidak menjadikan kota Jakarta menjadi lebih aman. Ketegangan-ketegangan semakin menjadi karena disamping tentara Inggris, ada tentara Belanda yang menyelundup di belakangnya. Pertempuran terjadi dimana-mana antara tentara Belanda/Sekutu dengan pemuda-pemuda Indonesia sehingga situasi kota tidak aman. Berhubung dengan itu, Muhamad Adnan memutuskan untuk memindahkan keluarganya ke kota Surakarta. Muhammad Adnan beserta seluruh keluarganya berangkat ke Surakarta pada bulan Oktober 1945, dengan naik kereta api dari stasiun Jatinegara. Muhammad Adnan dari rumah menuju ke stasiun berkendaraan truk PMI (Palang Merah Indonesia) karena Muhammad Adnan menjadi penasehat PMI pusat Jakarta. Jalan menuju stasiun tampak sepi, dan tembakan-tembakan terdengar disana-sini. Namun perjalanan tiada mengalami hambatan, dan rombongan keluarga Adnan selamat tiba di stasiun Jatinegara. Kereta api yang ditumpangi Muhammad Adnan yang sarat oleh penumpang berangkat dari stasiun Jatinegara senja hari, dan tiba di stasiun Balapan Surakarta keesokan harinya kira-kira pukul 08.00 pagi. Rumah yang dituju adalah rumah pengulon “Dalem Pengulon”, di Kauman tempat Muhammad Adnan dulu pernah hidup bersama orang tuanya. Saat itu Dalem Pengulon dalam keadaan kosong setelah Ibunda Nyai Pengulu Tafsir Anom meninggal awal tahun 1945. Pada tahun 1946 Muhammad Adnan kembali lagi ke Jakarta untuk membenahi kepindahan kantor Mahkamah Islam Tinggi dari Jakarta ke Surakarta. Bnyak kantor, jawatan, departemen-departemen yang sudah hijrah ke daerah-daerah yang aman, terutama ke Yogyakarta dan Surakarta. Pemindahan ini mengikuti kebijaksanaan pemerintahan Republik Indonesia yang menghijrahkan Pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota revolusi. Dalam menghijrahkan MIT (Mahkamah Islam Tinggi) Muhammad Adnan dibantu oleh paniteranya, Muhammad Junaidi dan beberapa karyawan.

Perjuangan-perjuangan

sunting

Bidang Pendidikan

sunting

Sepulangnya dari Makkah masyarakat muslim di Surakarta Sangat berharap agar Muhammad Adnan dapat mengamalkan dan meneruskan ilmu yang sudah dipelajarinya itu kepada masyarakat. Sedatangnya dari tanah suci Makkah, menjadi seorang putera mantu Haji Shafawi, Tegalsari, Muhammad Adnan sangat giat usaha amalnya untuk menggerakkan pelajaran Islam hingga berhasil baik. Kampung Tegalsari itu sekarang menjadi pusat pergerakan Islam, dan disitu didirikan masjid yang besar dan modern. Sebenarnya Muhammad Adnan berkeinginan ingin mendirikan pesantren sendiri, akan tetapi karena ada tugas lain yang tak kalah pentingnya dengan mengelola pesantren. Meskipun demikian, ia tetap ingin menyebarluaskan ilmu agama Islam. Bidang yang dianggap tepat untuk menampung cita-citanya itu ialah bidang keguruan dan pendidikan. Muhammad Adnan sebenarnya kurang suka menjadi abdi dalem (pegawai kraton), priyayi atau pegawai negri. Berpangkal wasiat ayahandanya, telah mengantarkan Muhammad Adnan pada suratan takdir bahwa sampai akhir hayatnya ia harus membaktikan dirinya kepada Allah, bangsa dan negara melalui pegawai negri. Banyak orang yang berdatangan di rumahnya. Orang-orang dari berbagai kalangan untuk beguru dan mempelajari agama Islam. Ada di antara mereka dari kalangan anak muda, orang tua dan wanita. Orang yang berlatar belakang awam, orang-orang sederhana dan ada yang tergolong intelek. Di antaragolongan orang yang intelek terdapat guru-guru sekolah umum, misalnya Soemadi dan Koesban, keduanya adalah guru HIS. Mereka mengaji di luar jam kerja, yakni dari ashar sampai maghrib. Melihat kegiatan pengajian yang padat itu, ayahandanya memerintahkan anak-anaknya untuk medirikan sekolah. Itu dipenuhi dengan mendirikan sekolah Bawaleksana (khusus putri), Madrasah Tarbiyatul Aitam (Pendidikan anak-anak yatim) dan madrasah Syari’ah (pendidikan Agama Islam, khusus laki-laki). Ketiga jenis sekolah itu semuanya memberikan pendidikan agama Islam. Sedangkan sekolah Bawaleksana yang hanya khusus putri itu memberikan pendidikan umum dan agama. Sebagai pendidik Muhammad Adnan pernah diangkat menjadi guru pada sekolah Madrasah Islamiyah di Pasar Kliwon (1916-1923), yang kemudian menjadi Holland Arabische School. Ia juga menjadi Mahaguru pada ”Kenkoku Gakuin” (Persiapan Sekolah Tinggi Hukum) zaman pendudukan Jepang. Pada tahun 1948 Kementrian Agama RI, Muhammad Adnan diserahi membentuk SGHI (Sekolah Guru Hakim Islam) di Surakarta, yang kemudian pindah ke Yogyakarta dan berganti nama SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama), kemudian menjadi PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dan ia sebagai ketuanya. Muhammad Adnan pernah memimpin Madrasah Manba’ul Ulum Surakarta, setelah ia kembali belajar dari Makkah. Madrasah Manba’ul Ulum pertama kali dipimpin dipimpin oleh oleh Kiai Arfah, setelah Muhammad Adnan diangkat menjadi Penghulu maka pada tahun 1919 madrasah itu dipimpin oleh K.H. Jumhur, dan pada tahun 1946 Manbaul Ulum dipimpin oleh K.H. Jalil Zamakhsari. Pada tahun 1951 Muhmmad Adnan mempelopori berdirinya ”Al Djami’atul Islamiyah” Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) di Surakarta bersama KH. Imam Ghozali dan KH. As’at. Selanjutnya PTII Solo ini digabung dengan UII Yoyakarta dan dikenal kemudian dengan nama UII cabang Solo. Pada tahun ini pula ia diangkat sebagai Dewan Kurator/Pengawas serta diangkat sebagai Guru Besar tidak tetap pada Fakultas Hukum PTII. Tahun 1950 ketika Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) diresmikan diberi kepercayaan menjadi ketuanya sampai perguruan tinggi itu menjadi IAIN (1960), selain itu ia juga diangkat menjadi guru besar dalam bidang fiqh ia juga menjadi dosen luar biasa di Univesitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Dalam pendidikan keluarga, Muhammad Adnan memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya ada yang dilakukan dengan secara langsung dan ada pula yang dilaksanakan secara tidak langsung. Mulai usia 4 tahun, semua putranya diberikan pelajaran menghafal al-Fatihah ayat demi ayat, di teruskan dengan surat-surat dari juz ‘Amma yang pendek-pendek. Tuntunan menghafalkan firman Allah Swt. yang berupa surat-surat yang pendek itu diberikan langsung oleh Muhammad Adnan. Sesudah itu, ibu anak-anak melatih lagi hafalan-hafalan surat-surat pendek seperti surat al-Ikhlash, al-falaq dan yang lain-lain. Makin meningkat umur anak itu mangkin meningkat hafalannya. Ketika di Jakarta, Muhammad Adnan memerintahkan kepada istrinya agar anak-anak ditingkatkan pendidikan agamanya, bukan hanya agar dapat membaca al-Qur’an saja melainkan perlu juga diberi pelajaran pokok-pokok ajaran Islam tentang Rukun Iman, Rukun Islam, tuntunan Ibadah dan Akhlak. Untuk melaksanakan maksud ini, anak-anak yang sudah agak besar (8-11 tahun) setiap sore sehabis salat Ashar diberikan pendidikan dan pelajaran agama yang meliputi bidang tauhid, fiqh, dan Akhlaqul Karimah. Buku rujukan (reference) yang digunakan Ibu adalah Aqidatul Awam untuk tauhid, Safinatun Najat untuk fiqh dan Hidayatul Islam karangan Muhammad Adnan sendiri untuk akhlaq. Kitab Hidayatul Islam adalah kitab karya Muhammad Adnan sendiri dengan memakai berbahasa Jawa berhuruf Arab Pegon, yang banyak juga disertai sumber-sumber Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dalam kebijaksanaan pendidikannya, meskipun Muhammad Adnan tergolong ulama, ia tidak pernah mengharuskan putra-putranya memilih bidang studi tertentu. Ia tidak pernah memberi tekanan kepada anak-anaknya. Kalau ia mempunyai pendapat tentang arah studi yang perlu ditempuh anak-anak, secara persuasif ia hanya menganjurkan dan bukan mewajibkan. Muhammad Adnan juga tidak pernah memerintah anak-anaknya yang berlebihan, dikarenakan menjaga supaya anak-anaknya terhindar dari dosa. Sebab perkara yang mubah bisa menjadi wajib jikala perintah itu dari orang tua ditujukan kepada anak-anaknya. Jangan sampai membebani anak yang akhirnya mengakibatkan dosa bagi si anak jika tidak dikerjakan perintah tesebut.

Bidang Peradilan Agama

sunting

Ketika Mataram telah terpecah-pecah menjadi Kesultanan, Kasunanan, Mangkunegaran dan Pakualaman pada masa pemerintahan kerajaan tersebut juga masih dijumpai lembaga keagamaan yang disebut kepengulon yang diduduki oleh Abdi Dalem Pamethakan atau Abdi Dalem Yogaswara, dan lainnya, yang dikepalai oleh Penghulu Ageng (Kraton). Kelompok Ulama pejabat atau disebut pula penghulu adalah ulama yang kedudukan peran sosial keagamaannya berada di jalur at-tasyri’ wal-qadla, yakni aktivitas sosial keagamaan yang menonjol sebagai pelaksana bidang kehakiman yang menyangkut hukum (syari’at) Islam. Ternyata, jabatan penghulu tidak hanya ada di lingkungan kraton. Di kabupaten-kabupaten yang menjadi bawahan wilayah kekuasaan kerajaan juga didapati ulama yang menduduki jabatan penghulu. Sampai tiba saatnya tanah Jawa dikuasai orang-orang Eropa (Belanda) dan kemudian daerah kekuasaan tersebut dinamakan gubernemen. Oleh karena itu sejak abad 17, orang-orang Eropa sudah menjumpai apa yang disebut dengan penghulu, yang merekea namai Opper-priester dan chiefi priest. Priester atau priest adalah sebutan bagi ulama pejabat di mata orang-orang Eropa. Sejak masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daedles, penghulu di setiap kabupaten di wilayah kekuasan gubernemen mulai ditarik ke dalam lingkungan pengadilan negeri (landraad) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Jabatan penghulu yang disandang dalam lingkungan pengadilan negeri adalah penasihat hukum adat, karena itu mereka di panggil dengan sebutan Kanjeng Penghulu Landraad. Rangkap jabatan ini hanya dikenakan kepada penghulu kepala (hoofd-penghulu) pada tiap-tiap kabupaten, dan rangkap jabatan ini tidak mengalami perubahan hingga pemerintah Belanda mengakhiri kekuasannya di Hindia Belnada (jawa). Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia. Muhammad Adnan mempunyai tugas sebagai hakim agama dalam lingkungan peradilan agama Islam. Bermula ia menjadi anggota luar biasa Pengadilan Agama di Surakarta berdasarkan besluit Gouverner Hindia Belanda yang berkedudukan di Bogor, No. 52 Tanggal 36-12-1919. kemudian dengan Besluit Residen Surakarta, No. 190 tanggal 9-10-1921, diangkat menjadi Adjunct Pengulu Landraad (pengadilan Negeri) Surakarta. Tugas Penghulu Landraad antara lain melakukan pengambilan sumber terhadap terdakwa atau saksi yang diajukan ke Pengadilan negeri (Landraad). Disamping itu juga dimintai nasihat tentang perkara yang ada hubungannya dengan hukum Islam, misalnya yang menyangkut perkara warisan. Untuk memperjuangkan hak-hak pengadilan Agama, Muhammad Adnan pada tahun 1937 mendirikan organisasi kepenguluan yang diberi nama Perhimpunan Pengoeloe dan Pegawainya, disingkat PPDP yang ruang lingkupnya meliputi wilayah Jawa dan Madura. Pada masa itu Pengadilan Agama hanya terdapat di Jawa dan Madura. Pada tahun 1940 perkumpulan ini berencana untuk mendirikan sekolah pendidikan penghulu di Surakarta disebut “Madrasah Pengoeloe”. PPDP ini mempunyai cabang dimana-mana tempat, di seluruh Indonesia. Meskipun Muhammad Adnan menjadi ketua Mahkamah Islam Tinggi Jakarta, tetapi ia tetap menjadi ketua pengurus besar PPDP, hanya pengerus harian tetap di Solo. Setelah itu Dengan surat keputusan Gubernur jenderal Hindia Belanda tanggal 11-8-1941 Nomor 6, terhitung mulai 1-8-1941. Muhammad Adnan diangkat menjadi ketua Mahkamah Islam Tinggi di Jakarta. Setelah Muhammad Isa, ketua Mahkamah Islam Tinggi pertama meninggal dunia. Muhammad Adnan mengusulkan agar pemerintah membentuk suatu departemen yang khusus mengurusi dan memperhatikan urusan keislaman. Yang dihaapkan dapat memberikan penerangan tentang Islam dan memberikan bimbingan kepada umat muslim guna kemaslahatan bersama. Dengan adanya departemen urusan agama Islam diharapkan sebagaian urusan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan Islam dan kaum Muslimin dapat terurus dengan saksama.

Perjuangan pada Negara

sunting

Muhammad Adnan sebagai mantan Ketua PPDP yang sudah bubar masih sering dimintai saran-saran oleh organisasi yang mempersatukan perhimpunan-perhimpunan agama dan partai-partai Islam, yakni Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang di dalamnya terdapat persyarikatan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Partai Islam Indonesia (PII), diwakili para pemimpinnya W. Wondoamiseno (ketua majlis), Harsono Cokroaminoto, dr. Sukiman Wiyosanjoyo. Pada zaman Jepang Muhammad Adnan diangkat menjadi anggota Jakarta Tokubetsu Si Sangi Kai (Dewan Kota) bersama-sama dengan A. Muhsin Dasaad (direktur perusahaan dagang “Kancil Mas”), dr Slamet Sudibyo (dokter swasta), Ir. Safwan (pegawai Denki Kosya), Thee Jin Seng (saudagar keturunan Tionghoa), R.H.O. Junaedi (pemimpin Harian Umum “Pembangun”). Jepang mengharap keenam orang itu mencerminkan wakil masyarakat Indonesia, termasuk keturunan Cina. Pembesar-pembesar Jepang jika memerlukan informasi tentang masalah keislaman sering menghubungi Ketua Mahkamah Islam Tinggi yaitu Muhammad Adnan. Muhammad Adnan, salah satu dari sepuluh orang ulama, yang mengajukan permohonan kepada pengusaha Jepang, agar diizinkan membentuk Barisan Penjaga Tanah Jawa yang diatur menurut Peraturan Islam. Sepuluh orang ulama terkemuka tersebut adalah: (1) Kiai H. Mas mansur (2) Kiai R. H. Muhammad Adnan (3) Dr. H.A. Karim Amrullah (4) Guru H. Mansur (5) Guru H. Kholid (6) iai H. Abdul Majid (7) Guru H. Ya’kub (8) Kiai H. Junaidi (9) H. Mukhtar (10) H. Muhammad Sodri, sebagai wakil umat Islam pada tanggal13 september 2603 (1943 M) datang di Gunseikanbu (Kantor Pemerintah Militer Jepang) untuk menyampaikan surat kepada Seiko Sikikan (Panglima tentara Jepang. Surat itu antara berisi permohonan untuk mendirikan Barisan Penjaga Pulau Jawa yang diatur menurut peraturan Islam. Pasukan sukarela pertama yang dikenal dengan nama ”Tentara Pembela Tanah Air” (Peta). Pasukan sukarela kedua kemudian dikenal dengan nama “hizbullah”, yang terdiri dari pemuda Islam. Pada akhir penduduk Jepang, 1 April 1945, Muhammad Adnan diangkat menjadi Kepala Kantor Syumubu Dai Ni Kaityo. Syumubu adalah Departemen Urusan Agama, seperti yang pernah diusulkan pada awal kekuasaan Jepang. Di dalam Syumubu itu terdapat pula tokoh-tokoh Islam yang lain seperti Kiai Hasyim Asy’ari (yang kemudian mengundurkan diri) dan Kiai Abdul Kahar Muzakir. Rumah Muhammad Adnan sering disinggahi gerilyawan dan putra-putrinya ikut bagian dalam perlawanan terhadap Belanda dan disitu masih tertinggal baret, sarung pistol dengan satu megazijn peluru vikers. Inilah yang menyebabkan Muhammad Adnan dan mertuanya ditahan, bahkan mertua Muhammad Adnan terpaksa ditahan satu malam di TBS (Territorial Batalion Surakarta). Muhammad Adnan disuruh menghadap pejabat Sipil Belanda di Surakarta. (Asisten Residen) dan dibujuk agar mau bekerja dengan Belanda. Muhammad Adnan tetap bertahan sampai akhir masa pendudukan Belanda dan menjadi seorang muslim yang republikein.

Bidang Politik

sunting

Muhammad Adnan menjadi anggota DPA RI pada tahun 1947. Muhammad Adnan, seorang ulama yang hanya berpendidikan pesantren tanpa pendidikan Barat dengan tanpa ditanya lebih dahulu diangkat menjadi anggota Lembaga Tinggi Negara, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pemberitahuan pengangkatan itu hanya diketik diatas sehelai kartu pos cetakan Jepang, tertanggal 28 September 1945 dan ditandatangani Sekretaris Negara Mr. A.G. Pringgodigdo. Pada masa Revolusi segala-galanya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Anggota DPA mendapat uang kehormatan 200 rupiah per bulan. Ini berlaku bagi mereka yang tidak merangkap pegawai negeri. Mereka yang merangkap jabatan sebagai pegawai negeri hanya memperoleh uang duduk (uang sidang) 20 rupiah sehari dan uang harian 15 rupiah. Kemudian menjadi anggota DPR di Jakarta pada tahun 1950 – 1955. Selain itu pada tahun 1956 – 1959 ia juga menjadi anggota Konstituante RI di Bandung hasil Pemilihan Umum pertama. Pengalihan tugas dari DPA ke DPR menyebabkan Muhammad Adnan lebih banyak lagi berkecimpung dalam dunia politik. Karena Muhammad Adnan dulu diusulkan oleh Masyumi.

Diplomasi

sunting

Untuk menyampaikan keputusan sidang kabinet Hatta Pada tanggal 19 September 1945, Kiai H. Masykur pergi ke Surakarta untuk menemui Muhammad Adnan dan Syamsi. Dalam usaha mengirimkan misi haji Republik Indonesia yang pertama ke tanah suci Makkah pada musim haji 1948. Pemerintah RI mengutus Muhammad Adnan menjadi Ketua Misi Haji dan Misi Diplomasi pertama ke Saudi Arabia/Timur Tengah bersama KH. Sholeh Saudi, H. Syamsir dan KH. Ismail Banda untuk mengadakan kontak dengan Raja Ibnu Saud dan pemimpin-pemimpin negara Islam yang sedang menjalankan ibadah haji, untuk merundingkan mendapat pengakuan Negara RI dan mengatur perjalanan haji yang pertama setelah Perang Dunia II.

Sosial Kemasyarakatan

sunting

Ia menjadi penasehat PMI pusat Jakarta pada tahun 1947. Juga penasehat Syuriah PBNU serta Dewan Pimpinan Umum PBNU pada tahun 1950. Muhammad Adnan selain sebagai pendidik ia juga seorang arsitek yang merancang masjid jami’ Tegalsari. Pencetus gagasan untuk membangun masjid Jami’ Tegalsari adalah: K.H.R. Muhammad Adnan, H. Sonhaji, H. Djayadi, KH. A. Mudzakir, Ali Imron dan KH. M. Umar bin Akram. Semua orang tersebut di atas sudah wafat dan nama-nama ia tertulis di prasasti tembok belakang masjid. Setelah bangunan masjid berdiri Muhammad Adnan segera menghubungi penguasa kraton Surakarta untuk mengajukan izin mendirikan salat jum’at. Atas beberapa pertimbangan, antara lain semakin banyaknya penduduk yang bermukim jauh dari masjid jami’ (masjid kraton) akhirnya pihak kraton memberikan izin kepada takmir masjid Tegalsari untuk menyelenggarakan shalat jum’at. Pada tengah malam dinihari, selasa pon 24 juni 1969, pukul 03.30 Muhammad Adnan dipanggil oleh Allah Swt., setelah mencapai usia 80 tahun. Jenazahnya dimakamkan hari itu juga ke Pajang, Surakarta setelah dishalatkan di Masjid Syuhada Yogyakarta dan Masjid Tegalsari, Surakarta.

Karya-karya

sunting

Muhammad Adnan aktif juga menulis baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa karangannya antara lain:

Merupakan kitab tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz menggunakan bahasa Jawa dan memakai aksara roman yang diterbitkan oleh PT. Al-Ma’arif, Bandung. Kitab tafsir ini sudah mengalami beberapa kali cetak, pertama kali kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa aksara Arab pegon, kemudian disusun kembali dengan memakai aksara roman (latin)

  • Hidayatul Islam

Adalah kitab yang berisi tentang akhlaq (budi pekerti) yang ditulis dengan memakai berbahasa Jawa berhuruf Arab Pegon, yang banyak juga disertai sumber-sumber Al-Qur’an dan Al-Hadis.

  • Tuntunan Iman dan Islam

Buku ini merupakan rangkuman kuliah Agama Islam ia waktu menjadi dosen di UGM Yogyakarta yang dibukukan. Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Djajamurni, Jakarta, 1963.

  • Ilmu Fiqh dan Ushulnya

Merupakan pidato pengukuhan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (atas pengangkatannja sebagai guru besar dalam ilmu fiqh pada upatjara dies natalis ke-V) 26 September 1956. Buku ini diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Yogjakarta, 1956.

  • Peringatan Hari-Hari Besar Islam

Buku ini memakai bahasa Indonesia. Diterbitkan oleh penerbit Sitti Sjamsijah, tahun 1969.

  • Khutbah Jum’at Basa Jawa

Pertama kali dicetak dengan bahasa Jawa dengan aksa Arab pegon kemudian selanjutnya dicetak dengan aksara latin dengan bahasa Jawa. Buku ini sampai tiga jilid.

  • Mutiara Hikmah

Merupakan pendapat, buah pikiran dari Muhammad Adnan yang ditulis ia yang pernah maupun yang belum disiarkan dalam berbagai media masa baik surat kabar, majalah atau radio. Buku ini disusun oleh putranya yaitu Abdul Basit Adnan yang diterbitkan oleh penerbit Mardikintaka, Surakarta. Dari keterangan atau ungkapan di atas tentang aktivitas Muhammad Adnan, baik sebagai penyiar agama Islam, pendidik, penulis buku dan kitab tafsir, serta perjuangannya terhadap negara di bidang politik, peradilan agama, dan diplomasi serta yang lainnya Semua itu menunjukan bahwa, ia adalah sebagai sosok seorang ulama yang berpengaruh di masyarakat, berbudi luhur dan berpengetahuan luas. Ia menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia dalam karangannya supaya mudah dicerna dan diamalkan bagi masyarakat luas.

Referensi

sunting
  1. Sekilas UIN Sunan Kalijaga Diarsipkan 2011-12-21 di Wayback Machine.
  2. Prof. KH. Raden Muhammad Adnan
Didahului oleh:
Rektor Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
1951 - 1959
Diteruskan oleh:
Prof. Dr. H. Muchtar Jahja
  1. ^ "Prof. Raden H. Muhammad Adnan - Masjumi - Profil Anggota". Konstituante.Net. Diakses tanggal 2021-10-24.