Raden Machjar Angga Koesoemadinata

guru dan seniman musik sunda

Raden Machjar Angga Koesoemadinata (sering ditulis Kusumadinata, Kusumahdinata, kusumah dinata, Anggakusumadinata; lebih dikenal dengan Pak Machjar atau Pak Mahyar (07 Desember 1902 – 09 April 1979) adalah seorang seniman dan musikolog Sunda. Ia dikenal sebagai pengarang lagu-lagu Sunda, pendidik yang mengkhususkan diri dalam memajukan pendidikan seni-suara Sunda, peneliti serta ahli teori musik Sunda, pecipta sistem notasi nada Sunda da mi na ti la dan penemu sistem 17 tangga nada Sunda.

Raden Machjar Angga Koesoemadinata
Lahir(1902-12-07)7 Desember 1902
Sumedang, Hindia Belanda
Meninggal9 April 1979(1979-04-09) (umur 76)
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Pekerjaan
Tahun aktif1923 – 1979
Suami/istriSaminah
Anak

• Machjeu Koesoemadinata
• Kama Kusumadinata
• Ny Karlina Sudarsono
• dr. Soetedja Koesoemadinata
• Prof. Dr. R. Prajatna Koesoemadinata
• Dr. Santosa Koesoemadinata
• dr. Rarasati Djajakusumah
• Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro
• Drs. Moehammad Sabar Koesoemadinata, MSP.

• Ir. Margana Koesoemadinata
Orang tua
  • Raden Haji Muhamad Ali (bapak)
  • Nyi Mas Uti (ibu)
KerabatBambang Harymurti (cucu)

Riwayat Hidup

sunting

Ia merupakan anak dari pasangan Raden Haji Muhamad Ali yang merupakan ulama asal Sumedang yang berasal dari keturunan Dalem Istri Sumedang dan Nyi Mas Uti, seorang perempuan keturunan Kudus.[1]

Pak Machjar yang dimasyarakat Jawa Barat lebih dikenal sebagai seorang seniman pencipta lagu-lagu Sunda sebenarnya adalah seorang pendidik dan pakar musikologi, khususnya etnomusikologi yang berspesialisasi dalam pelog dan salendro. Pengetahuannya mengenai seni musik pelog dan salendro didapatkan dari sejak kanak-kanak dengan berguru pada beberapa juru tembang dan nayaga, di antaranya belajar rebab pada nayaga ulung Pak Etjen Basara, Pak Sura dan Pak Natadiredjo, belajar gamelan pada Pak Sai dan Pak Idi, serta belajar tembang pada Pak Oetje juru pantun terkenal di Bandung.

Perkenalan Pak Machjar dengan metode sains dan ilmu fisika, dan ilmu musik barat terjadi pada waktu ia menjadi murid di sekolah guru (Kweekschool dan Hogere Kweekschool). Dengan dasar ilmu musik barat dan ilmu fisika yang cukup mendalam, ia melakukan pengukuran dan penelitian frekuensi suara-suara dari perangkat gamelan dan lagu-lagu yang dinyanyikan maupun dimainkan pada rebab. Pada tahun 1923 (masih di bangku sekolah) ia telah menciptakan serat kanayagan (notasi tangga nada Sunda) da mi na ti la, serta menulis buku teori seni suara Sunda berjudul ‘Elmuning Kawih Sunda’. Setelah menamatkan HKS dan ditempatkan sebagai guru di HIS Sumedang (1924-1932), ia melanjutkan penelitiannya mengenai teori seni raras.

Suatu titik balik penting dalam kariernya sebagai peneliti adalah pertemuannya dengan Mr. Jaap Kunst, seorang etnomusikologi Belanda, antara tahun 1927-1929, yang sedang melakukan penilitian perbagai seni suara seluruh kepulauan Nusantara. Disini terjadi pertukaran ilmu, antara ilmu musik dari Jaap Kunst dan ilmu gamelan atau pelog-salendro dari Pak Machjar. Pada perioda inilah ia memahami lebih dalam konsep getaran suara serta cara mengukurnya dengan instrumen yang menyangkut konversi matematiknya ke sekala musik dengan menggunakan nilai logaritma, konsep interval cents dari Ellis (1884) dan Hornbostel (1920) serta music rule dari Reiner.

Tahun 1933, ia ditugaskan untuk membentuk pendidikan seni suara pada semua sekola-sekolah pribumi di Jawa barat dengan sistem da mi na ti la. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945) ia mengajar di sekolah guru kemudian dari tahun 1945 sampai 1947 ia bekerja sebagai guru ilmu alam, sejarah dan bahasa Inggris di (SMP/SMA) Bandung. Setelah itu, ia diangkat menjadi kepala dari kantor Pendidikan (koordinator Pendidikan Rendah) di Sumedang (1947-1950) dan selajutnya ditugaskan untuk pendidikan seni-suara pada sekolah-sekolah rendah dan menengah Jawa Barat di Bandung (1950-1952). Selanjutnya ia bekerja staf ahli di Jawatan Kebudayaan Jawa Barat di Bandung. Kemudian pada tahun 1958 (sampai 1960), ia diangkat menjadi Direktur utama Konservatori Karawitan (KOKAR) Bandung. Selebihnya ia adalah dosen luar biasa mengajar ilmu akustik dan gamelan di Konservatori Karawitan Surakarta (1953-1959).

Menikah degan Ibu Saminah salah seorang lulusan pertama sekolah guru wanita Van Deventer (Pleiades Kweekschool) di Salatiga yang berasal dari Majalengka.[1] Ia memiliki 10 orang anak, akan tetapi tidak ada satupun yang menggeluti kesenian karena kebanyakan berkecimpung dalam bidang ilmu alam antara lain:

  • Machjeu Koesoemadinata (alm),
  • Kama Kusumadinata (alm, ahli volkanologi pada Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan),
  • Ny Karlina Sudarsono (alm),
  • dr. Soetedja Koesoemadinata (alm),
  • Prof. Dr. R. Prajatna Koesoemadinata (guru besar emiritus dalam ilmu geologi ITB),
  • Dr. Santosa Koesoemadinata (alm, pensiunan peneliti biologi di Departemen Pertanian),
  • dr. Rarasati Djajakusumah (alm),
  • Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro, (gurubesar dalam ilmu kimia di Universitas Padjadjaran),
  • Drs. Moehammad Sabar Koesoemadinata, MSP. (ahli Geologi Kwarter pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi),
  • Ir. Margana Koesoemadinata (alm, ahli akustik di LIPI dan kemudian di KLH).

Penemuan dan hasil karya

sunting

Sebagai seniman pengarang lagu, Pak Machjar menciptakan lagu-lagu Sunda tradisional seperti Lemah Cai, Dewi Sartika, Sinom Puspasari, maupun penggubah lagu-lagu Sunda traditional dan menuliskannya dalam notasi da mi na ti la. Sebagai seniman ia juga seorang penulis sandiwara dan memelopori Gending Karesmen (opera Sunda) yang disebutnya sebagai Rinenggasari dengan karya nya antara lain:

  • Sarkam Sarkim (1926)
  • Permana Permana Sari (1930)
  • Sekar Mayang (1935)
  • Tresnawati (1959)
  • Iblis Mindo Wahyu (1968)

Sebagai ahli teori musik, khususnya dalam bidang Pelog dan Salendro, ia memformulasikan sistem notasi da mi na ti la untuk lagu-lagu Sunda, meneliti dan menulis teori mengenai seni raras dan gamelan di antaranya Ringkesan Pangawikan Rinengga Swara (1950), Ilmu Seni Raras (1969) dan juga buku lagu-lagu Sunda. Bersama Mr. Jaap Kunst, ia juga banyak banyak menghasilkan tulisan (publikasi) mengenai teori musik gamelan. Di antara hasil penelitian dan penciptaan dari Pak Machyar adalah gamelan eksperimental dengan 9-tangga nada (1937) untuk pelog dan gamelan 10-tangga nada untuk salendro (1938), di mana keduanya hilang pada zaman pendudukan Jepang (1942-45). Selain penciptaan gamelan monumental Ki Pembayun (1969), ia juga membuat gitar akustik 17 tangga nada.

Sumbangan terbesarnya terletak pada hasil penelitian yang benar-benar bersifat ilmiah yang menuju ke universalitas (unified theory) dari seni suara adalah teori 17 tangga nada Sunda (1950) di mana satu oktaf terdiri dari 17 interval yang sama dari 70 10/17 cents, di mana nada dari setiap laras (tangga nada) Sunda dapat diambil. Model ini bersifat universal karena memiliki nada-nada yang sangat lengkap dan bisa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu dari berbagai tangga nada.

Di dalam penelitiannya, ia menggunakan alat pengukur getaran suara monochord yang dibuatnya atas pertolongan ahli kecapi dan nayaga ulung Pak Idi. Alat ini dilengkapi dengan sekala getaran (frekuensi) yang diperoleh atas jasa baik Mr. Jaap Kunst dari laboratorium musikologi di Europa. Setiap kali monochord itu hendak digunakannya terlebih dahulu mengkalibrasikannya dengan garpu suara dengan getaran yang baku (660 hz). Alat itu ternyata cukup akurat sehingga juga dipergunakan oleh pakar-pakar musikologi seperti Prof. Collin McPhee dari Amerika Serikat dan C. Campagne, direktur sekolah musik di Bandung. Alat monochord in merupakan alat utamanya yang menyertainya ke mana-mana dalam melakukan penelitian mengenai Pelog Salendro sampai akhir hayatnya.

Ki Pembayun

sunting

Atas prakarsa dan bantuan dari Industri Pariwisata P.D. Provinsi Jawa Barat, yang diketuai oleh R.A. Sjukur Dharma Kesuma, pada tahun 1969 pak Machjar menciptakan gamelan yang diberi nama ‘Ki Pembayun’ (artinya si sulung) yang merupakan gamelan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Gamelan ini dibuat untuk menunjukan penemuan teorinya sistem 17 tangga nada. Selain Laras Salendro, madenda, degung, kobongan Mataraman, lagu-lagu yang bertangga nada musik Barat dapat dimainkan pada gamelan ini.

Walaupun gamelan Ki Pembayun secara teknik sukar dimainkannya karena merupakan sesuatu yang tidak umum dan membutuhkan waktu lama untuk pelatihannya, namun sebagai bahan kajian, keberadaannya sangat penting. Tidak sedikit para pemikir dari negara lain kagum atas munculnya gamelan tersebut. Menurut ahli etnomusokologi Andrew Weintraub (2001), munculnya gamelan selap yang berkembang sekarang, pada dasarnya merupakan pengaruh dari gamelan Ki Pembayun. Sangat disayangkan sekali gamelan Ki Pembayun kemudian hilang raib. Satu-satunya jejak yang tertinggal mungkin hanya dari permainan gamelan ini yang sempat direkam dan difoto oleh Dr. Margaret Kartomi, profesor musik dari Monash University, Australia.

Penghargaan

sunting

Di antara penghargaan-penghargaan yang didapatkannya, adalah penghargaan tertinggi dalam bidang budaya; Piagam Anugerah Seni, sebagai ahli dan penyusun teori Karawitan Sunda dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (17 Agustus 1969), penghargaan Sebagai pencipta lagu rampak sekar Ibu Dewi Sartika (4 Desember 1975), dan penghargaan dari Ikatan Seniman Sunda (9 Mei 1959).

Lihat pula

sunting

Daftar komposer Indonesia

Rujukan

sunting
  • Ajip Rosidi (ed), 2000, Mahjar Angga Kusumadinata: Ensiklopdi Sunda - Alam, Manusia dan Budaya (termasuk budaya Cirebon dan Betawi), Pustaka Jaya, Jakarta, hal, 390
  • Ellis, Alexander J., 1885, On the musical scales of various nations: Journal of the Soc. of Arts, p. 487
  • Heri Herdini, 2002, Raden Machjar Angga Koesoemadinata Pikiran Aktivitas Dan Karya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 271 hal.
  • Heri Herdini, 2002, Raden Machyar Angga Koesoemadinata, Sosok Manusia Ideal. Pikiran Rakyat, kolom khasanah
  • Heri Herdini, 2002 Gamelan Ki Pembayun, Bukti Sejarah yang Hilang Tanpa Jejak. Pikiran Rakyat, kolom khasanah
  • Hood, Mantle, 1954, Patet in Javanese Music, J.B Wolters-Groningen-Djakarta, 323p.
  • Hornborstel, Erich M. von, 1921, Eine tafel zur Logarithmischen Darstelung von Zahlenverhaltnissen; Z. f. Physik, VI, p. 29
  • Koesoemadinata, R.M.A, 1940, Ringkesan Elmoening Kanajagan, Tjitakan ka-1, Departement O. & E.,Weltevreden
  • Kunst, Jaap en R.M. A Koesoemadinata, 1930, Een en ander over Pelog en Salendro; Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, LXIX (1929-30), p. 320-352,
  • Kunst, Jaap, 1934, De toonkunst van Java, Deel I en Deel II, Gravenshage, Martinus Nijhoff, 519p.
  • Kusumadinata, R.M.A, 1950, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara (Ringkesan elmuning kanajagan), Pelog 9 raras, Salendro 15 raras dan Salendro 17 raras, Noordhoff Kolf NV, Djakarta
  • Kusumadinata (Koesoemadinata), R.M.A, 1969, Ilmu Seni Raras; Pradnja Paramita, Djakarta, 139p.
  • Priadi Dwi Hardjito, 1983, Etnomusikologi Filsafat Nada, ASTI
  • Sutardjo A. Wiramiharja, 2009, Ngadegung Ku Gitar, Kenapa Tidak?, Pikiran Rakyat (Sabtu 18 Juli 2009).
  • Weintraub, Andrew N., 2001, Instruments of Power: Sundanese “Multi-Laras” Gamelan in New Order Indonesia, Ethnomusicology vol. 45, No 2society for Ethnomusicology, Publish University of Illinois Press, page 197-227.
  • Weintraub, Andrew N., 2001, Koesoemadinata, Raden Machjar Angga, The New grove Dictinioary of Music and Musicians, 2 nd ed, edited by Stanley Sadie, Volume 13, Grove, Page 735-736.
  • Weintraub, Andrew, N. 2004, Power Plays: Wayang Golek Puppet Theater of West Java, (page 134), Ohio University Press,, 320 pages.

Pranala luar

sunting
  1. Guide to Sundanese Music
  2. Historical Precedents: The work of Machjar Koesoemadinata and Sapa’at Suwanda
  3. Historical evidence for a nearly equidistant 9-tone gamelan pelog in Java Diarsipkan 2009-05-11 di Wayback Machine.


  1. ^ a b Azis, Nur. "Rumah 'Lumbung Padi' Tempat Lahirnya Musikus Jenius Tanah Sunda". detikjabar. Diakses tanggal 2023-12-07.